Suara tangisan terdengar jelas di depan instalasi gawat darurat. Firda bersimpuh di lantai. Tak peduli jika ia menjadi pusat perhatian banyak orang. Pikirannya kalut, dia benar-benar tidak bisa memikirkan apa pun selain anaknya yang tengah berjuang hidup dan mati di dalam sana.
"Mama sayang sama kamu juga, Alvina. Jadi tolong bertahan. Tolong jangan pergi dulu. Kamu belum denger jawaban mama waktu kamu bilang sayang sama mama? Kalau begitu kamu harus bertahan, mama janji bakal jawab nanti kalau kamu tetap hidup." Firda bergumam sendirian.
Berbagai penyesalan datang kepadanya dalam waktu bersamaan. Rasa bersalah yang selama ini ia kubur dalam-dalam mulai menyeruak keluar dari persembunyiannya. Firda benar-benar terpukul dengan apa yang baru saja terjadi.
"Alvina ... Alvina ..." Firda terus merengek memanggil nama putrinya. Berharap putrinya itu akan menjawabnya seperti biasanya.
Beberapa perawat yang berlalu-lalang di tempat itu menatapnya prihatin. Mereka paham betul dengan perasaan Firda sebab sudah berkali-kali menemui kasus serupa. Hanya saja, tak ada yang bisa mereka lakukan selain berdoa agar pasien selamat.
Empat puluh menit berlalu, beberapa orang mulai mengerumuni Firda dengan kameranya. Beberapa wartawan pun berdatangan. Firda yang tak nyaman pun hanya bisa menyembunyikan kepalanya di lututnya yang ia tekuk ke atas.
Berita kecelakaan Alvina mulai tersebar di sosial media secara cepat. Orang-orang tanpa segan memotret Firda yang tengah berduka dan mempostingnya tanpa sensor. Beberapa wartawan pun berkali-kali meminta Firda untuk bersedia diwawancarai.
Karena kegaduhan yang terjadi, Haidar akhirnya datang ke rumah sakit. Berita kecelakaan Alvina dan Firda yang menangis sendirian di depan IGD bisa berimbas buruk pada reputasinya. Dia tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Haidar menghampiri Firda yang masih terduduk di lantai. Laki-laki itu memeluk istrinya dengan hati. Kemudian mengelus kepalanya penuh sayang. Sesekali Haidar mengecup pucuk kepala istrinya itu.
"Yang sabar ya, Sayang. Alvina pasti kuat. Dia pasti baik-baik aja," kata Haidar dengan lembut.
Firda melepas pelukan Haidar dengan sekali sentakan. Biasanya dia akan luluh dengan kalimat-kalimat lembut itu. Biasanya dia akan luluh dengan sentuhan-sentuhan lembut yang Haidar berikan. Dia sama sekali tidak peduli jika kasih sayang itu tulus ataupun hanya makanan media semata.
Sayangnya saat ini berbeda. Setelah melihat putrinya bersimbah darah, Firda tak bisa lagi merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya kala mengingat Haidar. Dalam bayangannya kini hanyalah peristiwa di mana Haidar mengusir Alvina tanpa ragu.
Firda berdiri dan menjauh dari Haidar. Wanita itu tanpa ragu mengangkat telunjuknya mengarah pada Haidar. Menatap nyalang lelaki itu.
"Semua ini gara-gara kamu! Kamu yang usir Alvina dari rumah," teriak Firda nyalang.
Haidar terkejut mendengar teriakan itu. Dia tidak menyangka jika Firda akan melawannya. Amarah menyeruak dari hatinya, tapi Haidar segera menahannya kala tersadar banyak kamera yang mengintainya.
"Sayang, maksud kamu apa sih? Aku tau aku salah karena maksain pertunangan Alvina, tapi ini 'kan demi kamu juga. Kamu yang pengen banget Dika jadi menantu kamu, kan?" Haidar masih berusaha mendekati Firda.
Firda menggeleng keras. "Bohong ... kamu bohong. Pergi ... pergi .... Alvina berdarah. Kamu jahat, kamu ..."
Firda berjongkok. Mengacak-acak rambutnya yang sudah berantakan. Saat ini penampilannya begitu hancur dengan riasan yang luntur serta rambut yang berantakan dan lepek karena terkena air mata.
"Sayang, kayaknya kamu marah banget sama aku ya? Gapapa, wajar kok. Aku emang suami nggak becus karena nggak bisa nurutin kemauan kamu. Kalau kamu emang nggak mau aku di sini juga gapapa, aku pergi dulu ya?" Haidar menampakkan senyum penuh kesedihannya sebelum pergi meninggalkan rumah sakit.
Di saat itu, Firda hanya mampu untuk terus menangis. Tidak peduli betapa banyak kamera yang menyorotinya saat ini. Tidak peduli jika reputasinya akan hancur dalam sekejap mata setelah ini.
Di benak Firda hanya ada Alvina. Dia tak pernah berhenti berdoa agar putrinya itu selamat.
Di sisi lain koridor, Joseph menyaksikan semuanya bersama Dika. Keduanya diterpa kebingungan. Terutama Dika, laki-laki itu tahu betul jika hubungan Haidar dan Firda tidaklah seromantis itu. Keduanya bahkan tak terlihat saling mencintai. Bagaimana bisa Haidar tiba-tiba saja bersikap seperti itu?
"Kayaknya emang nyokapnya Vina ya yang jahat?" ujar Joseph.
Dika mengernyit. "Kenapa lo bisa nyimpulin begitu?"
"Itu tadi bokapnya bilang kalau nyokapnya yang pengen jadiin lo mantu. Beberapa kali gue ketemu juga nyokapnya judes banget."
"Tapi bokapnya Alvina juga aneh tau, Seph. Masa tiba-tiba bisa seromantis itu?"
"Lah? Aneh kenapa? Bukannya bokapnya emang tipe family man banget ya? Di berita-berita dia keliatan baik dan romantis banget kok." Joseph kebingungan.
Di saat inilah Dika baru tersadar jika Haidar memang aneh. Laki-laki itu tampak begitu menyayangi keluarganya pada berita yang selalu dia lihat. Sementara di dunia nyata, Haidar sama sekali tidak terlihat seperti itu.
Selama ini Dika tidak sadar karena dia ... tidak peduli.
"Om Haidar nggak sebaik itu. Di dunia nyata, dia nggak keliatan sayang sama sekali sama Alvina atau Tante Firda. Kalau dia emang sebaik itu, seharusnya dia nyelametin Alvina dari keganasan mamanya. Atau paling enggak dia ngobatin Alvina. Kenyataannya selama ini selalu gue yang jadi tempat Alvina berlindung, Om Haidar cuek-cuek aja tuh," jelas Dika.
Joseph keheranan mendengar hal itu. Artinya kedua orang tua Alvina adalah orang gila? Hebat sekali Alvina bisa bertahan tujuh belas tahun dengan orang tua seperti itu.
"Lagian orang tua waras mana yang waktu anaknya lagi sekarat malah pergi cuma gara-gara istrinya ngusir? Harusnya dia tetep peluk Tante Firda karena bisa aja reaksi tadi itu karena beliau masih shock Alvina kecelakaan. Harusnya Om Haidar tetep di sini buat nungguin Alvina. Secara Alvina butuh orang tuanya di saat-saat kayak begini." Dika melanjutkan.
Sedetik kemudian, Dika jadi menyadari sesuatu. "Lo kok nggak ada sedih-sedihnya Alvina kecelakaan? Pas Lala kecelakaan, gue bahkan nggak sanggup napas rasanya. Apalagi buat ngobrol santai panjang lebar begini."
"Ya beda, lo pacarnya Lala. Gue cuma sahabatnya Alvina, sama kayak lo. Lo juga nggak khawatir tuh sama Alvina." Joseph menjawab.
"Statusnya doang temen, tapi lo demen 'kan?" Dika menaik-turunkan alisnya.
Joseph mengernyit. "Lo tau?"
"Keliatan kali. Apalagi lo pernah minta dicomblangin sama Alvina."
"Gitu ya." Joseph kembali mengalihkan pandangannya ke arah pintu IGD. Belum ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka.
"Pertanyaan gue belum lo jawab. Kenapa lo nggak khawatir sama Alvina?"
"Nggak tau. Feeling gue bagus-bagus aja. Alvina anak yang kuat, gue rasa dia nggak akan tumbang cuma gara-gara ini."
Dika mengangguk. "Betul, Alvina pasti baik-baik aja."
***
To Be ContinuedKira-kira kenapa Firda jadi baik tiba-tiba ya? Jawabannya ada di next chapter. Jadi see you Sabtu depan😸
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Roman pour Adolescents[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...