Alvina kembali menguap setelah beberapa detik memejamkan mata. Sepertinya ia terlalu memaksakan diri. Hanya demi mendapat nilai yang bagus di mata pelajaran Lintas Minat, ia sampai mengorbankan waktu tidurnya.
Tapi, Alvina tak memiliki pilihan lain. Firda memaksanya untuk mendapat nilai bagus di satu-satunya mata pelajaran IPA yang ia tempuh. Sayangnya pelajaran itu adalah fisika.
Kalau boleh memilih, Alvina akan cenderung pada biologi. Sebab mempelajari biologi tak beda jauh dengan mempelajari peminatan IPS. Tak perlu bertemu dengan banyaknya rumus yang sangat Alvina benci.
Yah, maka dari itu nilai ekonominya kurang baik. Berakhir selalu kalah oleh anak kelas sebelah. Kalau tidak salah namanya Chiquita, eh, atau Cici ya? Entahlah, Alvina lupa.
Alvina memutuskan mencuci muka sebelum masuk. Gadis itu tidak ingin tertidur saat ulangan. Sebab setiap kegiatannya akan dilaporkan kepada Firda. Dan akan menjadi bencana jika Firda tahu ia tidur saat pelajaran Fisika.
Selain itu, Alvina tak ingin perjuangannya semalaman sia-sia. Enak saja! Ia kan sudah belajar mati-matian. Mana mau ia mendapat nilai di bawah sembilan puluh hanya karena tertidur. Bisa-bisa Firda akan membantainya. Jadi sengsara kuadrat.
Dengan langkah gontai, Alvina menuju toilet perempuan. Hal yang gadis itu kesalkan adalah toilet hanya tersedia hanya ada satu. Bagaimana bisa hanya ada satu toilet di setiap lantai di sekolah sebesar ini?!
Alvina terus mengucek matanya. Hingga kedua bola mata yang seharusnya putih kini berubah merah. Alvina semakin kesal, kalau begini mana bisa ia fokus mengerjakan ulangan.
Alvina menatap ke depan. Matanya menangkap seseorang yang berjalan dengan sedikit terburu-buru menuju toilet. Dari perawakan tubuhnya, sepertinya Alvina kenal.
Ah, bukan sepertinya. Tapi Alvina memang benar-benar mengenalnya. Dia takkan pernah lupa pada gadis itu.
Lala, gadis pertama yang mampu membuatnya sedikit iri dan takut. Bukan tanpa alasan, Alvina jelas sangat menyadari betapa sempurnanya seorang Lala hingga tanpa sengaja menyimpan iri. Dan juga, bukan tidak mungkin jika Lala akan merebut semua miliknya nanti. Semuanya mudah asal gadis itu mau.
Alvina masuk ke dalam toilet tak lama setelah Lala. Entah mengapa, gadis itu justru penasaran dengan hal yang membuat Lala tampak terburu-buru. Sangat bukan Alvina, mengingat gadis itu adalah tipe orang yang cuek dan tidak peduli dengan hal kecil seperti ini.
"Iya, Kak. Kenapa telpon?"
"..."
Alvina tak dapat mendengar suara orang yang sedang bertelepon dengan Lala. Posisinya saja sedang menguping. Juga Lala tidak me loud speaker telponnya.
"Em, terima aja deh, Kak,"
"..."
"Yakin, Kak. Setelah ngeliat antusiasme orang-orang bikin gue yakin nggak akan dapat penolakan lagi."
Ah, sepertinya Alvina mulai bisa membaca ke mana arah percakapan ini. Tentu saja tak jauh dari novel baru ciptaan Lala, si gadis yang selama ini menyamar menjadi Iris Biru. Lalu, kini ia keluar dan membuat heboh jagad kepenulisan.
Walaupun Alvina bukan penggemar buku romantis, dia tahu kabar itu karena beritanya sudah tersebar.
Ah, jangan tanya mengapa Alvina mengetahui identitas Lala sebagai Iris Biru. Gadis itu adalah rivalnya, Alvina selalu memperhatikannya diam-diam. Hingga ia menemukan fakta bahwa Lala ternyata adalah seorang penulis terkenal yang bersembunyi di balik nama pena.
"..."
"Iya, Kak."
Sepertinya percakapan sudah selesai. Alvina buru-buru mengganti posisi. Tak lagi menempelkan telinga pada pintu.
Gadis itu dengan segera mencuci mukanya. Selain karena itu adalah tujuan awalnya, kegiatan ini tentu saja mengurangi kecurigaan Lala. Si primadona itu akan berpikir bahwa ia baru saja datang karena tak mendengar suara air dari tadi.
Lala keluar dari bilik toilet. Gadis itu terkejut saat melihat ada orang lain di sana. Hingga tanpa sadar menghentikan langkahnya.
Alvina yang selesai mencuci wajahnya segera menegakkan tubuhnya. Tanpa sengaja matanya menatap Lala melalui pantulan kaca di hadapannya. Keduanya saling bertatapan.
Lala sedikit terpaku saat mengetahui siapa yang ada di toilet. Gadis itu merasa sedikit canggung. Bingung antara ingin menyapa atau tidak.
Namun, pada akhirnya Lala memilih pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meninggalkan Alvina yang kini mengepalkan tangannya. Setidak pantaskah ia untuk menjadi teman seorang Lala? Hingga gadis itu memilih untuk pura-pura tidak mengenalnya.
🌷🌷🌷
Ulangan fisika tengah dilaksanakan. Alvina menatap kertas soal di tangan kirinya. Lalu, menatap kembali kertas jawaban di tangan kanannya. Waktu tinggal sepuluh menit. Untungnya berkat belajar semalaman, gadis itu mampu menyelesaikan ulangan lebih cepat dari biasanya. Jadi ada waktu untuk mengoreksi.
Ngomong-ngomong, SMA Major menolak menggunakan perangkat elektronik ketika ulangan. Guru-guru di sana beranggapan bahwa diberjalankannya sistem ulangan online sama saja memberi siswa kelonggaran untuk menyontek. Maka dari itu, mereka sepakat untuk menggunakan kertas dalam setiap ulangan kecuali Ujian Nasional.
Kembali lagi ke Alvina, gadis itu menggaruk kepalanya frustasi. Dia memang sudah selesai, tapi entah mengapa hatinya dipenuhi kebimbangan. Sangat berbeda sekali dengan rasa percaya dirinya sebelum soal dibagikan.
Rambutnya sedikit kusut karena ia gosok-gosok terus. Raut wajahnya tampak sekali nelangsa. Belum lagi kulit tan nya yang memucat.
Alvina sedikit pusing karena kurang tidur. Ia juga sedikit mual melihat angka-angka dan rumus yang berada pada dua kertas di tangannya. Ia berharap waktu ulangan segera selesai sehingga dapat berlari sekencang mungkin menuju toilet. Memuntahkan hafalan rumus yang ia lahap semalam.
Bunyi bel membuat Alvina bernafas lega. Matanya menatap Amel yang juga terlihat lega di sampingnya. Kemudian memutar pandangan ke belakang. Annisa tampak biasa saja. Alvina tidak pernah bisa membaca apa isi hati temannya yang satu itu.
"Vin, mau ke kantin?" tanya Amel.
Alvina menggeleng. Ia terlalu lelah. Akan lebih baik menggunakan waktu untuk tidur.
Amel dan Annisa segera pergi setelah melihat gelengan Alvina. Sebagai teman, mereka tahu ada yang aneh dengan Alvina. Melihat betapa kerasnya gadis itu berusaha setiap pelajaran fisika. Tapi mereka juga tidak ingin terlalu ikut campur. Alvina pasti bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Alvina menelungkupkan kepalanya pada lipatan lengan. Sekali lagi, rasanya ia ingin meratapi nasib. Kenapa ia tidak diciptakan sepintar Lala sih? Dia jadi harus berusaha keras hanya untuk mendapat nilai fisika yang bagus.
Ah, lagi-lagi Lala. Alvina bingung, mengapa hidupnya selalu berkaitan dengan Lala? Padahal kalau boleh jujur, ia lebih ingin menjadi Ica.
Dia tidak ingin menjadi primadona sekolah seperti Lala. Ia hanya ingin menjadi Ica yang bahkan mampu 'merebut' Lala darinya. Menjadi orang yang ceria, mudah bergaul dengan orang lain. Semua hal yang berada pada Ica adalah kesempurnaan menurut Alvina. Sedikit berbeda dengan orang lain yang menganggap kesempurnaan berada di tangan Lala.
Ah, sudahlah. Menjadi Ica ataupun Lala, mungkin tidak akan semenyenangkan kelihatannya. Itulah yang Alvina yakini.
Selain itu, mungkin saja ia tak akan bertemu dengan Dika. Dengan teman-teman lelaki itu. Terutama seseorang yang kini tampak menghampirinya dengan nampan di tangannya.
Joseph.
***
To Be ContinuedMy Second last draft, mungkin setelah Minggu depan aku bakal Hiatus sebulanan. So sorry, Guys. Aku akan berusaha untuk tetap nulis. Tapi aku nggak janji.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...