Pagi hari seorang Alvina Alya Alexandrina memang tidak pernah berjalan baik. Dia harus sarapan dengan penuh intimidasi dari orang tuanya. Bahkan terkadang, keduanya memilih sarapan terlebih dahulu dan meninggalkan rumah tanpa pamit. Walaupun bagi Alvina sebenarnya lebih baik mereka pergi duluan, sebab kehadiran mereka pun tak berguna di meja makan. Tapi gadis itu tetap sedih karena tidak dapat menikmati waktu bersama keluarga seperti anak-anak lain.
Namun, sepertinya pagi ini adalah yang terburuk bagi Alvina. Sesampainya di sekolah, Alvina mendadak mendapat tatapan penuh cemoohan dari orang-orang. Walaupun dia sudah terbiasa dengan tatapan itu, tapi rasanya hari ini lebih banyak.
Apa yang terjadi?
Alvina mencoba untuk tetap tak acuh. Hingga Amel dengan heboh mendekatinya. Memberikan sebuah majalah sekolah yang jarang sekali Alvina baca.
Ketua OSIS SMA Major Baru Saja Resmi Berpacaran dengan Primadona Sekolah.
Alvina membeku sejenak. Ketua OSIS itu jelas Dika, tapi siapa itu Primadona Sekolah? Alvina menggelengkan kepala, jangan-jangan—
"Kak Dika baru jadian sama Lala. Gue kaget banget, kirain jadinya sama lo."
—Lala.
Tidak ada perasaan marah atau cemburu dalam hati seorang Alvina. Namun, tiba-tiba saja tubuhnya gemetar tak karuan. Gadis itu merasa bahwa sebentar lagi semuanya akan dimulai. Penderitaan baru akan hadir dalam hidupnya. Dan kini, tak ada sosok pahlawan yang akan datang untuk menyelamatkannya.
Tanpa kata, Alvina mengembalikan majalah itu ke tangan Amel. Gadis itu lantas berlari menuju taman belakang. Niatnya sih di sana dia akan menelepon seseorang, tapi ternyata orang itu sudah berada di sana.
"Kak Dika," sapa Alvina.
Dika tak mengubah arah pandang, hanya tersenyum saat mendengar suara itu. "Udah gue duga lo bakal ngajakin gue ngomong di sini."
"Jelasin! Kenapa bisa tiba-tiba banget kalian pacaran?" tanya Alvina menggebu-gebu.
"Ya karena gue tertarik sama dia, dan kita deket. Terus gue nyaman, yaudah kita pacaran." Dika menjawab santai.
"Ya tapi kenapa tiba-tiba? Kenapa nggak cerita? Se-enggak penting itukah gue di kehidupan lo?" Mata Alvina berkaca-kaca.
"Nggak semua hal tentang gue lo harus tau, Vina." Dika mulai serius.
"Tapi gue sahabat lo. Dari kecil. Sesusah itu buat lo ngomong tentang hubungan lo ini? Gosipnya udah ada di majalah yang berarti ada yang tau, tapi gue yang bahkan sahabat lo dari kecil aja nggak tau. Kenapa? Kenapa orang lain tau duluan." Alvina tak lagi bisa membendung tangisnya.
"Kalau gue kasih tau dari awal emangnya lo bakal izinin?" jawab Dika.
Alvina terdiam. Dia tahu, kalau saat itu Dika membicarakan kedekatannya dengan Lala, Alvina akan langsung memarahinya. Gadis itu bahkan melarang Dika untuk menceritakan gadis lain saat sedang bersamanya. Jadi apa alasan Dika untuk percaya bahwa Alvina tidak akan egois?
"Gue juga manusia biasa yang bisa suka sama orang. Jadi maaf kalau gue nggak bisa nurutin permintaan lo yang satu itu."
Dika lantas berbalik meninggalkan taman. Tanpa peduli bahwa lawan bicaranya kini tengah menangis tersedu-sedu. Namun, beberapa langkah, Dika menoleh. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh.
Rasanya ... sakit sekali saat ia harus melihat orang yang selama ini dilindunginya menangis karena dirinya.
"Gue ... cuma ngejalanin truth or dare aja kok, Vin," kata Dika menenangkan. Sayangnya, kalimat itu tak didengar oleh Alvina yang merasa Dika sudah pergi.
Setelah tak ada lagi yang ingin dikatakan, Dika benar-benar pergi dari sana.
Apa yang bisa Alvina lakukan selain menangis? Ia rasa tak ada. Alvina tak mungkin bersikeras untuk memisahkan kedua orang itu. Walaupun nantinya hubungan mereka akan berdampak buruk baginya, baik Lala ataupun Dika adalah manusia yang berhak untuk bahagia. Mereka bebas memilih siapapun untuk menjadi pasangan mereka.
