Malam berjalan seperti biasanya. Keluarga Alexander melaksanakan makan malam yang biasa mereka jalani. Dan di saat ini, Alvina baru menyadari jika ada sesuatu yang janggal.
Jika memang kedua orang tuanya membencinya, mengapa keduanya justru tak terlihat seperti pasangan bahagia?
Maksud Alvina, apa yang terjadi dengan hubungan orang tuanya? Apakah ada alasan sebenarnya mengapa mamanya selalu marah-marah? Jika kedua orang tuanya kompak untuk membencinya, bukankah setidaknya hubungan mereka masih harmonis?
Tapi Haidar dan Firda tidak. Mereka sama sekali tidak terlihat seperti pasangan. Keduanya seperti terpaksa menjalani pernikahan.
Haidar dan Firda memang tidak pernah bertengkar, tapi juga tak pernah menunjukkan keromantisan. Sebagai anak muda jaman sekarang, tentu saja Alvina hafal betul apa saja macam-macam bahasa kasih. Namun, seingatnya tak satu pun yang kedua orang tuanya pernah lakukan.
"Alvina," panggil Haidar tiba-tiba.
"Iya, Pa?"
"Masih ingat janji kamu waktu itu?"
Alvina merotasikan bola matanya ke atas. Mencoba mengingat janji apa yang pernah ia buat. Namun, hingga beberapa menit kemudian, Alvina masih belum menemukan jawabannya.
Haidar tersenyum. "Tentang teman kamu."
"Oh, aku inget! Soal temenku yang namanya Annisa itu ya? Udah lama banget sih itu. Aku udah agak lupa janji apa yang aku kasih ke Papa."
"Gapapa, biar papa ingetin. Waktu itu kamu bilang bakal ngelakuin apa aja kalau papa berhasil dapetin informasinya," tukas Haidar.
"Oh, terus sekarang papa udah dapet?"
"Sebenarnya papa sudah lama dapat, tapi papa belum nemu balasan apa yang pantas kamu lakukan. Dan sekarang Papa sudah nemu, kamu nggak akan ingkar janji 'kan?" Haidar tersenyum penuh arti.
Alvina balas tersenyum. Papanya selalu membuatnya nyaman. Lelaki itu tak sungkan membantunya walaupun harus memberi imbalan setelahnya. Papanya itu juga tak pernah bertindak kasar kepadanya. Sangat berbeda dengan ibunya.
"Enggak kok, Pa. Aku bukan orang yang plin-plan. Papa bisa ngasih tau sekarang. Aku bakal nurutin apapun yang papa mau nanti."
Haidar mengangguk. "Teman kamu itu pernah jadi korban pelecehan. Karena itu dia trauma sama laki-laki, walaupun nggak pernah kelihatan begitu. Annisa satu-satunya harapan keluarganya, jadi orang tuanya maksa dia untuk ngelanjutin pendidikan seperti nggak terjadi apa-apa. Pastinya ini bikin dia makin tertekan, bahkan dari berita yang papa dapat, dia beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Itu yang diketahui orang, diam-diam pasti dia lebih sering melukai dirinya sendiri. Lalu beberapa tahun lalu dia mulai bangkit dan akhirnya memilih ikut beladiri supaya orang lain nggak bisa nyakitin dia lagi."
Alvina termenung. Sedikit tidak menyangka jika ada orang lain yang mengalami kisah hidup yang lebih pahit darinya. Apalagi orang itu ternyata adalah sahabatnya sendiri.
Annisa adalah seorang gadis dengan penuh trauma. Orang tua gadis itu pun sama jahatnya dengan orang tuanya—lebih tepatnya ibunya—yang selalu menuntut. Hanya saja bedanya, orang tua Annisa menuntutnya untuk selalu kuat, sementara orang tua Alvina menuntutnya untuk selalu sempurna.
Sedangkan sahabatnya yang satu lagi, Amel adalah korban dari krisis ekonomi keluarga. Gadis itu terpaksa bekerja paruh waktu karena harus membantu ibunya menghidupi keluarga. Ayah gadis itu sudah meninggal bunuh diri tiga tahun yang lalu karena stress terlilit utang. Meninggalkan beban utang itu kepada keluarganya.
"Alvina, kenapa bengong?" tanya Haidar menyadarkan gadis itu dari lamunannya.
"Gapapa kok, Pa. Sekarang, apa imbalan yang papa minta?"
"Papa belum bisa ngomong sekarang, yang jelas besok malam ada makan malam sama keluarga Mahardika. Kamu harus ikut."
Setelahnya Haidar pergi dari ruang makan. Meninggalkan Alvina yang masih tidak memiliki petunjuk atas keinginan papanya. Juga Firda yang menatap Alvina dengan tatapan ... khawatir?
"Bodoh," tukas Firda yang langsung pergi meninggalkan ruangan.
🌷🌷🌷
Makan malam berjalan dengan santai seperti biasa. Baik Alvina maupun Dika tampil seperti tidak ada masalah di antara mereka. Berhubung kalo ini mereka makan malam di sebuah restoran, Dika yang awalnya selalu menjemput Alvina di teras rumahnya berubah jadi menunggu di depan restoran. Mereka bahkan tetap bergandengan tangan masuk hingga membuat Nadiva iri.
"Gimana bisnis, Van?" Mungkin ini untuk yang pertama kalinya Haidar membuka sebuah pembicaraan.
Nevan mengembuskan napasnya berat. Belakangan ini, ada banyak masalah yang menimpa. Seperti kepala gudang dan direktur operasional yang terindikasi melakukan penggelapan, investor besar yang mulai menarik sahamnya, bahkan penghasilan perusahaan yang semakin menurun.
"Nggak terlalu bagus. Apalagi masalah investor, beberapa malah nyuruh saya mundur dari jabatan direktur utama karena dianggap nggak becus."
Haidar tersenyum ringan. "Butuh bantuan?"
Nevan melirik, tawaran dari Haidar tentu saja adalah kesempatan emas. Perusahaan milik lelaki itu jelas bukan perusahaan main-main. Dan akan sangat menguntungkan jika Nevan bisa bekerja sama dengan Haidar di posisinya saat ini.
"Bisa kita obrolin nanti. Makasih tawarannya ya."
Haidar tertawa lantas menjawab, "Santai aja. Kita 'kan keluarga."
🌷🌷🌷
Saat ini, baik Nevan maupun Haidar berada di ruang kerja milik Nevan. Tadi setelah makan, keluarga Alvina tak langsung pulang. Mereka mampir ke rumah keluarga Mahardika sejenak karena ada hal yang harus dibicarakan antara Nevan dan Haidar.
"Jadi, masalah apa saja yang muncul di perusahaan kamu?" Haidar menyandarkan punggungnya ke kursi.
"Banyak, mulai dari isu penggelapan dana, investor yang mulai cabut, penghasilan menurun. Pusing lah pokoknya."
Haidar lagi-lagi tersenyum. Ini adalah kali pertama dia bisa melihat seorang Nevan Mahardika dalam keadaan terpuruk. Bahkan lelaki itu seperti sudah kehilangan wibawanya.
"Kamu butuh bantuan apa dari saya? Saya yakin bisa memenuhi apa pun yang kamu butuhkan. Tapi kamu harus ingat, bantuan dari saya tidak pernah gratis," kata Haidar.
"Yang pasti saya butuh kamu untuk jadi salah satu investor di perusahaan saya. Yang pastinya, kamu harus punya kekuatan untuk bisa membuat saya bertahan jadi direktur utama. Jelas itu nggak mudah, saya nggak akan jual saham saya karena itu akan melemahkan diri saya sendiri. Jadi kamu harus merayu investor lain untuk menjual sahamnya ke kamu, bisa?"
Haidar sekali lagi tertawa ringan. Sepertinya, dari kemarin lelaki itu sedang bersuasana baik. Sebab tawa terus menguat darinya.
"Nggak perlu meragukan kekuatan saya. Kamu berhasil lebih sukses daripada saya karena kamu hanya meneruskan perusahaan keluarga Mahardika. Sedangkan saya membangun perusahaan saya sendiri. Kamu nggak lupa 'kan kalau saya terkenal jenius dari dulu? Lebih baik pikirin aja, apa kamu sanggup untuk memenuhi imbalan yang saya minta?"
Nevan mengangguk. "Apa yang kamu mau sebagai imbalan?"
"Anak kamu, Andika Mahardika."
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...