22. Perasaan yang Sebenarnya?

20 2 0
                                    

⚠️ Harsh Words!

.
.
.

Seorang lelaki tengah menelungkupkan kepala di atas meja. Dia sedang dilanda kebosanan. Dia kini membutuhkan sebuah kegiatan untuk mengisi waktu luangnya.

Ah, Dika jadi menyesal menjadi anak rajin. Seharusnya tadi ia ikut bercanda dengan teman-temannya. Jadi ia tidak akan menganggur ketika teman-temannya sibuk mengerjakan tugas.

Mengalihkan pandangannya ke arah luar kelas, Dika tiba-tiba saja ingin keluar. Bermain basket sepertinya seru. Mumpung jam kosong dan guru-guru sedang rapat. Tidak akan ada yang memergokinya.

Dika menoleh ke arah teman-temannya yang sedang sibuk mengerjakan tugas. Kemudian mendengkus kesal. Bagaimana ia bisa bermain jika teman-temannya sibuk mengerjakan tugas.

Sementara itu, Joseph yang baru selesai mengerjakan tugas menoleh ke arah Dika. Lelaki itu mengernyit heran kala melihat Dika yang berkelakuan seperti anak gadis yang sedang dalam mode manja. Kemudian semakin mengernyit, sebab merasa jijik dengan kelakuan sahabatnya.

"Woi, Dik. Lo kenapa, deh? Jijik gue liatnya." Dika menoleh seketika mendengar pertanyaan Joseph.

Lelaki itu kini menatap Joseph dengan mata berbinar. Sepertinya temannya itu sudah selesai mengerjakan. Jadi Joseph bisa ia ajak bermain.

Sementara itu, Joseph semakin mual melihat tatapan penuh binar harapan yang Dika berikan. Sebenarnya ... temannya itu kenapa?

Eh, tunggu! Jangan bilang kalau—tidak! Jangan sampai. Joseph masih normal, dan dia sama sekali tidak tertarik dengan Dika.

"Joseph, main yuk!" ajak Dika.

Tatapan horor Joseph berikan mendengar ajakan Dika. Jadi temannya itu benar-benar belok? Joseph prihatin sekaligus takut mendengarnya. Takut-takut jika ternyata Dika menyukainya. Lebih baik Alvina ke mana-man—eh, kenapa jadi Alvina.

Kembali lagi ke percakapan, Joseph segera menjawab, "Dik, gue turut prihatin dengan kenyataan kalau lo belok. Tapi maaf banget ini, gue masih normal. Jadi kalau lo pengen, jangan ngajak gue. Kecuali kalau lo mau comblangin gue sama Vina, dengan senang hati gue terima."

Dika sempat linglung sejenak, kemudian mengubah ekspresinya menjadi datar setelah memahami ucapan Joseph. Temannya itu bodoh atau apa? Bisa-bisanya menganggap dirinya belok.

"Joseph, gue tau goblok itu gratis. Tapi jangan diembat semua, bego! Segala ngomong gue pengen, pengen apa coba?! Gue ngajakin lo main basket, anjir!" seru Dika kesal. Bagaimana bisa Joseph berpikiran hal yang di luar nalar seperti itu.

Joseph terkekeh. Ternyata hanya salah paham. Syukurlah, jadi tidak akan ada halangan untuknya mendekati Alvina.

"Eh, tapi tadi lo bilang apa? Comblangin sama Vina? Lo suka sama Vina?"

Joseph gelagapan. Dia bingung ingin menjawab apa. Ingin bilang iya, tapi dia masih belum yakin dengan perasaannya. Ingin bilang tidak, tapi ia merasakan nyaman yang berbeda ketika bersama Alvina.

Pada akhirnya, Joseph hanya menjawab, "Kepo, Lo! Udah buruan kalau mau main basket."

Joseph segera melangkah pergi. Dengan perasaan yang masih gundah gulana. Meninggalkan Dika yang kini mendengkus kesal.

"Tungguin kek, buru-buru amat sih," gerutunya.

Saat Dika akan mengikuti langkah Joseph, Joshua menoleh ke arahnya. "Mau ke mana kalian?"

"Basket, mau ikut?" tawar Dika.

"Gas."

Mereka bertiga—dengan Suryo tentunya—akhirnya melangkah menyusul Joseph. Menuju lapangan basket yang berada tepat di depan kelas XI IPA - 1. Kelas si primadona sekolah.

🌷🌷🌷

Walaupun tak terlalu jago bermain basket, setidaknya Dika tau dasar permainannya. Sebab itu ia dapat menggiring bola dengan lincah. Melewati Joseph yang tidak sedang dalam mode serius, lantas memasukkan bolanya ke dalam ring dengan lay-up shoot.

Dika cukup sering bermain basket. Mengingat di perumahannya ada lapangan basket. Juga di SMP-nya dulu, ekstrakurikuler basket yang lebih menonjol, membuatnya bergabung pada dua klub, yaitu basket dan futsal. Apalagi teman dekatnya, Joseph dan Joshua adalah pemain basket sejati yang tak bisa lepas dari olahraga itu sedikit pun.

Walaupun sibuk bermain, Dika sangat menyadari jika ada seseorang yang tengah menontonnya saat ini. Biasanya ia akan tak acuh saja. Namun, entah mengapa kali ini keinginannya untuk menoleh sangat besar.

Dika memutuskan menoleh ke arah kanan. Tepat pada sebuah kelas yang baru ia ingat adalah ... XI IPA - 1. Lelaki itu terpaku sejenak, bagaimana kalau Lala melihatnya?

Lalu, betapa terkejutnya Dika kala mengetahui bahwa seseorang yang sedari tadi menatapnya adalah Lala. Gadis itu memperhatikannya sedari tadi. Walaupun kini sang primadona sekolah itu tampak tak menyadari sedang ditatap balik, tetap saja Dika merasa risau.

"Duh, kok bisa lupa sih. Gimana kalau dia ilfeel ke gue? Gue kan Ketua OSIS, tapi malah keluar di jam pelajaran. Sedangkan dia yang nggak punya jabatan aja patuh banget sama peraturan."

Sungguh peristiwa yang amat langka ketika seorang Andika Mahardika memikirkan persepsi orang lain. Biasanya, Dika hanya abai. Menganggap dirinya juga manusia yang bisa melakukan kesalahan.

Ah, tapi sudah terlanjur. Daripada pusing memikirkan apakah Lala akan hilang rasa, bukannya lebih baik memikirkan cara agar Lala bisa terpesona dengannya? Lagipula belum tentu juga gadis itu menyukainya.

"Dik, yaelah. Ngajak main, malah bengong." Joseph menggerutu. Pasalnya sedari tadi ia merasa seperti melawan Joshua dan Suryo sendirian, dan ternyata itu karena Dika yang malah melamun di tengah pertandingan.

Dika hanya menoleh ke arah Joseph sebentar, lantas kembali menujukan atensi pada Lala. Kini bukan tatapan kosong yang ia terima, sehingga tanpa ragu Dika mengerlingkan satu matanya. Sungguh aneh sebenarnya, mengingat Dika bukan orang yang genit.

Kemudian Dika segera berlari setelah menerima bola dari Joseph. Men- drible bola dengan lihai. Melewati setiap hadangan Suryo dan Joshua. Lantas ketika hendak mencapai ring, Dika mengumpan bolanya kepada Joseph. Joseph dengan sigap mengembalikan bolanya, membuat Dika bisa melakukan dunk.

Dika menyisir rambutnya dengan tangan ketika kakinya telah menapak tanah. Bagaimana pun, dunk selalu dianggap keren dalam basket. Jadi dengan tatapan penuh bangga, Dika melirik Lala yang masih memperhatikannya. Dengan tatapan kagum tentu saja. Kalau sudah begini, Dika jadi semakin percaya diri jika gadis itu menyukainya.

Melihat kelakuan temannya, Joseph terdiam. Dia bukannya tidak tahu jika Dika sedang tebar pesona. Hey, Joseph itu laki-laki. Jadi dia tahu jelas apa yang sedang Dika lakukan saat ini. Sama persis seperti ketika ia memesankan makanan untuk Alvina, agar gadis itu terkesan padanya.

Hanya saja, Joseph juga mengetahui jika kelas yang dituju Dika bukan kelas dari Alvina. Apakah ini artinya, tak ada perasaan lebih Dika pada Alvina? Walaupun keduanya sedekat itu?

Joseph bimbang. Dia sadar betul jika Alvina menyimpan perasaan pada sahabatnya. Dan dia ... tidak ingin gadis itu sakit hati.

Apa ini saatnya untuk mengisi kekosongan?

🌷🌷🌷

Di sisi lain, ada seorang gadis yang sedari tadi mengamati Dika dari kelasnya. Walaupun tak terlalu jelas, dia bisa melihat bagaimana Dika tampak menebar pesona. Sangat mengejutkan bagi dirinya yang tak pernah melihat Dika seperti itu.

"Kak Dika beneran tebar pesona tadi? Ke siapa?" monolog Alvina.

Gadis itu sedikit termenung. Merasa aneh sekaligus tak percaya melihat tingkah laku genit seseorang yang dikenalnya sebagai manusia kalem. Namun, hal itu tak bertahan lama. Alvina kembali menyunggingkan senyumannya kala melihat Joseph memasukkan bola dengan kerennya.

Tidak perlu melakukan dunk seperti Dika. Bagi Alvina, Joseph keren dalam keadaan apapun.

***

Apapun yang terjadi, Joseph selalu keliatan paling keren di mata Alvina.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang