20. Lala, Dika, dan Kisah Tentang Mereka

25 2 0
                                    

Tinggal sendiri terkadang membuat seseorang hidup dengan tidak teratur. Seperti Lala yang kini tengah kelaparan sebab melewatkan jam makan malam. Gadis itu tertidur sepulang sekolah, dan baru bangun jam delapan malam.

Lala menuruni anak tangga dengan perlahan. Napasnya berembus kencang saat ia melihat tak ada makanan di meja. Malas sekali jika harus memasak di malam hari. Apalagi rasa kantuknya masih ada.

Tak ada pilihan lain. Makan di luar solusinya. Derita tinggal sendiri.

Lala mengambil jaket dan training nya di kamar. Tak lupa dengan topi yang ia gantungkan di dekat pintu masuk, agar mudah mengambilnya. Setelah siap, gadis itu mengunci setiap pintu rumahnya.

Lala bergegas mengendarai sepeda kesayangannya. Sejujurnya, gadis itu sama sekali tidak bisa mengendarai kendaraan bermotor. Oleh sebab itu ia selalu memakai sepeda kesayangannya meski mobil dan motor berjejer di garasi rumahnya.

Lala mengendarai sepedanya dengan perlahan. Menikmati sepoi angin yang menerpa wajahnya. Tak perlu takut ada kejahatan sebab keamanan di kompleksnya begitu ketat.

Sesungguhnya, Lala membenci kenyataan bahwa ia tinggal di perumahan elit. Suasananya sangat sepi dikarenakan kebanyakan kalangan atas malas keluar rumah hanya untuk bersosialisasi. Tapi apa boleh buat, dia hanyalah seorang anak yang harus mengikuti orang tuanya.

Eh, orang tua ya? Lala tersenyum miris dibuatnya.

Gadis itu mengalihkan pandangan. Begitu bersemangat saat menyadari bahwa sebentar lagi ia akan melewati spot kesukaannya. Lapangan basket perumahan.

Sudah Lala bilang 'kan, ia tinggal di perumahan elit. Maka bukan kemustahilan jika banyak fasilitas gratis di sini. Hingga banyak orang rela membuang begitu banyak uangnya hanya untuk tinggal di sini.

Salah satu fasilitas yang Lala sukai adalah lapangan basket. Bukan karena ia senang berolahraga. Bukan juga karena ia suka melihat permainan basket.

Hanya saja di lapangan itu, beberapa orang kerap kali berkumpul. Membuat kegaduhan dengan dentuman bola basket yang menubruk tanah. Kemudian sorakan mereka yang terdengar begitu bahagia. Membuat Lala dapat melupakan segala suasana mencekam yang selalu hadir di kompleksnya.

Hal lain yang membuat Lala suka dengan lapangan itu adalah karena letaknya bersebelahan dengan taman kompleks. Yang artinya suasananya pasti begitu rindang. Sangat nyaman bahkan jika dikelilingi sunyi sekalipun.

Dan jangan lupakan, permainan basket mengingatkannya pada seseorang. Seorang pemain futsal yang kerap kali bermain basket bersama teman-temannya. Seseorang yang telah ia kagumi sekitar satu tahun lamanya.

Tak terasa, lapangan basket telah di depan mata. Kali ini hanya ada satu orang di sana. Seseorang yang posturnya sudah Lala hafal dengan baik.

Lala mencoba mengerjapkan matanya. Siapa tahu ia berhalusinasi karena terlalu rindu. Tapi pemandangan di depan sana tak berubah. Masih menampilkan Dika yang tengah memainkan bola basket di tangannya.

Walaupun hanya bisa melihat bagian belakang, Lala jelas tahu kalau di depan sana adalah Andika Mahardika. Si Ketua OSIS yang sudah seminggu ini tidak masuk sekolah karena ada keperluan di luar sekolah. Lantas mengapa lelaki itu kini justru berada di lapangan kompleksnya?

Meski begitu, Lala sama sekali tidak peduli. Baginya, ini adalah pemandangan langka. Dan ia sangat beruntung karena dapat menikmatinya sendirian.

"Gue nggak tau kalau bisa sebucin ini. Padahal dulu suka sama orang aja nggak pernah. Hebat banget Kak Dika sampai bisa luluhin hati gue," gumam Lala.

Lala memposisikan tangan menopang dagu. Lantas sikunya ia tumpukan pada stang sepedanya. Posisi yang biasa ia gunakan ketika melihat ke luar kelas guna menonton Dika yang bermain basket bersama sahabat-sahabatnya.

