45. Dari Ivan untuk Lala

15 2 0
                                    

Seperti orang kaya pada umumnya, Hanif memiliki seorang tangan kanan. Seseorang yang membantu Hanif mengenai banyak hal, terutama pekerjaan. Orang itu adalah Rayyan.

Sayangnya, tangan kanan Hanif tak dapat diakses oleh anak-anaknya. Katanya sih lelaki itu tidak ingin memanjakan anak-anaknya dengan memberikan segala kemudahan. Apalagi jika diberi kesempatan untuk mengakses tangan kanannya, anak-anaknya kemungkinan besar akan menjadi nakal karena semua masalah dapat diselesaikan dengan mudah.

Hanya saja, sebagai anak sulung Ivan jelas tahu apapun tentang orang tuanya. Termasuk kenyataan bahwa tangan kanan ayahnya yang begitu kuat. Karena itu, Ivan mencari cara untuk bisa mengakses tangan kanan ayahnya itu.

Awalnya, Ivan mengakses Rayyan hanya untuk bertanya-tanya seputar orang tuanya. Seperti, apa yang sedang orang tuanya lakukan? Kapan orang tuanya pulang? Apakah orang tuanya bisa meluangkan waktu untuk menghadiri acara sekolahnya?

Namun, lama kelamaan Rayyan menjadi tempat ternyaman untuk Ivan mengadu. Ivan tidak bisa mengandalkan adik-adiknya yang masih kecil. Ivan juga tidak bisa mengadu pada orang tuanya yang sedang sibuk dengan ego masing-masing. Sampai akhirnya Rayyan hadir dan mengisi kekosongan dalam sudut hati Ivan.

"Ada apa, Van? Kamu ada masalah? Orang tua kamu lagi?" cecar Rayyan.

Lima belas tahun pernikahan, dan masih belum dikaruniai anak. Membuat Rayyan tak lagi berharap untuk memiliki anak. Dia lebih memilih untuk menghabiskan waktu berdua seumur hidup dengan istrinya.

Karena itu Rayyan mencurahkan perhatian yang begitu besar pada Ivan. Karena dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Rayyan ingin menjadi seorang ayah.

"Enggak, Om. Ini masalah Lala." Ivan sedari tadi tak mampu menegakkan kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa begitu lemas.

"Lala? Ada apa sama Lala, Van?" Rayyan semakin panik.

Lala adalah putri bungsu kesayangan Hanif. Tuannya itu bahkan masih mengawasi gadis itu di saat anak-anaknya yang lain dibebaskan tanpa pengawasan. Jika terjadi sesuatu pada Lala, itu berarti masalahnya cukup besar.

"Aku nggak inget pastinya kapan, yang jelas Lala pernah hampir jadi korban pemerkosaan. Hitungannya udah diperkosa sih walaupun belum sampai ke inti-Ah pokoknya aku mau minta tolong buat bawa kasus ini ke ranah hukum." Ivan menjambak rambutnya yang sudah acak-acakan.

Rayyan menggenggam tangan Ivan, mencoba menguatkan. "Kamu yang sabar, ya? Om pasti bantu untuk mempermudah proses hukum."

🌷🌷🌷

Belakangan, Perundungan Lala bukan lagi kasus yang asing. Seperti saat ini contohnya, ketenangan Lala kembali diganggu. Padahal gadis itu hanya ingin makan di kantin.

Seorang gadis menjulurkan kakinya ketika Lala hendak melewatinya. Untungnya, Lala cukup waspada dan tidak tersandung.

"Wah, bagus juga mata lo. Gue kira lo buta. Soalnya jawab soal olimpiade aja nggak bisa."

Lala memejamkan mata sejenak dengan tangan terkepal. Dia berusaha mengendalikan diri. Jangan sampai ia berubah kasar dan menggebu-gebu. Hal itu sangat tidak sesuai dengan etika yang selama ini ia junjung tinggi.

Lala tersenyum sinis dan membalas, "Lo bahkan nggak tau kalau babak final itu pertanyaannya dibacain, bukan jawab soal di kertas kayak ulangan biasa. Dan lo masih mau ngeremehin gue? Kalau emang mau ngerendahin gue, seenggaknya lo harus punya kelebihan. Peringkat paralel nggak pernah masuk sepuluh besar, dua kali seleksi olimpiade tingkat sekolah juga nggak lolos. Sok-sokan mau nge-bully gue."

Alvina yang menonton di sudut kantin tersenyum. Lala tidak pernah berubah. Masih seorang gadis yang penuh etika walaupun sedang marah.

Sejujurnya setiap melihat Lala, Alvina merasa sakit di sudut hatinya. Dia selalu berandai-andai, jika saja dulu dirinya, Lala, dan Ica berteman baik. Mungkin Alvina sedikit mendapat kasih sayang dari ibunya karena berhasil mendekati Lala.

Dan mungkin, saat ini Alvina akan berdiri di depan Lala. Melindunginya dari para penjahat itu.

Sayangnya, semua hanyalah khayalan. Siapa Alvina? Hanya seorang gadis yang terkenal sebagai teman masa kecil Dika. Tak memiliki prestasi selain juara satu paralel IPS. Tak pernah sekali pun mewakili sekolah dalam perlombaan.

Mungkin, Lala bahkan sudah lupa siapa Alvina.

"Kenapa lo senyum-senyum? Seneng Lala dibully?" Annisa tiba-tiba membuka suara.

Alvina mengernyit tidak suka. "Gue senyum karena suka cara Lala bales mereka. Lo kenapa nuduh-nuduh sih?"

"Siapa pun yang ngeliat senyum lo bakal mikir gitu kali, Vin. Secara nih, ya Lala itu rival lo. Kalian sering rebutan peringkat angkatan, apalagi Lala tiba-tiba jadi pacarnya Kak Dika yang mana dia itu cuma deket sama lo," jawab Amel ikut-ikutan.

"Gue sama Lala bukan rival. Gue nggak pernah nganggep dia orang saingan. Orang-orang aja yang ngiranya begitu. Padahal gue juga sadar, Lala bukan orang yang pantas buat gue saingin. Dia jauh di atas gue dalam segala hal, termasuk kasih sayang nyokap gue." Alvina berbicara dengan volume yang memelan di akhir. Kedua temannya tidak tahu permasalahan keluarganya, dan jangan sampai mereka tahu.

🌷🌷🌷

Alvina diseret menuruni tangga dengan cepat. Gadis itu sedikit kesulitan mengikuti langkah kaki ibunya. Dia harus melangkah dengan kepala tertunduk sebab rambutnya kini tengah dalam cengkeraman sang ibu.

"Ma, pelan-pelan tolong," mohon Alvina takut.

Beberapa kali kakinya tersandung di tangga. Bukan tidak mungkin jika setelah ini Alvina tersungkur di tangga.

Benar saja, Alvina tersungkur hingga jatuh ke tangga paling bawah. Untungnya, posisinya terjatuh tidak terlalu jauh dari lantai satu. Sehingga tidak terlalu sakit rasanya.

Firda masih berdiri di anak tangga keempat. Ekspresi wajahnya masih syok. Tadi dia reflek melepas genggamannya pada Alvina saat gadis itu jatuh.

Keterkejutan Firda itu tidak bertahan lama. Wanita itu kembali memasang wajah bengis. Menuruni tangga dengan langkah yang tegas, kemudian kembali mencengkeram rambut anaknya.

Alvina diseret ke kolam renang. Kulit kepalanya seakan ingin lepas. Sebab saat ini, Alvina tak dapat bergerak mengikuti langkah Firda. Sehingga Firda menarik rambutnya semakin keras agar tubuh itu tetap bergerak walaupun tidak menggunakan kakinya.

Air mata membasahi pipi Alvina dengan cepat. Perih di kepalanya bercampur ngilu di kakinya benar-benar membuatnya pening. Alvina sudah tidak mampu walaupun hanya untuk berbicara.

Kemudian di bawah dinginnya hujan, Alvina dilemparkan ke dalam kolam renang. Membiarkan tubuh yang penuh luka itu menggigil kedinginan. Lantas perlahan-lahan semakin turun, dilahap oleh air.

"Mama sudah bilang kalau kamu nggak boleh dekat-dekat sama cowok itu. Bisa-bisanya kamu malah ngelawan. Apa kamu nggak sadar diri? Kamu itu tunangannya Dika. Kalau dia nggak bisa jemput kamu ya telpon sopir, bukannya ganjen sama cowok lain!"

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang