Sore hari telah tiba, saat ini Alvina sedang bersiap untuk pergi ke salon. Tentu saja atas paksaan ibunya. Anak itu mana mau menyusahkan diri dengan segala perawatan salon jika tidak dipaksa.
"Alvina, jangan lama-lama!" teriak Firda dari lantai bawah.
Alvina segera mengunci pintunya. Berjalan cepat menuruni tangga. Ibunya pasti akan marah jika dia terlalu lama.
"Kamu itu, lama banget. Kayak mau ke mana aja. Kita ini mau ke salon, nggak perlu cantik-cantik. Nanti di sana baru didandanin."
Firda menarik lengan Alvina menuju mobil. Sudah tidak ada waktu. Mereka harus bergegas jika tidak ingin terlambat.
🌷🌷🌷
Setelah perawatan selama dua jam, Alvina dan ibunya dijemput oleh Haidar. Mereka akan langsung berangkat ke rumah Andika. Membuat Alvina mengeluh dalam hati. Dia lelah sekali.
Walaupun sudah mencuri waktu untuk tidur siang tadi, rasanya itu belum cukup. Semalam dia kekurangan jam tidur sebab harus belajar mati-matian untuk Ulangan Harian IPA. Tadi pagi juga banyak sekali mata pelajaran yang kurang ia kuasai, sehingga Alvina harus bekerja lebih keras.
Sepuluh menit perjalanan, ketiganya sampai di kediaman Mahardika. Kemewahan menyambut. Di depan gerbang hanya ada dua orang laki-laki berbaju hitam. Mereka bertugas untuk membuka pagar saat ada tamu.
Tak banyak yang ditugaskan untuk berjaga di gerbang. Karena perlu jarak yang lumayan jauh untuk mencapai kediaman utama. Maka dari itu kebanyakan bodyguard diperintahkan untuk berjaga di halaman dan teras kediaman utama.
"Eh, Firda. Udah dateng ternyata." Monica merentangkan kedua tangannya saat melihat kehadiran tetangga yang sudah menjadi sahabatnya.
Seperti yang biasa ibu-ibu lakukan saat bertemu, Firda dan Monica cipika-cipiki dengan riang. Kemudian saling bergandengan menuju ruang makan. Meninggalkan Alvina sendirian.
"Hei, maaf ya. Mama emang suka gitu kalau udah ketemu temennya," ucap seseorang membuat Alvina terkejut.
Alvina tak menyadari jika ternyata Dika mengikuti langkah Monica. Lelaki itu sudah hafal dengan kebiasaan Mamanya itu. Oleh sebab itu, Dika memilih ikut menyambut. Agar Alvina tak tersinggung saat ditinggal sendirian.
"Yuk, Masuk!" Dika menyodorkan tangannya.
Alvina menggenggam tangan Dika. Mereka menuju ruang tamu dengan bergandengan. Sama seperti Monica dan Firda tadi.
Sesampainya di ruang makan, sudah ada para orang tua di sana. Ditambah satu anak kecil berusia satu tahun dibawah Alvina. Anehnya, ekspresi gadis kecil itu justru murung.
"Eh, Alvina. Sini, yuk duduk. Mama kangen banget sama anak cantik satu ini. Maaf ya, tadi Mama nggak lihat kamu." Monica menarik Alvina untuk duduk di sampingnya. Dan dituruti dengan senang hati oleh gadis itu.
"Nanad, kenapa?" tanya Andika perhatian. Dia bingung, biasanya adiknya itu akan sangat senang ketika Alvina datang.
"Semuanya gandengan. Semuanya ada temen. Nanad doang yang nggak ada. Kak Vina nggak mau punya adek biar Nanad ada temennya?" gerutu adik dari Andika itu. Saat ini, Nadiva sedang menatap penuh harap pada Alvina.
"Duh, Kak Vina bukannya nggak mau. Cuma kata Mama, nanti repot kalau punya adek waktu Kakak udah besar. Lagian 'kan Nanad bisa main sama Kak Vina, biar aja Kak Dika sendirian."
Alvina tersenyum jahil, yang dibalas kikikan oleh si bungsu Mahardika. Sedangkan Andika hanya tersenyum tipis. Lelaki itu senang melihat interaksi antara adiknya dan sahabatnya.
"Sudah-sudah, ayo kita makan," sela Nevan.
Sama seperti Haidar, Nevan adalah orang yang irit bicara. Ayah dari Andika itu hanya akan berbicara panjang lebar kepada istrinya. Tipikal pria budak cinta yang kemungkinan akan diwarisi oleh anak laki-lakinya.
Acara makan malam dimulai. Berbagai hidangan telah disajikan. Mulai dari makanan rumahan seperti sayur asem dan ikan bandeng. Hingga makanan restoran seperti beef steak dan spaghetti.
Alvina sendiri memilih untuk mengambil beef steak. Sejujurnya, dia ingin sekali memakan sayur asem dengan lauk bandeng. Itu makanan favoritnya. Sayangnya, ibunya sudah berpesan untuk tidak mengambil masakan rumahan. Katanya, dia akan terlihat tidak berkelas.
Tiga puluh menit kemudian, makanan berat telah habis. Kini mereka tengah menikmati hidangan penutup sembari berbincang-bincang.
"Bagaimana kabar bisnis anda, Tuan Nevan?" Haidar membuka pembicaraan.
"Bagus, beberapa waktu yang lalu perusahaan saya baru saja memulai kerja sama dengan perusahaan asing. Saya juga berniat untuk membuka cabang perusahaan di negara tetangga, berhubung saya sudah punya koneksi di sana," jawab Nevan yang diangguki Haidar. Mereka berdua memang lebih suka untuk berbincang mengenai bisnis jika bertemu.
"Ih kalian ini. Jangan formal gitu, dong! Biasa aja!" kesal Monica. Wanita itu heran mengapa para pria bisa sekaku itu.
"Iya, nih. Kayak sama siapa aja," tambah Firda.
Alvina dan Andika hanya bisa tersenyum melihat betapa harmonisnya hubungan antara keluarga mereka. Kedua keluarga itu hanya tetangga, tapi sikapnya sudah seperti keluarga sungguhan. Tanpa disadari, ada seseorang yang memperhatikan bagaimana kedua insan itu saling melirik dan mengumbar senyum.
"Kak Vina sama Abang cocok, kenapa nggak pacaran aja?" Celetukan itu keluar dari anak yang masih berusia sembilan tahun.
Alvina hanya bisa tersenyum canggung, lain hal dengan Andika yang gelagapan. "Nanad tau dari mana tentang pacaran?"
Seingat Andika, dia selalu membatasi Nadiva dalam hal apapun. Alasannya simpel, dia tidak ingin adiknya itu dewasa sebelum umurnya. Namun, hari ini adiknya itu justru berbicara mengenai pacaran. Dia merasa kecolongan.
"Temen Nanad ada yang pacaran. Katanya mereka saling suka, orang-orang juga bilang mereka cocok. Makanya mereka pacaran," jelas Nadiva.
Andika baru saja akan angkat bicara ketika Firda tiba-tiba saja menyela, "Tapi kalau dilihat-lihat, kalian emang cocok loh."
Alvina berusaha mempertahankan senyum canggungnya. Dia merasa tidak enak atas kelakuan ibunya. Gadis itu tidak ingin membuat semuanya semakin runyam saat dirinya menampakkan ekspresi kurang mengenakkan.
"Iya, loh. Boleh lah nanti pas gede kita jodohin." Monica tertawa kecil. Sepertinya menjodohkan putra sulungnya dengan Alvina bukan pilihan yang buruk.
Yang pertama, perjodohan bisa semakin mempererat pertemanannya dengan Firda. Perempuan muda itu sangat cocok menjadi temannya, Monica tidak ingin kehilangan teman seperti Firda. Yang kedua, mereka bisa saling memperkuat bisnis. Meskipun tidak sebesar nama keluarganya, keluarga Alexander juga termasuk jajaran penting dalam bisnis.
Lagipula, kedua anak itu sudah lama bersahabat. Tidak mungkin jika tak ada rasa sama sekali, bukan? Karena sejatinya tak ada pertemanan antara laki-laki dan perempuan yang berjalan tanpa pernah ada perasaan.
Andika yang melihat suasana menjadi canggung segera angkat suara. "Kita masih kecil. Mending fokus sekolah dulu."
Anak itu memang sudah bijaksana dari kecil. Dan kebijaksanaan itulah yang akan memikat hati seseorang di masa depan. Hingga gadis itu luluh lantak menyerahkan hatinya kepada seorang Andika Mahardika.
***
To Be ContinuedKalian yang udah baca DBSI selalu merasa terspoiler nggak sih? Hehe.
Nikmatin dulu ya scene Andika-Alvina. Bentar lagi juga Lala bakal muncul kok. Bahkan kemungkinan cerita ini bakal diambil alih sama Lala selama dia hidup. Baru fokus lagi ke Alvina setelah semua yang di DBSI udah aku jelasin.
See You!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...