"Mau diliat dari sisi mana pun, dia tetep aja ganteng. Padahal cuma dari belakang dan lumayan gelap, tapi pesonanya beneran bikin meleleh," gumam Lala sekali lagi.

Yah, walaupun Lala juga tidak salah karena pesona Dika memang sekuat itu. Tapi gadis itu sedikit melebih-lebihkan sebab sudah terpincut pesona si Ketua OSIS. Apalagi saat ini ia dalam keadaan bucin maksimal. Sudah pasti dia melihat Dika seratus persen—bahkan lebih—baik.

Sayangnya, suatu suara merusak kenyamanannya. Perutnya berbunyi. Pertanda ia harus segera makan jika tidak ingin terkena maag.

Lala mendengkus keras. Dia terpaksa harus pergi. Semoga saja saat ia kembali nanti, Dika masih berada di sana. Ia masih ingin menikmati pemandangan ini.

Begitu Lala menjauh, seseorang menghentikan permainannya. Menatap punggung Lala yang semakin menjauh. Lantas tersenyum manis.

Sebetulnya, Dika sudah menyadari kehadiran Lala sedari awal. Hanya saja ia memutuskan untuk pura-pura tidak tahu agar gadis itu tidak kabur.

Sudah seminggu ia tidak bertemu gadis itu. Apa ada yang berubah? Mungkin Lala akan semakin manis?

Dika jadi sedikit menyesal sudah memilih mengikuti perjalanan bisnis papanya. Dia jadi tidak bisa memandangi si gadis pendiam itu dari jauh. Mengamati setiap pergerakannya, lalu menyimpannya dalam memori. Sebab ia tahu, bahwa Lala tak akan bisa ia miliki.

Mengingat hal itu membuat Dika jadi murung. Dia sebenarnya begitu menyadari perasaannya. Bahkan berniat menjadikan gadis itu miliknya. Sebelum Alvina melarangnya untuk berpacaran.

Andika bukannya ingin tunduk, hanya saja ia tak enak melupakan orang lama hanya untuk yang baru. Dika jelas ingat siapa yang mendukungnya mati-matian saat semua orang menentang mimpinya menjadi Ketua OSIS. Maka setidaknya, Dika hanya ingin menjadi seseorang yang berguna untuk Alvina.

🌷🌷🌷

Lala merapikan kerah seragamnya. Dengan penuh senyuman gadis itu turun ke bawah. Memanaskan makanan sejenak, kemudian menyantapnya sebagai sarapan.

Selama beberapa tahun tinggal sendiri, Lala sudah terbiasa dengan segala pekerjaan rumah yang harus ia kerjakan. Seperti saat ini, ia hanya sarapan dengan lauk yang ia beli semalam. Itu terjadi karena ia malas ke supermarket.

Bukannya tak mampu untuk membayar pembantu, Hanif—ayah Lala—justru memberi uang bulanan yang fantastis. Hanya saja, Lala lebih senang tinggal sendiri. Dia sudah terbiasa dengan kesendirian yang ia alami selama bertahun-tahun. Lebih baik rumah ini hanya berisi dirinya, daripada ada orang lain, tapi hanya orang asing.

Setidaknya dengan begini, Lala masih akan merasakan suasana yang sama seperti tiga tahun yang lalu. Ketika ia sendiri di rumah. Menunggu orang tua dan kakak-kakaknya pulang.

Lala mengepalkan tangannya. Tangannya yang hendak menggapai gagang pintu dia tarik kembali. Membawanya sejajar di kedua sisi tubuhnya.

Getaran halus mulai terlihat. Isakan perlahan terdengar. Lala tak mampu menampung kesakitannya untuk kali ini.

Lagi-lagi gadis itu mengingat tentang keluarganya. Tentang kebersamaan mereka. Tentang suasana nyaman yang begitu ia nikmati.

Hingga pada akhirnya ia terlena. Tertipu oleh kebahagiaan semu. Sampai akhirnya semesta merenggut kebahagiaannya.

Dan hanya menyisakan penderitaan dalam hidupnya.

***
To Be Continued

Hai, buat kali ini aku nggak ada yang mau disampaikan sih. Cuma mau bilang kalau aku lagi dalam masa rehat setelah sibuk banget di Bulan September. Jadi draft ku juga udah mulai menipis. Maaf kalau nanti aku agak lama upload nya.

See You!

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang