5. Suatu Saat Nanti

64 3 0
                                    

Perjuangan memang tidak akan mengkhianati hasil. Setelah berjuang keras tanpa mengenal waktu, Alvina kini mendapat hasil yang gadis itu-atau lebih tepatnya ibunya-inginkan. Sekolah di SMP favorit.

Hari ini adalah hari pertama sekolah. Sesuai ekspektasi, selain berhasil diterima di SMP favorit, Alvina juga berhasil menduduki peringkat sepuluh saat pendaftaran. Membuatnya menjadi salah satu siswi beruntung yang berhasil memasuki gugus satu.

Sepertinya Alvina datang terlalu awal. Masih belum banyak orang. Dan semuanya laki-laki.

Gadis itu menghela napas. Memilih duduk di bangku yang masih memiliki dua kursi kosong. Sebab sangat yakin tidak akan nyaman jika duduk bersama lawan jenis.

Alvina mulai membereskan mejanya. Lalu mengambil ponsel jadul yang masih ia gunakan hingga sekarang. Memainkan permainan ular yang telah menjadi mainan sejuta umat.

Beberapa waktu berlalu, Alvina merasa bosan dengan kegiatannya. Dia mengangkat pandangan. Menatap seorang gadis yang duduk di depannya.

Alvina menjulurkan tangan berniat menyapa gadis itu, tapi ditariknya kembali sebelum menyentuh bahunya. Alvina bingung, apakah dia harus berinteraksi dengan anak perempuan itu? Tapi bagaimana kalau dia risih.

Ah, masa bodoh. Tidak akan ada yang tahu kalau belum dicoba.

Alvina menepuk pundak gadis di depannya hingga dia menoleh. Menampakkan kulit putih mulusnya. Dari penampilannya sih, kelihatannya anak orang kaya.

"Hai, aku Alvina. Nama kamu siapa?" Alvina menyodorkan tangannya.

Awalnya, anak perempuan itu tampak ragu. Namun kemudian dia tetap menyodorkan tangannya. Membalas sebuah jabatan tangan yang diberikan Alvina.

"Aku Aqila, biasa dipanggil Lala," jawabnya.

Alvina tersenyum lebar. Senang karena berhasil mendapat teman di hari pertamanya sekolah. Dibalas dengan senyuman tipis oleh Lala. Sepertinya gadis itu juga senang.

Alvina melepas jabat tangan mereka. Mulai menceritakan hal-hal mengenai dirinya. Walaupun masih enggan untuk mengatakan perihal ibunya. Dia takut dijauhi. Jadi anggap saja itu sebagai privasi.

"Aku suka banget sama pelajaran IPS. Kalau kamu suka pelajaran apa?"

"Fisika," kata Lala yang membuat Alvina mengernyit. Kenapa gadis itu menyukai satu materi pelajaran secara spesifik?

"Kok fisika? Kenapa nggak IPA?" Alvina memilih menyuarakan kebingungannya daripada menebak-nebak.

"Soalnya aku cuma bisa fisika. Kalau biologi aku kurang bisa. Susah banget. Banyak hafalannya."

Dari jawaban yang Alvina dapat, anak itu dapat menyimpulkan jika Lala lebih suka berhitung daripada menghafal. Sangat kontras dengan dirinya yang bisa dibilang kurang pandai dalam berhitung. Tapi tidak apa-apa, teman memang harus saling melengkapi 'kan?

"Kalau kamu, kenapa suka pelajaran IPS? Padahal susah." Alvina bersemangat. Akhirnya Lala memberikan pertanyaan untuknya.

"Soalnya IPS itu seru. Apalagi sejarah. Aku suka banget waktu guru-guru ngajar sejarah. Berasa lagi didongengin." Wajah Alvina tampak berseri-seri ketika menjelaskan. Sungguh berbeda dengan Lala yang masih terlihat kalem. Sepertinya, gadis itu tipikal pendiam ya?

"Kamu kalau di rumah biasanya main sama siapa? Kalau aku sama temenku. Namanya Kak Dika. Dia baik banget orangnya."

Kali ini Lala tersenyum dan menjawab, "Aku main sama kakakku. Namanya Kak Ivan sama Kak Arya. Mereka juga baik banget kok."

Alvina semakin bersemangat mendengarnya. Sebagai anak tunggal, Alvina tidak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki saudara. Karena itu ia selalu bersemangat ketika mendengar temannya memiliki saudara kandung.

"Wah, kamu punya kakak? Seru dong! Kalau aku anak tunggal. Nggak bisa punya adik lagi kata mama."

"Oh ya? Kenapa? Padahal punya saudara itu seru loh. Aku sering main bertiga sama kakak. Mereka suka beliin aku es krim."

Diam-diam Alvina merasa iri dengan gadis di hadapannya. Tapi dia tidak memperlihatkannya. Lagipula, dia tidak membutuhkan saudara selama ada Dika di sisinya.

"Aku nggak tau kenapa. Pokoknya mama bilang aku nggak bisa punya adik."

Pembicaraan mereka terpotong oleh bel masuk. Awalnya Alvina ingin berpindah duduk di sebelah Lala agar masih bisa mengobrol. Sayangnya seorang gadis kecil tiba-tiba saja duduk di sana. Dengan wajah yang cemberut.

Gadis itu sangat cerewet. Kalau tidak salah, Alvina dengar namanya Ica.

Sebenarnya, Alvina tidak apa-apa. Bukan suatu hal yang buruk untuk mendapat satu teman baru lagi. Apalagi kata gadis cerewet itu, dia memiliki seorang teman yang sedang sakit. Jika temannya itu sembuh, dia bisa bergabung, kan?

Sayangnya semesta tak sebaik itu pada Alvina. Teman yang baru saja di dapatkannya, sudah direbut oleh gadis cerewet yang baru saja datang. Alvina diabaikan.

Kedua orang di depannya terus berbicara tanpa mau melibatkannya sedikit pun. Mengapa? Apakah Alvina adalah anak yang tidak asik diajak berteman?

Kepala yang tadinya terangkat dengan semangat kini tertunduk lemas. Seakan kalah pada kenyataan yang selalu membuatnya bimbang. Realita yang selalu membuatnya bertanya-tanya tentang kualitas diri.

Saat istirahat tiba, Alvina tidak lagi akan berharap untuk diajak ke kantin bersama. Setidaknya ia ingin Lala menoleh ke belakang sebentar saja. Menyapanya sebelum pergi bersama si gadis cerewet itu.

Sayangnya, harapan akan selalu menjadi angan. Lala bahkan tidak sedikit pun menoleh padanya. Tak sedikit pun teringat padanya.

Ah, harusnya Alvina tak sedramatis ini, kan? Harusnya ia bisa berlapang dada jika ada orang yang tak ingin berteman dengannya. Tapi, kenapa sakit sekali.

Kelas mulai sepi. Satu persatu pergi meninggalkan kesunyian yang mencekik. Terasa hampa seperti apa yang baru saja Alvina rasakan dalam hatinya.

Menekuk kedua tangan, Alvina memilih menenggelamkan kepalanya dalam lipatan lengan. Mengabaikan suara yang keluar dari perutnya sebab dibiarkan kosong sejak kemarin.

Dalam diamnya, mata gelap milik anak tunggal keluarga Alexander itu mulai berembun. Bersiap menjatuhkan rintik hujan. Membasahi setiap titik indah dalam wajahnya.

Mengapa?

Banyak hal yang ingin Alvina tanyakan pada Tuhan. Mengenai orang tuanya yang tidak peduli padanya. Jarak antara dia dengan sahabatnya yang semakin besar. Juga mengenai setidak pantas itukah ia memiliki teman?

Dulu saat menduduki tingkat akhir Sekolah Dasar, gadis bernama belakang Alexandrina itu baru menyadari alasan orang-orang mau berteman dengannya. Bukan karena Alvina baik. Bukan pula karena Alvina pintar. Melainkan karena gadis itu sangat dekat dengan sang pangeran sekolah, Andika Mahardika.

Orang-orang yang dulunya mengatakan bahwa Alvina dan Dika cocok untuk menjadi pasangan tiba-tiba saja berbalik menyerangnya. Berkata bahwa semua yang diucapkannya hanyalah kepalsuan. Sebuah upaya agar dilirik oleh sang pangeran sekolah sebab dekat dengan sahabatnya.

Dan semua itu terjadi tanpa sepengetahuan Dika.

Tentu saja. Alvina sudah merasa banyak merepotkan Dika selama ini. Dia juga tidak ingin terlalu bergantung pada lelaki itu. Dia takut, suatu saat nanti akan ada hal yang membuat Dika menjauh darinya.

Suatu saat nanti.

***
To Be Continued

Maaf ya baru bisa Update sekarang. Soalnya kemarin aku tuh hang out bareng temen SMP, terus lupa gitu. Pas buka to do list baru inget kalau aku harus update. Tapi itu posisinya aku udah capek dan ngantuk banget jadi yaudah update nya hari ini aja.

See You!

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang