Rabu pagi, kelas XII-IPA 1 mendapat jadwal pelajaran Ekonomi sebagai Lintas Minat. Sebagai barisan siswa paling pintar di jurusan IPA, bukan berarti mereka cerdas dalam semua mata pelajaran. Pelajaran Lintas Minat justru adalah yang paling mereka hindari.
Dalam SMA Major, tidak ada yang namanya jurusan satu lebih baik dari yang lain. Semuanya sama rata tergantung minat dan bakat dari siswa itu sendiri. Karena itu, pelajaran Lintas Minat tentu saja mereka hindari karena tidak termasuk dalam batas kemampuan mereka.
Seperti yang dilakukan Dika pagi ini. Lelaki itu dengan sengaja memilih izin dari kelas. Kebetulan, memang ada tugas OSIS yang harus dia selesaikan hari ini. Dan sebagai Ketua OSIS, Dika memiliki privilege untuk izin demi mengerjakan tugas OSIS.
Apakah Dika benar-benar pergi ke ruang OSIS dan mengerjakan tugasnya? Jawabannya iya dan tidak. Dika memang pergi ke ruang Ketua OSIS, tapi tidak mengerjakan tugasnya. Lelaki itu duduk di depan salah satu jendela yang menampilkan lapangan depan.
Pagi ini adalah jadwal Olahraga XI-IPA 1 dan XI-IPS 2. Itu berarti, Lala sedang berolahraga sekarang. Terbukti dari gadis itu yang duduk di bawah pohon bersama dua temannya.
Lala terlihat berbincang seperti biasa. Hingga seorang laki-laki mendatanginya. Tak lama kemudian, dua kelas yang seharusnya berolahraga terpisah itu bergabung. Mungkin salah satu gurunya tidak masuk.
"Cantik banget sih cewek gue," gumam Dika saat melihat Lala yang tengah berbaris bersama teman-temannya.
Walaupun hanya dengan seragam olahraga sekolah yang serba panjang, Lala tetap terlihat menawan. Kecantikan gadis itu sama sekali tak luntur mengenakan pakaian apapun. Benar-benar definisi 'orang cantik pakai apapun akan tetap cantik'.
Semuanya berjalan dengan lancar, sampai akhirnya mereka diperintahkan berlari mengelilingi lapangan. Dika mulai mengernyit tidak senang menatap Lala yang kini berlari bersisian dengan seorang lelaki. Tidak, bukan Lala yang membuat Dika itu tidak senang tapi laki-laki di sampingnya.
"Dih, keliatan banget modusnya," cibir Dika saat melihat lelaki itu, Nanda—ketua klub basket saat ini—mengelap keringat di wajah Lala dengan bajunya.
"Ngapain coba baju diangkat-angkat gitu? Mau pamer perut kotak-kotak? Gitu doang mah gue juga punya."
Dika terus menonton setiap kegiatan Lala. Dan selama itu, dia tidak pernah berhenti untuk menyumpah serapah Nanda. Mengumpati lelaki itu karena terus mencoba mendekati Lala.
"Ngapain sih nyamperin Lala mulu? Caper banget."
"Najis, pegang-pegang."
"Ih, apaan itu pakai segala ngajarin dari belakang? Mau cosplay Titanic lo?"
"Argh, bodo amat lah. Dasar Ketua Basket sialan. Kalau aja gue bisa nyamperin ke sana udah gue samperin deh. Biar dia tau siapa yang Lala suka sebenernya."
Dika sudah tidak bisa menangani rasa cemburunya. Sepertinya lebih baik untuk kembali ke kelas. Lagipula pelajaran Ekonomi sudah selesai.
Sebelum benar-benar pergi, Dika berucap, "Liat aja siapa yang bakal dapetin Lala nanti."
🌷🌷🌷
Rasanya waktu cepat sekali berlalu. Taman yang menjadi saksi pertemuan antara Alvina dan Andika itu kini sudah jarang dikunjungi oleh keduanya. Oleh karena itu, Alvina meminta Dika untuk membawanya ke sini.
Sepulang sekolah, Firda dan Monica kompak meminta keduanya untuk pergi bersama. Katanya sih karena sudah lama tidak menghabiskan waktu berdua. Padahal selama ini rasanya mereka sudah cukup sering bersama. Entah itu di sekolah ataupun di luar sekolah.
Tapi tak ada pilihan selain menurut. Lagipula mereka sudah lama tidak bermain karena terlalu sibuk dengan urusan masing-masing.
"Kak, inget nggak dulu kita ketemu di sini?" tanya Alvina riang. Kakinya menggerakkan ayunan yang didudukinya. Ayunan yang sama dengan sekitar dua belas tahun yang lalu.
