Alvina mengurungkan niatnya untuk meminta pertolongan kepada Dika. Lelaki itu tidak mempercayainya, jadi meminta pertolongan darinya hanya membuang-buang waktu.
Alvina memutuskan untuk pergi ke kantin. Dalam perjalanan, gadis itu sibuk merenung. Meratapi nasib buruk yang terus menerus mendatanginya.
"Eh, pembully dateng nih." Sebuah teriakan terdengar kala Alvina memasuki wilayah kantin.
"Wah iya nih. Keliatannya aja polos, ternyata kelakuannya lebih jahat," sahut suara lain.
Alvina tidak tahu siapa yang dimaksud oleh kedua gadis itu. Namun, sepertinya sindiran itu ditujukan kepadanya. Terbukti dari arah pandang semua orang yang terarah padanya.
Alvina abai. Mungkin saja rumor tentangnya sudah menyebar. Dengan begitu, dia tidak akan bisa membela diri. Jadi lebih baik menyimpan tenaganya.
"Wah, nggak nyangkal dong. Berarti bener tuh rumornya. Parah banget nggak sih?" Suara pertama kembali terdengar.
Kantin mendadak riuh kala seruan demi seruan muncul. Semua orang saling berbisik membicarakan seorang gadis yang juga berada di sana. Berbicara seolah gadis itu adalah manusia terburuk yang pernah ada.
Tanpa berkaca bahwa mereka adalah manusia yang beberapa hari lalu turut serta dalam pembullyan Lala.
"Udah ngomongnya?" Alvina membuka suara.
"Udah puas ngatain gue? Kalau udah mending ngaca. Kalian bahkan terang-terangan bully Lala di sekolah. Inget ya, DI SEKOLAH. Terus sekarang kalian ngerasa jadi manusia paling suci dan ngehakimi gue? Kalian waras?" lanjutnya.
Salah satu gadis berdiri, itu Rere. Gadis itu dengan berani melangkah menuju Alvina. Membuat suasana kantin hening seketika.
"Alvina, jangan bertindak seolah-olah kita lebih jahat. Bayangin deh, ada orang ngefitnah orang nggak bersalah kayak Lala. Menurut lo apa itu nggak jahat? Lala itu orang baik, Alvina. Bisa-bisanya lo fitnah dia separah itu," katanya.
Alvina mengepalkan kedua tangannya. "Atas dasar apa lo nuduh gue kayak gitu? Lo nggak punya bukti apapun. Apa bedanya lo sama orang yang ngefitnah Lala itu? Atau jangan-jangan lo yang ngefitnah Lala? Ups."
"Jaga omongan lo ya!" Rere mengangkat tangannya hendak menampar Alvina. Sayangnya, Alvina lebih dulu menahannya.
"Nggak ada yang boleh ngangkat tangan ke arah gue kecuali orang tua gue." Alvina menghempaskan tangan yang digenggamnya itu.
"Oh, jadi dengan kata lain lo mengungkapkan kalau lo korban aniaya orang tua lo?" timpal Rere.
Skakmat.
Alvina tidak bisa berkutik jika sudah membawa tentang orang tuanya.
"Semua orang di sini tau kalau lo adalah orang yang paling deket sama Kak Dika, Vin. Lo adalah orang yang digadang-gadang bakal jadi pacarnya pangeran sekolah dulu. Eh tiba-tiba Lala yang jadi pacarnya Kak Dika. Itu aja udah jadi motif yang kuat buat lo fitnah Lala."
Sorakan terdengar pertanda orang-orang setuju dengan apa yang Rere katakan. Alvina adalah kandidat terkuat sebagai orang yang menjadi dalang atas semua yang terjadi pada Lala. Sebab motifnya sudah sangat jelas.
Padahal jika ditilik kembali, Alvina sama sekali tidak pernah terlibat dengan perundungan Lala. Bahkan publik jarang melihat interaksi keduanya.
"Rere, lo juga suka sama Kak Dika. Semua orang tau itu. Semua orang tau gimana kejamnya lo ngebully orang-orang yang nyoba buat deketin Kak Dika. Bukannya harusnya lo yang dicurigai?" balas Alvina dengan seringai di wajahnya.
Tak disangka, Rere balas menyeringai. "Emang, tapi gue nggak pernah cari masalah sama Lala. Nyari masalah sama dia yang notabenenya keluarganya lebih berpengaruh daripada gue itu sama aja nyari mati. Kalau emang gue pelakunya, gue bakal serang dia dari awal."
Sorak sorai terdengar mengiringi kalimat demi kalimat yang Rere lontarkan. Membuat Alvina semakin terpojok.
"Lo orang paling munafik yang pernah gue kenal, Re. Lo sering bully Lala dan bisa-bisanya bilang kalau lo nggak pernah cari masalah sama dia. Sedangkan orang-orang yang dukung lo itu adalah orang yang iri sama keberuntungan gue dan Lala," kata Alvina.
Rere melangkah melewati Alvina. Akan tetapi, saat posisinya sejajar dengan gadis itu, Rere berhenti dan berbisik, "Dan lo adalah orang paling naif yang pernah gue kenal, Alvina."
Kemudian gadis itu melenggang pergi meninggalkan kantin.
Alvina memilih mengabaikan pertikaian tadi. Dia mencari keberadaan kedua sahabatnya dan mendekati mereka. Mereka pasti sudah menunggu kehadirannya.
"Hai, maaf bikin kalian nung—"
"Ngapain ke sini?" sela Amel.
Alvina terkejut mendengar nada bicara temannya itu. Apalagi wajah Amel yang begitu ceria kini berubah jutek. Gadis itu secara terang-terangan menampakkan ketidaksukaan terhadap kehadiran Alvina.
"Apa maksudnya? Kan emang udah beberapa lama ini gue bareng kalian terus." Alvina menjawab dengan bingung.
"Seorang pembully nggak pantes duduk sama kita. Apalagi kalau dia sama sekali nggak mau mengakui kesalahannya," balas Annisa.
"Jangankan mengakui, sadar kalau dia salah aja mungkin enggak." Amel menambahkan.
Alvina tertegun. Apakah kedua temannya ini juga mempercayai jika dialah dalang di balik semua yang terjadi pada Lala? Mengapa?
"Kalian kenapa sih? Kalian percaya juga sama rumor itu?" Nada bicara Alvina mulai naik.
"Kalau iya kenapa? Maaf ya, Vin. Walaupun aku miskin harta, seenggaknya aku nggak miskin karakter kayak kamu. Yang rela menghalalkan segala cara buat menumbangkan lawannya," bentak Amel.
Alvina tertawa getir. Tidak menyangka jika semua kesalahan akan dilimpahkan kepadanya. Padahal, berbuat sesuatu pun tidak.
"Mel, Nis, kalian tau gue gimana. Pernah gue jahat sama kalian? Atau pernah kalian tau gue jahatin Lala? Pernah gue jelek-jelekin Lala? Kalian cuma pernah liat gue kesel sama dia, dan itu pun gue nggak ngelakuin apa-apa. Kenapa bisa kalian percaya sama rumor murahan kayak gitu? Kurang baik apa gue sama kalian?" bentak Alvina balik.
"Orang munafik 'kan emang begitu, sengaja berbuat baik biar buruknya nggak keliatan. Kita pernah mergokin lo senyum waktu liat Lala di-bully, Alvina, dan itu udah cukup buat kita menyimpulkan kalau lo itu munafik." Amel menarik Annisa pergi dari kantin kala menyelesaikan perkataannya. Untungnya, makanan yang mereka pesan sudah habis sehingga mereka bisa pergi.
Alvina memutuskan untuk pergi dari kantin juga. Rasa laparnya sirna sudah. Lagipula, makan dengan posisi dipandang begitu banyak orang sudah pasti tidak mengenakkan.
Saat ini, Alvina tidak lagi dapat menganggap remeh masalah ini. Dia tidak bisa menangani semua ini sendiri. Jadi, Alvina harus menemukan seseorang yang berada di pihaknya.
Seseorang yang memiliki kuasa yang besar, tentunya.
Jika tidak, Alvina harus membuat kedua orang tuanya berada di pihaknya. Bagaimanapun caranya.
Kali ini, Alvina harus menyelamatkan dirinya sendiri. Untuk kali ini saja, biarkan Alvina bersikap egois.
Alvina hanya akan memikirkan dirinya sendiri.
***
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...