Hari kedua Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Semua siswa kini tengah mengerjakan empat lembar kertas yang baru saja diberikan. Setiap lembar berisikan sepuluh soal yang berarti ada total empat puluh soal yang harus mereka kerjakan dalam waktu enam puluh menit.
Seorang gadis yang duduk di bangku pojok kiri tampak santai. Dengan segala pengalamannya mengikuti olimpiade, mengerjakan soal dengan jumlah waktu lebih banyak ketimbang jumlah soal adalah hal yang mudah. Lagipula soalnya tidak jauh dari Matematika dan Bahasa Indonesia. Isinya kurang lebih sama dengan tes TPA saat pendaftaran.
Berbeda dengan Lala, seorang gadis di belakangnya tengah kebingungan. Sebagai orang yang kurang pandai dalam berhitung, mengerjakan soal dalam estimasi waktu satu setengah menit per soal sangatlah tidak mungkin. Apalagi kebanyakan menggunakan logika aritmatika.
Di saat-saat seperti ini, Alvina kembali merasa bahwa dunia tidak adil. Mengapa pertanyaan selalu lebih condong ke matematika? Toh dia lebih suka menganalisis keadaan sosial daripada belajar berhitung.
Tapi tidak ada waktu untuk mengeluh. Alvina tetap mengerjakan soal dengan tenang. Berusaha dengan sebaik mungkin. Walaupun dalam hati ia tidak yakin bisa mengerjakan semua soal dengan cepat dan tepat.
Masih ada sepuluh soal terakhir. Tapi waktu yang diberikan hanya tersisa lima menit. Alvina berusaha untuk menahan kegugupannya. Mencoba menenangkan diri dengan kata-kata yang positif.
Seperti, 'Gapapa ada yang nggak dikerjain, yang penting aku sudah berusaha.'
"Sstt, Lala. Nomer tiga puluh kamu apa?" bisik Ica.
Lala langsung memberikan isyarat tangan membentuk sebuah huruf. Mereka tidak sadar jika sedang diperhatikan. Diperhatikan oleh seseorang yang merasa iri dengan kedekatan keduanya.
Alvina menggenggam erat pulpen di tangannya. Berusaha menahan diri untuk tidak mengacaukan banyak hal. Alvina sadar, dia sama sekali tidak berhak untuk marah. Lala tentunya memiliki hak untuk memilih siapa yang akan menjadi temannya. Dan mungkin Alvina tidak termasuk ke dalam pilihan Lala itu.
Bel berbunyi lima menit kemudian, dengan tertib semua siswa mengumpulkan lembar jawaban dan soal mereka. Lalu berbondong-bondong pergi ke kantin bersama teman-temannya. Sangat berbeda dengan seorang gadis yang bertahan dengan kesendiriannya.
Bukannya tidak ingin berteman, Alvina hanya takut kejadian kemarin terulang kembali. Rasanya luar biasa sakit. Jadi dia tidak ingin merasakannya lagi.
Lucu sekali, seseorang yang menyukai pelajaran ilmu sosial ternyata begitu takut untuk bersosialisasi.
🌷🌷🌷
Hari ketiga MPLS, acara dibuka dengan adanya pentas seni. Setiap gugus diwajibkan memberikan dua perwakilan untuk tampil. Dan dari gugus satu, Lala dan Alvina yang terpilih.
Entahlah. Alvina tak tahu apakah ini baik atau buruk. Sebab kemarin dia harus menghabiskan waktu berdua dengan Lala. Berusaha menyelaraskan nada antara lantunan lembut suara milik Lala, juga alunan piano miliknya.
Karena itu juga, kedua orang itu kembali dekat. Mereka kembali tenggelam dalam canda tawa. Sebelum mungkin akan kembali asing.
Saat ini Lala dan Alvina sedang berada di ruang ganti. Sebagai sekolah elit, SMP Arcturus tentu saja mempersiapkan semua acara dengan baik. Bahkan untuk pentas seni siswa baru saja dibuat seakan-akan pertunjukan sungguhan. Itu sebabnya disediakan ruang ganti.
Wajah putih berseri milik Lala, juga kulit tan Alvina sedang dipoles dengan make up. Mereka berdua tampak bersinar. Aura bintang memang tak pernah bisa berbohong.
Lala dan Alvina naik ke atas panggung. Alvina langsung duduk di depan pianonya. Sedangkan Lala sibuk menyetarakan microphone dengan tingginya.