"Hm." Sedangkan Dika justru membalas singkat.
Melihat Dika yang suasana hatinya tidak baik, Alvina memilih diam. Dia tahu bagaimana rasanya diganggu ketika sedang kehilangan mood. Kadang orang hanya perlu waktu untuk mengembalikan mood mereka. Dan Alvina memberikan waktu kepada Dika dengan mendiamkannya.
Sayangnya, lama kelamaan Alvina jadi bosan sendiri karena Dika yang tak kunjung baikan. Maka dari itu, Alvina memilih membuka ponselnya. Lantas tersenyum saat mendapat notifikasi pesan dari seseorang.
Kak Joseph 🙈
Di mana? Gue kangen hehe.Jika sudah begini, bisa dipastikan kalau Alvina akan lupa waktu dan dunia. Selama bersama Joseph, Alvina selalu terhanyut hingga tanpa sadar menghabiskan banyak waktu hanya untuk saling berkirim pesan. Alvina juga akan lupa dunia, lupa bahwa dia tidak sendirian saat ini. Buktinya gadis itu malah balik mencueki Dika.
Sayangnya, cueknya Alvina bukan masalah besar bagi lelaki itu. Dika kini sedang pusing dengan segala pemikiran yang muncul dalam benaknya. Kepalanya terasa sangat berisik.
Dika berpikir, cara apalagi yang harus dia gunakan untuk mendekati Lala? Yang pasti, dia tidak boleh melakukannya dengan terang-terangan karena nantinya dia yakin pasti banyak penghalang. Dika harus melakukan semuanya secara diam-diam dan di luar sekolah.
"Kak, pulang yuk? Udah mau gelap," ajak Alvina yang segera diangguki Dika.
Suasana hatinya sedang tidak baik. Tadi pagi-pagi, sudah diberikan asupan lelaki yang mencari perhatian kepada pujaan hatinya. Kemudian pulang sekolah tadi ia harus mengerjakan projek OSIS yang harus selesai hari ini. Setelahnya, dia berharap bisa segera beristirahat, tapi justru berakhir bersama Alvina di taman.
"Harusnya lo tadi jangan iya-iya aja. Gue capek pulang sekolah langsung ngerjain tugas OSIS. Pengen istirahat malah nganggur di sini sama lo. Lagian kita di sini juga nggak ngapa-ngapain. Lo sibuk sendiri sama ponsel. Kalau gitu ngapain lo iyain coba?" ketus Dika sambil membuka pintu mobilnya.
Hari ini, Dika pergi dengan membawa mobilnya. Tentu saja bukan BMW merah yang dia pakai saat makan malam bersama Lala. Dia tidak akan membiarkan perempuan mana pun duduk di mobil itu kecuali Lala.
Sejujurnya, Alvina merasa agak kesal dengan perkataan Dika. Lelaki itu tahu sendiri bagaimana keras ibunya, tapi masih bisa berkata seperti itu. Lagipula dia tidak akan menyangka kalau Dika sedang dalam suasana hati yang buruk.
"Maaf, Kak. Lo tau sendiri 'kan kalau gue nggak bisa nolak permintaan mama?" Walaupun tak merasa bersalah, Alvina tetap meminta maaf. Mungkin Dika sedang dalam keadaan hati yang benar-benar buruk sampai marah-marah tidak jelas.
"Nah, karena itu tuh lo makin diinjek-injek sama nyokap lo. Lo itu cupu, Alvina. Coba deh sekali-sekali lo lawan nyokap lo itu. Sekali-sekali lo bilang kalau lo nggak mau diatur-atur. Sekali-sekali lo tangkis pukulan nyokap lo atau kabur aja sekalian. Lagian lo punya bokap buat apa sih? Nyusahin aja tau nggak!"
Bolehkah Alvina mengeluh? Menurutnya, Dika sudah keterlaluan. Dari awal gadis itu tak pernah meminta untuk Dika melindunginya. Dari awal, Alvina hanya ingin Dika menjadi temannya. Baginya itu sudah lebih dari cukup. Tapi Dika dengan keras kepala memaksa masuk ke dalam kehidupannya. Dan kini lelaki itu mengeluh bahwa Alvina menyusahkannya?
Pada akhirnya, Alvina hanya mampu memendam semuanya sendirian. Menelungkupkan kepalanya di lutut yang ia tekuk sebatas dada. Menangis tanpa suara di sana.
Mungkin setelah ini, Alvina tak akan pernah lagi berharap orang lain akan mengerti tentangnya.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...