Bacanya pelan-pelan aja, ya! 1,7k kata nih. Jangan lupa siapin camilan biar nggak bosen.
***Pagi hari yang cerah bagi Alvina. Kafe barunya begitu ramai pengunjung. Mungkin orang-orang penasaran dengan isi dari kafe yang baru buka itu. Dalam hati dia berdoa, semoga di antara ratusan manusia yang penasaran itu, banyak dari mereka yang akan menjadi pelanggannya.
Suasana hati Alvina yang sangat bagus itu membuatnya tampak berbeda. Semua orang yang berpapasan dengannya diberikan senyuman. Beberapa orang membalas dengan senyuman juga. Sedangkan sisanya justru menatap heran.
Kelas Alvina berada cukup jauh dari gerbang. Untuk mencapainya, perlu melewati mading utama sekolah. Ketika Alvina melewati mading itu, dia justru salah fokus karena melihat betapa ramainya tempat itu.
"Tumben banget mading rame. Biasanya tingkat literasinya pada rendah, walaupun mereka tetep pinter sih." Alvina diam-diam penasaran.
Mengatasi rasa penasaran, Alvina menghampiri mading itu. Betapa terkejutnya dia saat melihat foto-foto yang terpampang di sana. Lala sedang melakukan tindakan yang tidak senonoh.
Akan tetapi, Alvina bukan orang bodoh. Dia adalah penggemar sosiologi garis keras. Menganalisis perilaku orang lain adalah makanan sehari-harinya. Karena itu, Alvina tahu jika di foto itu, Lala tengah dipaksa. Lagipula mana mungkin gadis sebaik Lala melakukan aktivitas seperti itu sebelum menikah.
Alvina jadi prihatin. Dia tidak menyangka jika perundungan Lala tak cukup melukai mental dan fisiknya. Mereka bahkan memfitnah Lala dan menjatuhkan harga diri gadis itu.
"Ada apa ini rame-rame?" Suara yang begitu Alvina kenali terdengar.
Alvina menoleh ke arah Dika. Laki-laki itu terlihat begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya. Kemudian menoleh ke arah samping, ke arah Alvina lebih tepatnya.
Alvina tidak mengerti pandangan apa yang Dika berikan. Yang jelas laki-laki itu kelihatan ... marah?
Ah, itu bisa diurus nanti. Alvina dengan segera menarik tangan Dika. Membawa lelaki itu ke tempat yang sepi.
"Mau ngapain? Mau jelasin apa lagi?" ketus Dika.
"Nggak ngejelasin apa-apa. Gue juga nggak tau apa-apa soal foto-foto itu. Yang gue tau, Lala nggak seburuk itu. Di foto aja mukanya keliatan nggak nyaman."
Tertawa sinis, Dika menjawab, "Ngapain lo susah-susah jelasin ini sama gue? Bukannya lebih baik kalau gue percaya sama rumor itu? Dengan begitu gue bakal ilfeel sama Lala. Terus gue bakal terima perjodohan kita dengan senang hati. Itu 'kan mau lo sebenernya?"
"Lo apaan sih, Kak? Gue seburuk itu di mata lo?" Alvina membentak.
"Setelah percakapan kita kemarin, lo berharap gue masih bisa berpikir positif sama lo? Lagian orang yang paling berpotensi untuk ngelakuin ini semua itu lo, Vin. Lo musuh Lala yang paling sepadan."
Tawa sumbang Alvina layangkan. Buliran bening mulai memenuhi matanya. Dia tidak menyangka niat baiknya berakhir seperti ini.
"Wow, lo orang yang udah kenal lama banget sama gue, Kak. Dan lo nuduh gue kayak gini?"
"Kita emang kenal lama. Karena itu gue kira gue tau semua tentang lo. Tapi ternyata enggak. Banyak sisi buruk lo yang tersembunyi. Mungkin karena itu lo nggak pernah punya temen, lo busuk, Vin."
Setelah mengatakan semua penghinaan itu, Dika pergi begitu saja. Meninggalkan Alvina yang kini jatuh berlutut. Menangis sejadi-jadinya.
Orang yang sangat dipercayainya. Orang yang paling diandalkannya. Orang itu pergi meninggalkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...