"Alvina," panggil seseorang dari luar kelas.
Situasi ini sudah sering terjadi. Hampir setiap hari Andika selalu menghampiri Alvina ke kelasnya. Anak laki-laki itu akan mengajak teman perempuannya ke kantin.
Tak ada yang begitu spesial, hanya sarapan sambil bercerita. Simpel, tapi sangat bermakna bagi Alvina. Satu-satunya keadaan di mana ia bebas mengungkapkan apapun yang mengganjal dalam hatinya.
"Tadi aku disuruh makan dulu sama Mama, jadi nanti cuma nemenin aja. Gapapa, kan?" tanya Andika. Tangan anak berusia sebelas tahun itu mengelus pelan puncak kepala Alvina.
"Iya gapapa." Alvina tersenyum manis yang dibalas oleh senyuman cerah seorang Andika Mahardika. Senyuman yang di masa depan akan meluluhkan hati seseorang.
Teman sekelas Alvina yang berjenis kelamin perempuan memekik. Andika sudah menawan sedari kecil. Oleh karena itu banyak yang histeris saat melihat perhatiannya.
Sebenarnya, melihat seberapa perhatiannya Andika kepada Alvina, banyak yang berspekulasi bahwa mereka adalah sepasang kekasih. Di zaman yang mulai modern ini, sudah bukan hal yang mengherankan apabila anak sekolah dasar berpacaran. Walaupun masih banyak pula yang menentang.
"Udah lah, kalian pacaran aja! Cocok tau," teriak salah satu sahabat Alvina.
Tak ada tanggapan selain senyuman. Baik Alvina ataupun Andika sudah biasa mendapat tanggapan seperti itu. Jadi mereka tak akan mengelak atau memberi penjelasan. Melelahkan.
Banyak hal yang tidak orang lain ketahui. Soal perasaan mereka contohnya. Alvina maupun Andika benar-benar memiliki rasa sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Andika bahkan menganggap Alvina sebagai adik kandungnya sendiri. Mana ada kakak yang ingin berpacaran dengan adiknya?
🌷🌷🌷
Mengabaikan ucapan teman sekelasnya, Alvina kini telah berada di kantin dengan Andika. Bersama semangkuk bakso yang masih hangat. Sangat cocok dimakan di pagi hari yang dingin ini.
"Mau cerita dulu atau makan dulu?" Seperti biasa, Andika selalu bertanya. Dia ingin Alvina merasa nyaman.
"Makan dulu aja. Baksonya nanti dingin kalau dibiarin. Nggak enak," kata Alvina.
Alvina pun memulai sesi makan dengan pandangan Andika yang terus mengarah padanya. Anak perempuan itu tidak risih. Sebab ini bukan pertama kalinya.
Sesekali tangan Andika mengusap pinggiran bibir Alvina. Anak perempuan itu makan dengan cepat sebab terburu waktu.
"Jangan cepet-cepet, nanti tersedak," nasihat Andika.
Alvina tak menghiraukan. Lima menit lagi masuk. Dia harus segera menyelesaikan acara makannya.
Tak lama kemudian, Alvina menyelesaikan sesi sarapan. Membersihkan sekitaran mulutnya dengan tisu. Lalu meminum teh manis hangat yang dipesannya tadi.
"Yuk, ke kelas!" ajak Dika.
Laki-laki itu mengantar Alvina ke kelasnya. Dia juga meminta maaf karena datang sedikit terlambat dari biasanya. Sehingga Alvina harus makan dengan cepat dan tidak bisa bercerita.
"Gapapa. Lagian kita sarapan bareng hampir tiap hari. Kasian Mama Monica kalau kamu tiap hari nggak pernah sarapan di rumah."
Andika tersenyum. Inilah yang paling ia suka dari Alvina. Pengertian. Gadis itu tidak pernah melarangnya melakukan sesuatu.
"Yaudah sana masuk, aku ke kelas dulu. Nanti pulang bareng." Andika mengusap rambut Alvina sejenak kemudian pergi ke kelasnya.
🌷🌷🌷
"Eh ada Nak Dika." Firda menyambut ketika melihat seorang anak laki-laki datang bersama anaknya.
Perempuan berusia tiga puluh tahunan itu memasang senyum cerah. Segera merangkul Andika untuk diajak masuk. Mengabaikan anaknya sendiri yang juga baru saja datang.
Andika hanya tersenyum dan membiarkan. Walau hatinya merasa bersalah kepada sahabatnya. Namun, dia yakin Alvina akan memaklumi.
Walaupun Andika tahu bagaimana kejamnya Firda kepada Alvina, anak laki-laki itu tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanyalah orang luar yang tak bisa bersikap kurang ajar. Lagipula dia masih kecil, apa yang bisa diharapkan darinya?
Ketiganya kini duduk di ruang tamu. Dengan Firda dan Andika yang duduk bersebelahan. Sedangkan Alvina menempatkan diri di sofa single.
Firda menangkup kedua pipi Andika. Kemudian mencubitnya gemas. Dia ingin sekali memiliki anak laki-laki. Sayangnya yang dia lahirkan adalah anak perempuan.
Sebenarnya, dulu Firda sempat meminta izin kepada sang suami untuk kembali hamil. Namun, Haidar menolak dengan tegas. Lelaki itu mengatakan hanya ingin memiliki satu anak. Pada akhirnya, Firda hanya bisa mengiyakan. Hamil ditemani suami saja susah, apalagi hamil tanpa izin suami.
"Dika apa kabar, Nak? Mama kangen banget loh sama kamu. Udah lama nggak mampir."
Andika terkekeh. Menggenggam kedua tangan Firda yang masih di pipinya. "Mama nyuruh cepet pulang hehe."
"Duh, emang si Monica itu. Masa anaknya main ke sini sebentar aja nggak boleh," gumam Firda kesal.
"Udah dong, Ma. Kan Kak Dika udah ada di sini." Ucapan itu membuat Firda melirik Alvina sinis. Mengisyaratkan anak itu untuk diam.
"Oh iya, Ma. Nanti malem Mama, Papa, sama Alvina diundang buat makan malem bareng. Biasa, Papaku habis menang tender." Dika mengalihkan perhatian, tidak tahan melihat bagaimana sedihnya Alvina saat ibunya sendiri menatapnya sinis.
"Oh ya? Wah, keren banget. Pasti nanti kamu bakal sehebat Papamu waktu mimpin perusahaan keluarga." Andika terdiam. Entah mengapa perasaannya mengatakan bahwa ia tak akan menjadi penerus Mahardika's Company.
"Iya, semoga aja." Pada akhirnya, Dika memilih mengiyakan.
🌷🌷🌷
Andika baru saja pulang beberapa saat yang lalu. Kini tersisa Firda dan Alvina di rumah. Mereka sedang berada di ruang keluarga.
"Habis ini kita ke salon. Mama nggak mau tau, kamu harus keliatan cantik nanti malam. Dan harus selalu begitu di depan keluarga Mahardika. Supaya mereka ngelirik kamu buat jadi menantunya."
Alvina menghela napas lelah. Setelah mengetahui kedekatannya dengan si sulung Mahardika, ibunya selalu bertekad untuk menjadikannya menantu di keluarga itu.
"Ma, aku sama Kak Dika masih kecil. Kenapa udah mikirin sampai ke sana sih?" Perkataan Alvina membawanya ke dalam masalah.
Firda mencengkeram wajah Alvina dengan satu tangan. Tidak terlalu erat agar tak menimbulkan bekas. Perempuan itu lalu berkata.
"Heh, denger kamu, ya! Andika itu pasti banyak yang ngincar. Dia pewaris utama keluarga Mahardika. Udah pasti yang berniat menjadikan anaknya sebagai menantu, bukan cuma Mama. Jadi kamu harus berusaha dari kecil, atau nanti kamu bakal kalah saing sama orang lain."
Alvina hanya mampu terdiam tanpa kata. Sedangkan Firda memilih pergi. Perempuan berumur tiga puluhan itu mempersiapkan diri untuk datang ke acara makan malam yang diadakan 'calon besannya' nanti malam.
Sejenak, terpikir di benak Alvina. Sekali lagi mengenai hal yang sama. Apakah dia dapat menerima jika ada perempuan lain yang datang ke hidup Dika?
Lagi dan lagi, jawaban yang sama hadir untuk pertanyaan itu. Alvina pasti mampu. Mereka hanya sahabat. Suatu saat nanti, baik dirinya ataupun Andika pasti memiliki jalan hidup masing-masing.
Andika tak akan mengabaikannya hanya karena kehadiran seseorang yang baru. Mereka tetap bisa bersahabat seperti saat ini. Tanpa perasaan apapun.
Ya, Alvina yakin atas hal itu.
***
To Be Continued
Haii, rasanya aku hampa banget tau pas DBSI. Apalagi belakangan ini numpuk bgt tugas. Jadi burn out, padahal habis ini PAT😣
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...