Dan sejujurnya, Alvina juga ingin seperti itu.
Alvina tidak pernah memiliki perasaan romantis terhadap sahabat kecilnya itu. Namun, obsesi Firda terhadap Dika membuatnya tanpa sadar mengekang lelaki itu. Ditambah rasa iri dan ketakutan jika lagi-lagi ia kehilangan sahabat, membuatnya semakin buta akan perasaan.
"Al." Suara itu mengalihkan Alvina dari tangisannya.
Gadis itu mendongak, menatap seorang laki-laki yang berdiri tegak di hadapannya. Joseph lantas berjongkok di depannya. Mengusap air mata yang membasahi pipinya.
"Jangan nangis. Lo nggak pantes nangisin cowok brengsek kayak dia," tegur lelaki itu.
Apa yang Joseph katakan benar 'kan? Selama ini, Dika terus memusatkan atensinya pada Alvina. Tidak membiarkan siapapun mendekatinya. Bukannya wajar jika pada akhirnya Alvina menyimpan perasaan?
Dan lagi, Dika dengan mudahnya mengiyakan dare darinya. Mendekati Lala hanya karena sebuah tantangan dari temannya, tidakkah Dika berpikir jika itu akan menyakiti Lala? Gadis itu bahkan terlalu baik untuk menerima perlakuan brengsek seorang Andika Mahardika.
Walaupun tak dapat dipungkiri jika Joseph pun termasuk ke dalam jajaran cowok brengsek yang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkan seorang gadis.
"Kak Joseph," lirih Alvina.
Jujur, Alvina tidak mengerti dengan yang belakangan ini terus-terusan terjadi. Mengenai ibunya yang semakin sering marah, Dika yang mulai sibuk dengan urusannya, hingga Joseph yang tiba-tiba saja selalu ada di sampingnya. Semua itu saling bertolak belakang satu sama lain, membuat Alvina dilanda rasa bimbang.
Jika ingin ibunya tidak marah, maka Alvina harus meninggalkan Joseph dan mengusahakan hubungannya dengan Dika. Itu adalah cara terbaik untuk diterima oleh kedua orang tuanya. Tapi bagaimana bisa dia melukai perasaan sahabat masa kecilnya? Bagaimana juga cara mengabaikan perasaannya kepada sang mantan ketua basket itu? Apalagi perasaannya terbalas.
"Gue takut, Kak. Waktu denger Lala lolos seleksi olimpiade fisika aja mama semarah itu, padahal gue juga bisa lolos olimpiade sosiologi kalau mama ngizinin. Apalagi kalau mama denger Lala jadian sama Kak Dika, mama pasti makin marah karena selama ini gue nggak bisa ngambil hatinya." Isak tangis menyertai rengekan Alvina pagi itu. Dia sama sekali tidak peduli jika beberapa saat lagi harus kembali memasuki kelas dan belajar.
Joseph jadi sedikit paham dengan apa yang terjadi pada Alvina. Sepertinya kedua orang tua gadis itu adalah tipe ambisius yang selalu ingin menjadi yang terbaik. Sayangnya, kedua orang itu masih dibelenggu oleh stereotip kuno, seperti jurusan IPA lebih baik daripada IPS.
Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa ibu dari Alvina memandangnya sinis. Karena wanita itu tahu, walaupun memakai mobil mewah, keluarga Joseph tidaklah seberpengaruh keluarga Dika. Dan bisa jadi, kedua orang tua Alvina itulah yang terus menekan gadis ini untuk mendekati Dika.
"Vin, tolong jujur sama gue. Apa lo bener-bener suka sama Dika?"
Alvina hanya diam. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Membuat Joseph diam-diam patah hati.
Walaupun sudah bertekad untuk merebut hati seorang Alvina, Joseph tetap saja tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. Maka lelaki itu memilih untuk pergi. Namun, baru saja lelaki itu berdiri, sepasang lengan melingkari kakinya.
"Jangan pergi, Kak. Gue nggak pengen sendiri lagi," rengek Alvina.
Joseph kembali berbalik, berjongkok dan membawa gadisnya ke dalam dekapannya.
"Gue nggak bisa terus di samping lo tanpa status yang jelas, Vin. Tapi gue nggak akan maksa. Untuk sekarang, tolong alihin perasaan lo buat gue. Tolong sekali aja liat gue."
"Gimana caranya gue ngalihin perasaan buat lo, sedangkan dari awal gue udah jatuh hati sama lo."
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...