"Selamat pagi semua, Saya Aqila Azzahra dan juga teman saya, Alvina Alya akan menyumbangkan sebuah lagu sebagai perwakilan gugus satu."
Tepuk tangan terdengar begitu meriah. Hari ini, pentas tidak hanya ditonton oleh siswa baru. Melainkan tiga angkatan SMP Arcturus, dan orang-orang terdekat para siswa baru. Termasuk Firda dan Andika.
Dapat Alvina lihat Andika duduk di barisan paling depan. Di sebelah Firda. Lelaki itu tersenyum, mencoba memberikan semangat secara tidak langsung untuk Alvina.
Kemudian denting piano mulai terdengar. Intro lagu yang dibawakan oleh Alvina sungguh menawan. Mampu menghanyutkan seluruh pendengar untuk masuk ke dalam melodi indah yang ia ciptakan.
Embun di pagi buta
Menebarkan bau basah
Detik demi detik kuhitung
Inikah saatku pergi?Lala mulai bersuara dengan penuh penghayatan. Membawa seluruh pendengar yang awalnya sudah terhanyut, terseret semakin dalam.
Oh Tuhan, kucinta dia
Berikanlah aku hidup
Takkan kusakiti dia
Hukum aku bila terjadiLala yang pada dasarnya senang berimajinasi, membayangkan jika dia benar-benar mengalami apa yang terjadi dalam lagu. Membayangkan suatu saat nanti ketika dia mencoba bertahan untuk laki-laki yang ia cintai.
Aku tak mudah untuk mencintai
Pada kenyataannya, Lala memang tak mudah untuk mencintai. Jangankan cinta, rasa suka kepada lawan jenis saja belum pernah dia rasakan. Walaupun selama ini banyak yang menyukainya, memintanya untuk menjadi kekasih, Lala sama sekali tidak peduli. Baginya, dia masih terlalu kecil untuk menjalin sebuah hubungan.
Aku tak mudah mengaku ku cinta
Dengan segala keangkuhan yang Lala miliki, sudah pasti mengakui perasaan adalah hal yang sulit untuk dilakukan. Belum lagi dengan konflik yang baru saja ia terima. Rasanya sulit sekali untuk berekspresi.
Aku tak mudah mengatakan
Aku jatuh cintaTerlahir di keluarga yang terhormat menuntut Lala menjaga harga dirinya sebaik mungkin. Jika ada yang namanya tahta tertinggi dalam hidup seorang Aqila Azzahra, maka itu adalah harga dirinya. Lala akan melakukan apapun untuk mempertahankan harga dirinya.
Senandungku hanya untuk cinta
Tirakatku hanya untuk engkau
Tiada dusta, sumpah kucinta
Sampai ku menutup mataLala terus bersenandung. Sesekali matanya terpejam. Benar-benar menikmati lara yang ia dapatkan dari penghayatan lagu.
Tak ada yang bersuara. Mereka sama sekali tak ingin suara mereka merusak keindahan lagu yang dibawakan oleh kedua bintang di atas panggung sana.
Cintaku
Sampai ku menutup mataHingga lirik lagu terakhir telah disenandungkan. Menyudahi aksi dari sang vocalis juga pianis. Memberikan kesempatan untuk para pendengar mengapresiasi penampilan mereka.
Alvina berdiri dari duduknya. Begitu pula dengan Lala yang membuka matanya. Mereka berdiri sejajar di atas panggung. Bergandeng tangan dan memberikan penghormatan terakhir. Pertanda berakhirnya penampilan keduanya.
Seluruh hadirin berdiri dan bertepuk tangan. Alvina melirik barisan depan. Melihat Andika yang begitu bersemangat bertepuk tangan. Lalu menjulurkan kedua jempol tangannya ketika mereka bertemu tatap. Begitu juga Firda yang tersenyum bangga sembari bertepuk tangan.
Semua orang sibuk berbahagia. Termasuk kedua orang yang masih berada di atas panggung itu. Tanpa menyadari mungkin saja di masa depan Lala akan merasa dejavu. Namun, bukan lagi sebagai sebuah penghayatan lagu, melainkan kejadian yang benar-benar nyata.
***
To Be Continued
Lagi, aku lupa buat update. So sorry:(
Kali ini bukan lagi karena hang out, tapi aku lagi galau karena nilaiku turun. Jadi aku minta maaf banget sama kalian.
See You!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Roman pour Adolescents[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...