Saat ini Alvina dan Andika tengah berada di perjalanan. Dengan menaiki motor matic milik Dika, mereka berdua menuju kafe dekat sekolah. Rencananya sih, ingin nongkrong berlima dengan para sahabat Dika.
"Vin, gue mau cerita," kata Dika dengan sedikit keras.
"Nanti aja di kafe, kalau di motor nanti nggak kedengeran."
Lalu diamlah keduanya hingga sampai di kafe Kelicung. Bukan kafe yang memiliki desain begitu bagus hingga banyak dikunjungi. Hanya saja kafe ini begitu nyaman dengan suasana tenangnya. Sudah begitu lokasinya dekat dengan sekolah. Jadilah Dika dan kawan-kawan menjadikan kafe ini sebagai tempat persinggahan.
Andika segera membawa Alvina menuju tempat yang biasa ia dan teman-temannya gunakan. Kemudian pergi untuk memesan. Sedangkan Alvina diam di tempat. Mengamati sekeliling yang tampak sepi.
Alvina tersenyum saat Andika duduk di hadapannya. Di balas juga dengan senyuman manis khas seorang sulung Mahardika. Tampaknya, lelaki itu tak sabar untuk segera bercerita.
"Lo inget yang waktu hari pertama MPLS? Yang waktu istirahat gue bilang mau nyamperin lo tapi nggak jadi." Alvina mengangguk masih dengan senyumnya.
Namun, senyumannya luntur mendengar perkataan Dika selanjutnya. "Waktu itu gue nolongin Lala."
Alvina mengepalkan tangannya. Mengapa harus Lala? Dari begitu banyaknya wanita di dunia ini, mengapa harus Lala yang bisa menarik perhatian sahabatnya?
"Waktu perjalanan, tiba-tiba gue ngeliat dia lagi sempoyongan. Karena nggak tega ya gue samperin. Eh, tiba-tiba dia pingsan. Awalnya gue mau bawa ke UKS biar sekalian jengukin Lo. Tapi pas liat kondisi lagi rame banget, gue jadi milih buat bawa dia ke kamar yang ada di Ruang Ketos," jelas Andika.
Melihat gaya bicara sahabatnya yang begitu santai, Alvina merasa tersulut. Selama ini, dia tidak pernah boleh menginjakkan kaki di teritorial si sulung Mahardika. Lelaki itu selalu memberi batasan kepadanya. Menganggap mereka membutuhkan privasi satu sama lain.
Alvina menghargainya tentu saja. Namun, apa yang ia terima saat ini? Kenyataan bahwa Andika membiarkan seorang Lala untuk memasuki ruangan yang hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu?
Setahu Alvina, kamar di Ruang Ketua OSIS tidak pernah dimasuki oleh siapapun, bahkan anggota OSIS sekalipun. Hanya Andika dan ketiga sahabatnya yang bisa memasukinya. Itu juga kalau lelaki bertinggi seratus tujuh puluh enam sentimeter itu sedang ingin membicarakan sesuatu yang begitu penting dan rahasia.
Bahkan Alvina masih mengingat betul jika kemarin Andika menolak saat dirinya meminta izin untuk memasuki kamar di ruangan ketos. Tidak tahukah Andika jika kemarin ia juga terganggu dengan kerusuhan di ruang OSIS? Tidak tahukah sahabatnya itu jika Alvina mati-matian tidak protes karena menghargai keputusan yang Andika buat?
"Kak, gue boleh minta sesuatu?"
Alvina terdiam sejenak kala Andika menatapnya. "Jangan punya pacar. Gue takut lo lupa sama gue."
Ya, Alvina yakin ini adalah keputusan yang tepat. Dari gerak-geriknya, dia sudah tau bagaimana perasaan sahabatnya. Dan dia tidak ingin kekhawatirannya terjadi.
Dia siap untuk menerima wanita lain menjadi kekasih sahabatnya. Tapi jangan untuk Lala. Sebab Alvina sadar, Lala berada terlalu jauh di atasnya.
🌷🌷🌷
Alvina baru saja memasuki rumahnya. Belum sempat mengambil istirahat, kini gadis itu sudah harus duduk di ruang keluarga bersama ibunya. Seperti biasa, sesi interogasi.
"Gimana sekolah kamu?" tanya Firda.
Kalian berharap apa? Bahwa Firda akan menanyakan mengenai kegiatan Alvina? Mengenai bagaimana perasaan gadis itu ketika di sekolah? Tidak, bukan jawaban seperti itu yang Firda inginkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...