55. Penyelidikan Dimulai

18 2 0
                                    

Deheman Haidar membubarkan pertikaian yang baru saja terjadi. Seluruh atensi tertarik kepadanya. Namun, lelaki itu tetap tenang.

"Seperti yang sudah anda katakan, yang berhak bersuara adalah saya dan istri saya selaku orang tua dari Alvina, bukan? Kalau begitu, dengan ini saya menyatakan protes keras terhadap anda yang sudah seenaknya menuduh anak saya terlibat dalam sebuah kasus yang amat besar ini." Haidar mengubah posisi duduknya yang awalnya bersandar menjadi tegak.

"Selama belum ada bukti, jangan pernah sekali saja anda menuduh anak saya. Karena saya tidak akan segan-segan mengerahkan seluruh kekuasaan saya untuk melindungi putri kecil saya," lanjutnya.

Alvina termenung. Apa yang baru saja terjadi? Ayahnya membelanya?

Alvina menggigit bibir bawahnya. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Perasaan menggebu-gebu timbul kembali di hatinya.

"Saya minta sekolah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut dalam kasus ini, kalau perlu dengan bantuan pihak yang berwenang. Jangan sampai menimbulkan korban lagi karena ketidakbecusan anda menangani kasus ini," usul Haidar setengah mengancam.

Sang kepala sekolah hanya menurut. Tampaknya takut dengan ancaman yang baru saja diberikan oleh Haidar. Pun menyesal, sebab orang yang berniat dia kambing hitamkan ternyata memiliki latar belakang yang kuat.

"Baik, Tuan dan Nyonya, kita akhiri saja pertemuan pagi hari ini. Terima kasih atas kedatangannya dan mohon maaf atas ketidaknyamanannya," pungkas kepala sekolah.

Empat orang tamu yang berada di sana pun segera keluar. Begitu pula dengan sang kepala sekolah yang turut mengantarkan.

"Kamu ke mobil dulu aja, aku mau ngobrol sebentar sama Alvina," kata Firda setelah Kepala Sekolah kembali ke ruangannya.

Haidar menurut, lelaki itu segera pergi setelah mengelus rambut putrinya. Sementara Alvina dan Joseph masih di tempat. Joseph merasa harus tetap di sini untuk berjaga, dia tidak ingin Firda melukai Alvina lagi.

Melirik Joseph sebentar, Firda menghela napas. "Untuk kali ini saja, dengarkan mama baik-baik, Alvina! Apa yang kamu lihat baik belum tentu baik, dan apa yang kamu lihat buruk belum tentu benar-benar buruk. Berhenti menjadi manusia yang naif."

Kemudian wanita itu pergi begitu saja.

🌷🌷🌷

Alvina menunggu Joseph di depan kelas sang lelaki kala jam pulang sekolah telah tiba. Dia masih tidak berani pulang, toh juga dia sudah diusir. Juga dalam pertemuan tadi, sama sekali tidak ada ajakan untuk pulang.

Joseph muncul tak lama kemudian. Tampak manis dengan senyumannya. Sayangnya, baru mereka akan beranjak, seseorang memanggil.

"Permisi, Kak. Kak Alvina sama Kak Joseph dipanggil ke ruang BK. Kak Dika juga, tolong bilangin ke dia ya, Kak. Soalnya saya buru-buru," ucap seorang lelaki yang sepertinya masih duduk di kelas sepuluh.

Selepas lelaki itu pergi, Joseph segera kembali ke kelas untuk memanggil Dika. Setelahnya, ketiga orang yang dipanggil itu menuju ruang kepala sekolah. Tanpa tahu alasan mereka dipanggil. Yang pasti, ini berkaitan dengan kasus Lala.

"Silakan duduk," ucap kepala sekolah.

Di dalam sana, sudah ada satu guru BK yang Alvina kenal sebagai orang yang cukup dekat dengan Lala. Mengingat gadis itu kerap kali keluar masuk ruang BK atas prestasinya.

"Tujuan saya memanggil kalian ke sini, ingin menyampaikan bahwa sekolah memutuskan untuk menyelidiki kematian Aqila Azzahra. Terutama tentang dalang di balik postingan mading sekolah." Kepala sekolah membuka suara.

Dika mengernyit. "Bukannya sudah jelas pelakunya?"

"Tidak ada bukti, Alvina tidak bisa dinyatakan bersalah," ujar (Nama) tenang.

Dika memutar bola matanya malas. Semua ini sungguh merepotkan. Tersangka sudah di depan mata, tapi untuk menyatakan bahwa gadis itu bersalah pun tidak bisa.

"Lalu, tujuan Ibu memanggil saya ke sini apa?" tanya Dika. Dia sudah muak berada di ruangan yang sama dengan orang yang membunuh gadisnya.

"Sebagai seseorang yang sangat saya percayai, saya ingin mengamanatkan kamu menjadi pemimpin penyelidikan ini. Saya tahu kamu bisa diandalkan. Apalagi Lala itu 'kan kekasih kamu, kamu pasti ingin dia mendapatkan keadilan 'kan?" jelas Kepala Sekolah

Dika mengiyakan dalam hati. Lala harus mendapat keadilan. Namanya harus kembali bersih.

Keputusan yang Dika ambil untuk mengakhiri hubungan di saat itu sudah pasti melukai Lala. Jadi setidaknya, Dika ingin menebus kesalahannya dengan memberikan keadilan untuk gadis itu. Membantunya mengembalikan nama baiknya.

Namun, sepertinya ada yang salah.

"Kalau saya boleh tau, kenapa Alvina juga diundang ke sini?" tanya Dika.

Please, jangan bilang kalau gue harus kerja sama bareng dia dalam penyelidikan ini.

"Ada tiga orang yang diberikan mandat melakukan penyelidikan. Kamu, selaku orang yang berada di pihak Lala dan sudah pasti menginginkan yang terbaik untuk dia. Alvina, yang ingin membersihkan nama baiknya sendiri karena menjadi tertuduh. Juga Joseph sebagai orang netral."

Sial.

"Bu, kalau salah seorang tersangka terlibat dalam penyelidikan, yang ada dia hanya akan melenyapkan barang bukti. Dia nggak akan berpikir bagaimana caranya kasus ini selesai, melainkan bagaimana caranya supaya dia nggak lagi jadi tersangka. Yang saya khawatirkan, ada yang dikambinghitamkan nanti," protes Dika.

Alvina yang mendengar perkataan Dika menoleh tak percaya. Lelaki itu mengenalnya sejak kecil. Bagaimana bisa menuduhnya akan berbuat sekeji itu?

"Karena itu ada Joseph di sini sebagai penengah. Dia yang bertugas mengawasi Alvina. Saya tau kamu pasti khawatir karena Joseph terlihat membela Alvina, tapi saya yakin dia tidak akan setega itu untuk mengkhianati kamu."

Dika menatap ke arah sahabat lelakinya itu. Kemudian dia menghela napas. Tidak ada pilihan lain.

"Kalau begitu, penyelidikan ini dimulai dari mana?" tanya Dika.

"Rumah Lala." Alvina akhirnya membuka suara.

Dika hanya melirik, sedikit skeptis. "Kenapa rumah Lala?"

"Karena kita harus minta izin dulu buat ngelakuin penyelidikan ini. Selain itu, keluarga Lala pasti bisa bantu kita cari informasi. Yang paling penting, rumah Lala itu salah satu tempat yang paling sering ditempati Lala, mungkin kita bisa nemu petunjuk di sana." Alvina memaparkan dengan tenang. Sama sekali tidak peduli dengan tatapan tak menyenangkan dari Dika.

"Kalau orang tuanya Lala nggak ngizinin?" Dika kembali membuka suara.

"Pasti diizinin. Lala, anak bungsu mereka tiba-tiba meninggal setelah kasus pembullyan. Udah pasti sebagai orang tua, mereka juga nggak akan diem aja."

"Kalau begitu, yakin orang tua atau kakaknya Lala ada di rumah? Selama beberapa kali gue ke sana, rumahnya sepi. Kayak ... cuma Lala yang tinggal di sana."

Alvina mengernyit. Rumahnya sepi? Hanya Lala yang tinggal di sana?

Aneh sekali. Tidak mungkin 'kan gadis bungsu kesayangan keluarga Rabbani itu ditinggalkan sendirian begitu saja? Kecuali jika selama ini ada sebuah rahasia yang tidak pernah diketahui oleh dirinya, maupun yang lainnya.

***
To Be Continued

Aku up sekarang karena besok nggak bisa up. Doain aku cepet senggang biar bisa up terus ya.

See You!

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang