Tak peduli seberapa menyedihkan pun hidupnya, Lala tetap memilih untuk mengabaikan kenyataan itu. Dia masih memiliki Ica dan Agatha. Dan mereka lah tujuannya sekarang.
Maka dari itu, setelah membersihkan bekas air mata di wajahnya, Lala bergegas menuju sekolah. Gadis itu berangkat pukul lima lebih empat puluh lima menit. Lebih cepat lima belas menit dibandingkan biasanya.
Hiruk pikuk bus di pagi hari. Juga jalanan kota yang dipenuhi oleh orang-orang yang memulai aktivitas adalah pemandangan indah yang tak pernah Lala lewatkan. Setidaknya dengan melihat keramaian, hidupnya tak lagi sunyi.
Setelah turun dari bus, Lala masih perlu berjalan beberapa kilometer dari tempatnya berdiri. Tapi itu bukan masalah. Gadis itu justru menikmatinya.
Setelah sampai di lingkungan sekolah, suasananya masih lengang. Wajar saja, bel masuk masih lumayan lama. Lala bahkan menjadi orang pertama yang datang ke kelasnya.
Gadis itu memutuskan untuk duduk di bangkunya. Mengambil sebuah novel yang baru ia beli minggu lalu. Kebetulan sekali, ia baru sempat membaca novel ini.
Waktu berlalu begitu cepat. Satu persatu siswa datang. Bahkan, buku novel yang Lala baca tadi sudah berganti dengan buku pelajaran fisika. Mempelajari kembali materi agar tak terlalu kosong saat dijelaskan nanti.
"Lala!" Seruan itu cukup untuk membuyarkan atensi seorang gadis yang awalnya terarah pada buku. Pandangannya kini tertuju ke pintu masuk kelas. Tak lama, senyumnya mengembang ketika mendapati kedua sahabatnya tengah berjalan ke arahnya.
"Ngapain? Belajar? Nanti ada ulangan? Atau ada PR?" Dengan panik Ica terus memborbardir Lala dengan begitu banyak pertanyaan. Dengan segera ia duduk di bangkunya dan memeriksa apakah ada PR atau Ulangan Harian hari ini.
Lala menggelengkan kepala pelan melihat tingkah sahabatnya itu. Dengan segera dia menutup buku pelajaran yang tadi dibacanya dan membalikkan kursinya ke belakang. Menghadap ke bangku Ica dan Agatha.
"Gue cuma bosen nungguin kalian, makanya baca buku," kata Lala sembari bertopang dagu.
Seharusnya, Ica tak perlu heran. Sudah menjadi kebiasaan Lala untuk belajar dan melamun. Tapi ia malah panik hanya karena melihat Lala membaca buku.
Agatha terkekeh melihat ekspresi Ica. "Lo juga aneh, Ca. Udah tau Lala kerjaannya belajar sama ngelamun. Masa baru liat Lala baca buku udah panik sendiri."
Ya, itu benar. Seharusnya Ica tak panik hanya karena melihat Lala membaca buku. Sekarang ia jadi terlihat seperti orang bodoh.
Sedangkan Lala hanya memperhatikan pertikaian kedua sahabatnya. Dalam hati ia berpikir apakah harus menceritakan kejadian semalam. Tapi buat apa juga dirahasiakan.
"Eh, kalian tau gak sih? Ke-" Ucapan Lala terputus oleh bunyi bel masuk.
Lala ingin mengumpat kesal. Dia benar-benar penuh pertimbangan ketika akan bercerita. Namun, suara bel memutus perkataannya begitu saja.
Hanya saja, pelajaran pertama adalah fisika. Jadi Lala tak mampu melakukan apapun selain meredam emosinya. Tidak ingin mengumpati pelajaran kesayangannya.
🌷🌷🌷
Di sisi lain, Dika tengah menggerutu kesal. Lelaki itu kini membawa tumpukan buku dari perpustakaan. Perintah dari guru yang mengajar di kelasnya saat ini.
Karena kemampuannya memimpin OSIS, Dika terpilih menjadi ketua kelas. Tapi bukannya senang, Dika justru kesal. Karena dengan ini tugasnya akan bertambah.
Seperti saat ini, ia harus membawa buku-buku yang berat ini ke kelasnya. Jujur, ia malas. Tak ada keuntungan menjadi ketua kelas. Hanya disuruh-suruh dan diandalkan untuk mengatur kelas yang ia sendiri hampir angkat tangan-saking tidak bisa diaturnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...