Hari, bulan, dan tahun telah berlalu. Satu persatu ketakutan Alvina terjadi. Membuat gadis itu hampir gila menjalaninya.
Hari ini adalah hari pertama sekolah usai libur selama kurang lebih tiga Minggu. Alvina melangkahkan kaki menuju kelas barunya, 8A. Dia baru saja naik kelas.
Di sepanjang perjalanan menuju kelas, banyak pasang mata menatapnya. Membuatnya keheranan setengah mati. Namun, yang bisa ia lakukan hanyalah terus berjalan dan pura-pura tidak sadar akan apa yang terjadi.
"Dia dari gugus satu juga, kan? Temennya Lala bukan sih? Mereka pernah tampil bareng waktu itu."
Alvina memelankan langkahnya kala melintasi seseorang yang berbisik—padahal cukup keras—pada temannya. Mereka sama seperti yang lain. Memandangnya dengan tatapan remeh kemudian saling berbisik. Sejujurnya, Alvina sangat tidak nyaman diperlakukan seperti ini.
"Kayaknya mereka cuma kenal deh. Terus kebetulan tampil bareng karena yang bisa cuma mereka. Soalnya Lala juga nggak pernah keliatan interaksinya sama dia. Mana ada temen tapi ngobrol aja nggak pernah."
Alvina berusaha menekan emosinya. Dia tidak berhak untuk marah. Semua orang berhak untuk berpendapat. Lagipula, kakak kelasnya itu tidak menghinanya 'kan? Walaupun Alvina tau dengan jelas, untuk siapa kata 'dia' itu tertuju.
"Lagian ya, emang mending temenan sama temennya Lala tuh. Siapa itu? Ica sama Agatha bukan sih? Mereka kan baik, seru. Nggak kayak si itu, dari muka aja keliatan jutek. Di kelas juga katanya nggak dapet circle. Keliatan banget orangnya nggak enak buat diajak temenan."
Sudah cukup. Alvina tak bisa lagi menahan amarahnya. Tidak ada orang yang berhak memfitnahnya seperti itu. Mereka tidak tau apa-apa.
"Maksudnya apa?" tanya Alvina ketus.
Kedua orang yang sedang berbisik tadi menghentikan obrolan mereka. Menatap balik Alvina. Tidak merasa takut sama sekali karena mereka lebih tua.
"Oh jadi gini kelakuannya? Cara ngomongnya aja ketus. Berarti apa yang gue omongin tadi nggak salah dong?" Bukannya menjawab, Natasya justru bertanya balik.
"Nggak salah? Yakin? Lo bahkan nggak kenal sama gue. Bisa-bisanya nyimpulin seenak jidat. Lagian, siapa sih yang mau bersikap baik sama orang kayak Lo? Bisanya cuma ngomongin orang."
Alvina bersyukur sekarang. Kemarin Dika mengajarinya berbicara gaul, tapi Alvina hanya mengiyakan karena merasa itu tidak sopan. Sekarang, ajaran Dika itu justru terpakai.
Tak terima temannya dipojokkan, Nayla menggertak, "Yang sopan! Kita ini lebih tua dari lo,"
Bukannya merasa gentar, Alvina justru maju selangkah. Menatap kedua kakak kelasnya dengan berani. Mengangkat dagunya penuh keangkuhan.
"Terus? Emang kenapa kalau lo lebih tua? Lo sama sekali nggak punya hak buat nuduh gue tanpa bukti. Just shut up your f*cking mouth. Lo nggak tau apa-apa tentang hidup gue," balas Alvina kemudian melangkah kembali menuju kelasnya.
Meninggalkan kedua orang yang terpaku melihat keberaniannya.
🌷🌷🌷
"Belajar yang bener, Alvina!" bentak Firda kala melihat anaknya justru tidur sepulang sekolah.
Seharusnya anak itu belajar. Seharusnya anak itu tidak menghabiskan waktunya untuk tidur. Seharusnya anak itu sadar diri.
Firda menggoyangkan tubuh anaknya dengan kasar. Sengaja, supaya anak tunggalnya itu cepat bangun. Perempuan berusia tiga puluhan itu tidak menyukai perilaku anaknya yang pemalas ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...