43. Arya Abimanyu

16 2 0
                                    

Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu. Alvina yang memang tidak mengikuti pelajaran dari jam pertama, langsung melenggang ke kantin. Dia tidak bersama Joseph karena katanya lelaki itu akan pergi ke kelas terlebih dahulu dan ke kantin bersama teman-temannya.

Kenapa Alvina tidak bergabung dengan Joseph? Tentu saja karena hubungannya dengan Dika tak kunjung membaik. Dika yang membawanya ke lingkaran pertemanan itu. Jika dia dan Dika pada akhirnya jadi tidak akrab, bukannya itu malah aneh?

Jalan menuju kantin kebetulan sekali melewati ruang OSIS. Jadi Alvina tanpa sengaja melihat seorang gadis yang tengah berjinjit sembari melihat ke dalam melalui kaca kecil di bagian atas pintu. Tak lupa, ponselnya juga ia letakkan di kaca itu. Kalau dari posisinya, sepertinya gadis itu sedang memotret.

Entah kenapa, Alvina merasa hatinya tergerak. Dia yang biasanya tidak ingin ikut campur masalah orang lain—apalagi yang tidak dikenalnya—mendadak ingin menegur gadis itu. Jadi daripada dibayangi perasaan tidak enak terus menerus, Alvina memilih mengikuti kata hatinya.

"Lo lagi ngapain?" tanya Alvina dengan lugas.

Yang ditanya gelagapan. Dengan segera gadis itu menutup ponselnya dan menyembunyikannya di balik badan. Dan hal itu meyakinkan Alvina jika ada yang tidak beres.

"Apaan sih? Kepo amat! Kita kenal aja enggak, ngapain nanya-nanya?!" sentaknya lalu pergi dari sana.

Alvina memandang aneh gadis yang berlalu pergi itu. Kalau tidak salah, dia adalah orang yang sama dengan gadis pembully Lala tadi pagi.

Tak ambil pusing, Alvina mencoba mengintip ke dalam. Tapi detik itu juga sebuah kain putih menutup kaca.

Aneh sekali.

Semuanya seperti ... direncanakan.

🌷🌷🌷

Bandara adalah tempat di mana pelukan hangat benar-benar disampaikan dengan ketulusan. Tangisan yang jatuh di sana tak sama sekali mengandung kebohongan. Perpisahan yang segera terjadi memukul telak para insan yang berada di sana.

Namun, bandara juga tempat melepas rindu. Tempat menanti seseorang yang sudah lama merantau jauh. Menghitung detik hingga akhirnya dapat kembali saling memeluk.

Arya mengharapkan bahwa bandara akan mengabulkan kemungkinan kedua. Dalam hati, dia berharap jika di terminal kedatangan, keluarganya akan menunggu di sana. Walaupun itu sebenarnya mustahil karena tidak ada seorang pun yang mengetahui kepulangannya.

Saat ini, yang harus Arya lakukan adalah segera pulang ke rumah dan menemui adiknya. Gadis itu pasti sedang terpukul karena baru saja mengalami kekalahan. Dan tugas Arya adalah menghiburnya.

Senyum di wajah Arya mulai merekah. Setelah beberapa bulan berpisah, sekarang dia akan kembali bertemu peri kecilnya. Apalagi saat ini mereka hanya berdua, tidak ada lagi perasaan canggung yang akan muncul seperti saat mereka sedang bersama Cesya dan Hanif, orang tua mereka.

Arya mengeluarkan ponselnya, berniat menelepon adiknya untuk menjemput. Namun, baru saja akan mengetik nama kontak Lala, gerakannya terhenti. Kalau Lala menjemputnya di bandara, kepulangannya tak lagi menjadi kejutan. Lagipula sangat berbahaya untuk membiarkan adiknya berkendara sendiri dalam keadaan yang masih terpukul.

Arya tidak boleh menyusahkan adiknya.

"Lagian dia mau jemput pakai apa? Di rumah kayaknya cuma ada motor, dan dia nggak bisa nyetir motor. Belum punya SIM juga deh kayaknya." Arya menertawakan kebodohannya.

Lelaki itu berjalan cepat keluar dari bandara. Kemudian menaiki taksi yang ada di sana. Masa bodoh dengan harga yang mahal. Toh dia kaya, yang penting Arya harus segera sampai ke rumah.

🌷🌷🌷

Kekecewaan hadir saat Arya tidak menemukan siapapun di dalam rumah. Sepertinya Lala menyudahi liburnya terlalu cepat. Karena setahu Arya, gadis itu memiliki jatah libur yang cukup banyak setelah juara tahun lalu.

Sunyi yang mendera lama kelamaan membuat Arya jadi merinding. Putra kedua keluarga Rabbani itu bertanya-tanya, apakah adiknya merasakan perasaan merinding seperti ini setiap hari? Mengingat gadis itu tinggal sendirian di rumah mewah keluarga. Jika iya, maka Arya sangat menyesal sudah meninggalkan adiknya sendirian di rumah semegah ini.

Merasa bosan menunggu di ruang tamu, Arya kembali ke kamarnya. Lelaki itu sibuk dengan permainan di ponselnya. Hingga sebuah ketukan menghentikan gerakan jarinya.

Hanif dan Cesya masih sibuk dengan pekerjaan mereka. Jika pulang pun, mereka tak akan pernah mengetuk pintu kamar Arya. Begitu pula dengan Ivan, si sulung Rabbani. Kakaknya itu masih menjalin komunikasi dengannya. Jika lelaki itu pulang, sudah pasti akan mengabarinya.

Satu-satunya orang yang berkemungkinan mengetuk pintunya adalah si bungsu, Lala.

Ponsel yang berada di genggaman kini tergeletak di kasur. Sekujur tubuhnya yang gemetaran membuat pegangannya melemah. Begitu pun dengan kakinya tiba-tiba saja mati rasa.

Baru ketukan pintu saja, Arya sudah gemetaran. Sehebat itu pengaruh si bungsu.

Menggelengkan kepala, Arya mencoba untuk sadar. Tidak baik untuk membiarkan adiknya menunggu lama di depan pintu. Adiknya itu pasti lelah karena terlalu lama berdiri.

Arya meloncat dari tempat tidurnya. Tubuhnya terhuyung saat tak sengaja menginjak selimut yang masih tersangkut pada kakinya yang lain. Untungnya, Arya dapat kembali menyeimbangkan tubuh dan melanjutkan langkahnya.

Demi Tuhan!

Arya terlalu lemas sampai tangannya tak sanggup untuk membuka pintu kayu di hadapannya. Gemetaran yang timbul di sekujur tubuhnya benar-benar tak tertahankan. Gejolak rindu menggebu-gebu di dalam dirinya.

"Tenang dikit, anjing! Ini gimana buka pintunya?!" dumel Arya kesal.

Perlu waktu lebih dari lima belas menit hingga Arya berhasil membuka pintu kayu itu. Tangannya masih gemetaran. Hatinya sibuk merutuki pintu kamarnya yang sulit sekali terbuka. Sepertinya setelah ini Arya harus mengganti pintunya dengan pintu mesin, supaya dia tidak perlu bersusah payah membuka pintu. Hanya perlu menekan tombol saja.

Senyuman lebar Arya telah siap menyambut wajah lelah adiknya. Sayangnya, senyuman itu luluh lantak saat tak menemukan siapa pun di depan pintu. Lala tak lagi berdiri di sana.

"Ini gue yang salah denger atau emang Lala udah pergi?" Arya menggaruk kepalanya yang tak gatal. Dia bingung apakah dirinya yang salah mendengar ketukan pintu itu karena terlalu rindu. Atau mungkin Lala memang sudah pergi karena dia terlalu lama membuka pintu.

Yang jelas dari dua kemungkinan itu, Arya adalah pihak yang patut disalahkan atas kekecewaan yang didapatkannya.

Di sisi lain, seorang gadis tengah bersedih di dalam kamarnya. Tasnya tergeletak tak jauh darinya. Gadis itu, Lala memilih duduk di meja belajarnya. Menatap jendela kamarnya. Berbeda dengan pemandangan jendela kamar para putri keluarga ternama biasanya, jendela kamar Lala tak memiliki pemandangan yang bagus. Karena itu dia jarang menatap ke arah sana. Bagi Lala, jendela itu hanya berfungsi untuk pertukaran udara sekaligus penanda jika hari mulai gelap.

Lala terus meratapi hidupnya. Terlalu sibuk mempertanyakan mengapa Tuhan memberikan sebuah penderitaan. Hingga tak sadar saat ia memasuki kamar, pintu yang tadi ia ketuk terbuka. Menampilkan Arya yang begitu merindukan adiknya.

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang