61. Kasih yang Pertama

13 1 0
                                    

"Apa maksudnya kamu mau batalin pertunangannya, Alvina?" Haidar berbicara dengan nada datar, tapi raut wajahnya cukup menggambarkan perasannya.

Alvina gentar melihat tatapan tajam ayahnya yang mengarah kepadanya. Semua hal yang dia persiapkan sebelumnya mendadak hilang dari kepala. Namun, ini kesempatan satu-satunya 'kan?

Alvina tidak akan memiliki kesempatan lain untuk hidup lebih baik. Dia tak memiliki kesempatan lain untuk mengungkapkan semua perasaannya. Jika kali ini dia tidak berhasil membatalkan pertunangan itu, dia benar-benar tak bisa mengharapkan kebahagiaan dalam hidupnya nanti.

"Jawab, Alvina! Saya bicara sama kamu!" bentak Haidar.

Alvina masih kelu. Keberaniannya masih belum terkumpul. Bahkan jika dia tahu kalau ini adalah kesempatan satu-satunya.

Kepala Alvina yang awalnya tertunduk kini mendongak kala merasakan cengkeraman di kedua bahunya. Tidak ada kuku yang menusuk sebab Haidar adalah tipe lelaki rapi yang enggan memelihara kuku panjang. Namun, kekuatan jari Haidar lebih dari cukup untuk membuat Alvina kesakitan.

"Maaf." Hanya satu kata itu yang mampu Alvina rapalkan.

Gadis berusia tujuh belas tahun itu melirik ke arah pojok ruangan. Tempat di mana sang ibu berdiri diam. Firda tampak sama sekali tak terganggu dengan apa yang Haidar lakukan saat ini.

Untuk pertama kalinya seumur hidup, bolehkah Alvina memohon pada Tuhan? Selama ini rasanya dia sudah cukup bertahan, dia sudah cukup menerima seluruh takdir yang Tuhan berikan kepadanya. Untuk kali ini saja, dia harap Tuhan mengabulkan keinginannya.

Alvina ingin ... ibunya membelanya.

Sekali saja, dan Alvina akan memaafkan seluruh perbuatan yang wanita itu lakukan seumur hidupnya. Satu kali saja seumur hidup, Alvina ingin Firda memeluk dan berdiri di depannya. Menjadi sayap pelindungnya, untuk kali ini saja.

Namun, jika kali ini pun keinginan Alvina tak dikabulkan oleh Tuhan, dia tidak akan marah. Mungkin itu adalah pertanda jika sudah saatnya ia menyerah. Sudah saatnya untuk menjalani hidup di atas kedua kakinya sendiri.

Sudah saatnya, Alvina mengambil langkah jauh untuk menjemput kebahagiaannya.

"Aku nggak mau lagi diatur-atur." Alvina berkata tegas dengan menatap kedua mata Haidar.

Firda terkejut mendengar Alvina yang dengan berani melawan Haidar. Sementara Haidar sama sekali tidak takluk. Amarahnya justru semakin berkobar.

"Kamu sadar dengan apa yang kamu katakan, Alvina?" Geraman terdengar dari laki-laki paruh baya itu.

Alvina tak menjawab. Dia perlu mengumpulkan keberanian lagi untuk kembali berbicara.

Melihat keberanian yang menciut dari Alvina, Haidar dengan cepat memanfaatkan keadaan. "Papa beri satu kesempatan lagi untuk kamu berpikir. Papa nggak bermaksud untuk mengatur-atur kamu, Alvina. Selama ini Papa nggak minta apa-apa dari kamu, kan?"

Sayangnya Alvina sama sekali tidak luluh. Sudah cukup tujuh belas tahun ini. Dia tidak ingin hidup dalam bayang-bayang kasih sayang palsu lagi.

Hanya ada dua pilihan. Orang tuanya membiarkannya menjalani pilihan hidupnya sendiri dan dia akan tetap hidup bersama orang tuanya. Atau dia akan hidup sendiri demi meraih kebahagiaannya.

"Aku mau batalin pertunangannya, Papa. Aku nggak mau hidup sama orang yang nggak aku cintai. Kak Dika juga nggak cinta sama aku. Kita sahabat, dan aku nggak mau ngerusak hubungan kita dengan perjodohan nggak jelas ini."

"Selama ini aku juga nggak pernah minta sesuatu ke Papa sama Mama. Aku biarkan kalian menata hidupku sesuai kemauan kalian. Mama marah cuma aku masuk IPS, padahal apa salahnya masuk IPS? Jangan bilang juga kalau papa nggak pernah minta apa-apa, aku tau selama ini papa yang pengen banget aku masuk IPA. Papa—"

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang