Alvina melangkahkan kakinya menuju gedung sebelah kiri. Tadi, ia sudah melihat pengumuman pembagian kelas di mading. Sesuai dengan yang ia harapkan, jurusan IPS.
Setidaknya, Alvina harus benar-benar menikmati masa sekolahnya kali ini.
Di kelas, Alvina memilih tempat duduk yang sama seperti saat SMP. Entah mengapa, bangku paling depan kedua dari kiri menjadi spot favoritnya sekarang. Padahal dulu ia lebih suka berada di pojok kelas dekat jendela.
Alvina menolehkan kepalanya ke kiri. Menatap seorang gadis yang lebih dulu duduk di bangkunya. Gadis itu menelungkupkan kepalanya di meja. Sepertinya tengah tertidur.
Tadinya Alvina goyah saat melihat seseorang sudah menduduki kursi di sampingnya. Namun, begitu mengingat keinginannya mengenai kehidupan sekolah yang lebih baik, dia menguatkan diri. Setidaknya, ia harus memiliki teman yang bisa dipercaya selain Andika.
Alvina menepuk pundak gadis di sebelahnya. "Hai."
Tak direspon, sepertinya benar-benar tidur. Mungkin gadis itu adalah tipe orang penyuka tidur sehingga bisa tertidur di pagi hari seperti ini. Atau mungkin semalam dia baru saja maraton drama korea seperti yang biasanya para gadis seusianya lakukan.
Alvina memilih mengurungkan niat. Tak ingin mengganggu. Mungkin saja gadis di sampingnya ini benar-benar butuh waktu istirahat. Dia juga tidak ingin menampilkan kesan pertama yang buruk kepada calon teman barunya.
Waktu berlalu, bel masuk telah berbunyi. Datang seorang gadis berwajah jutek. Gadis itu tampak meneliti seisi kelas. Seluruh bangku sudah penuh kecuali di belakang Alvina.
Gadis itu menghela napas. Padahal ia lebih menyukai berada di pojok kelas. Jauh dari keramaian agar tidak ada yang menghakiminya hanya karena wajah yang sudah ia miliki sejak lahir.
Tapi tak ada pilihan lain. Dia melangkahkan kaki menuju bangku yang kosong itu. Setidaknya ia bersyukur bisa duduk sendirian sebab setahunya, jumlah siswa di kelas ini ganjil.
Namun, sayangnya keinginannya tak semulus itu. Seorang gadis di hadapannya tiba-tiba saja berbalik dan tersenyum padanya.
"Gue Alvina. Salam kenal," katanya mengulurkan tangan.
Annisa mengernyitkan dahi heran. Apakah gadis di depannya ini buta? Padahal raut wajahnya begitu jutek, lalu mengapa anak itu mau mengajaknya berkenalan?
"Lo nggak liat muka gue jutek?" tanya Annisa.
Alvina menarik uluran tangannya. Menggaruk tengkuknya salah tingkah. Apa ia mengganggu? Apa ia membuat orang lain tidak nyaman?
"Ya ... liat sih. Terus emang kenapa kalau muka lo jutek?"
Annisa tertegun sejenak. Tumben sekali ada orang yang tidak mempermasalahkan muka juteknya. Tapi dia tidak ingin terlalu percaya.
"Biasanya orang lain bakal jauhin gue karena muka gue jutek."
Alvina mengangkat kedua alisnya. Sedikit paham apa yang ada di pikiran teman sekelasnya ini. Mungkin perlakuan orang lain kepadanya membuatnya trauma tanpa gadis itu sadari.
Tidak masalah. Alvina sendiri tahu bagaimana sulitnya untuk kembali berteman setelah insiden yang lalu.
"Terus? Muka jutek 'kan juga pemberian Tuhan. Gue nggak mau jadi salah satu manusia yang mencela pemberian Tuhan itu." Alvina tersenyum manis.
"Lagian, kalau mukanya jutek belum tentu sifat aslinya juga gitu. Atau kalau lo beneran jutek, nggak menutup kemungkinan kalau lo masih asik diajak temenan kan?" lanjutnya.
Annisa terdiam. Kata-kata Alvina seakan memukul telak egonya. Dia tidak dapat lagi memasang tembok yang begitu tinggi dan kokoh kepada gadis di depannya ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...