40. Awal Mula Kerumitan

16 2 0
                                    

Dua hari berlalu dengan cepat sejak makan malam terakhir dua keluarga. Malam ini, mereka akan menjalani acara makan malam bersama lagi. Namun, ada yang berbeda dari acara kali ini.

Jika biasanya makan malam diadakan di rumah Dika atau restoran, maka kali ini tempat pelaksanaannya adalah rumah Alvina. Haidar yang mengundang keluarga Mahardika ke sana. Hitung-hitung merayakan anniversary pernikahannya dengan Firda. Hal yang sangat aneh mengingat kedua orang itu tak pernah sekali pun merayakan hari jadi pernikahan.

Oh iya, diadakannya acara ini juga menambah kecurigaan pada Alvina. Setelah belasan tahun hidup, seingatnya ini kali pertama kedua orang tuanya merayakan hari jadi pernikahan. Bukankah ini aneh? Padahal ayahnya adalah seorang pebisnis sukses yang bisa saja membuatkan pesta besar di hari yang berbahagia itu.

Sekali lagi, orang tuanya tidak tampak seperti pasangan pada umumnya.

Baik, lupakan masalah hubungan kedua orang tuanya. Sampai saat ini, Alvina masih menerka-nerka apa permintaan dari ayahnya sebagai imbalan dari informasi yang telah diberikan saat itu. Dalam hati, gadis itu menyimpan curiga jika permintaan itu berhubungan dengan Dika, apalagi keluarganya tiba-tiba saja sering mengadakan acara bersama keluarga Mahardika. Jangan lupakan juga betapa terobsesinya Firda untuk menjadikan Dika sebagai pasangan Alvina.

Jika sampai Firda membujuk Haidar untuk menjadikan Dika seorang menantu, mungkin Alvina benar-benar tidak bisa memaafkan ibunya lagi.

"Kak Vina!" Nadiva berlari dari mobil ke arah Alvina yang sedang berdiri di teras. Gadis itu tidak ingin sang kakak sampai lebih dulu dan merebut Alvina darinya. Dia tidak ingin kembali ditinggalkan sendirian.

"Nanad, jangan lari-lari! Nanti jatuh gimana," nasehat Alvina yang kini mendekap Nadiva.

Bagi Alvina, Nadiva sudah seperti adiknya sendiri. Sebagai seorang anak tunggal yang sedikit kesepian, Alvina sangat senang mengenal Nadiva. Gadis itu begitu menyayanginya seperti menyayangi Dika. Alvina bahkan lebih sering menghabiskan waktu bersama Nadiva daripada bersama Amel dan Annisa, atau malah Dika.

Nadiva menggandeng tangan Alvina dan menyeretnya ke dalam. Berharap kakaknya akan ketinggalan dan merasakan kesepian seperti yang biasa Nadiva rasakan. Sayangnya, Dika justru menyusul keduanya. Tangannya merangkul bahu Alvina dan berjalan di sisi lain gadis itu.

"Ih, Abang! Kenapa ikut-ikutan sih?!" protes Nadiva kesal.

Dika mengedikkan bahunya. "Terserah Abang dong mau gimana."

"Ih, biasanya aku ditinggal sendirian. Nggak adil ini tuh!"

"Ya siapa suruh kamu nggak gandeng tangan Alvina yang lain? Malah diem aja kayak anak ilang."

"Ih, Abang!"

Pertengkaran itu tak berlanjut sebab ketiganya sudah sampai di taman belakang. Taman itu disulap sedemikian rupa hingga cocok untuk makan malam romantis. Walau terkesan simpel, desain ini sama sekali tidak kehilangan aura elegannya.

"Kalian cocok banget bertiga, berasa keluarga bahagia," komentar Monica sesaat setelah ketiganya duduk.

Alvina hanya membalas dengan senyum canggung. Gadis itu melirik Dika yang tampak tak terganggu dengan ucapan sang ibu, tapi Alvina tahu betul jika lelaki itu sedang marah. Urat tangannya tidak bisa berbohong.

Nadiva tiba-tiba menyahut, "Jangan-jangan yang kakak mau keluar sampai minta masker Nanad itu sama Kak Vina ya?"

"Bukan," jawab Dika singkat.

"Udahlah, Dika. Ngapain cari cewek lain. Samping kamu tuh ada Alvina, kalian itu cocok banget loh." Firda yang sedari tadi diam mulai angkat suara.

Kali ini, Alvina tidak lagi bisa menahan amarahnya. Gadis itu tak segan menatap ibunya tajam. Sedangkan yang ditatap sama sekali tak menoleh bahkan melirik sedikit pun.

"Betul itu, cocok banget. Kalau kalian jadian kan enak, bisa sekalian dijodohin perusahaannya hahaha," kelakar Monica.

Awalnya, Alvina hendak menimpali agar perbincangan mengenai hal ini tak lagi berlanjut. Bagaimana pun, Dika sudah memiliki kekasih. Walaupun Lala tidak dapat menyaksikan apa yang terjadi saat ini. Namun, sebuah tangan memegang tangannya di bawah meja. Alvina menoleh ke arah Dika dan menemukan lelaki itu menggeleng kecil.

"Biarin aja. Jangan ngerusak acara orang tua lo. Jarang 'kan mereka bikin acara kayak gini? Malam ini aja, gue gapapa kok," bisik Dika menenangkan. Jangan sampai hanya untuk menjaga perasaannya, Alvina dengan gegabah menunjukkan emosinya. Gadis itu bisa habis di tangan Firda jika hal itu terjadi.

Alvina hanya diam. Gadis itu merasa tidak berguna. Selama ini Dika bahkan sudah membantunya begitu banyak. Tak bisakah untuk sekali saja Alvina yang membantu Dika?

"Kayaknya kalian perlu pendekatan deh. Mending ngobrol aja berdua sana, di gazebo deket kolam renang," saran Monica antusias.

Dika menurut. Lelaki itu menggandeng tangan Alvina dan berjalan ke sebuah gazebo yang tak jauh dari tempat makan. Lebih baik berdua dengan Alvina daripada mendengar ocehan para orang tua.

"Lo keliatan sedih," tegur Dika saat keduanya sudah benar-benar menjauh.

Dalam posisi berduaan dengan Alvina seperti ini, Dika merasa lebih leluasa untuk mengutarakan pikirannya. Tak ada yang perlu disembunyikan. Alvina tahu tentangnya melebihi keluarganya sendiri.

"Gue merasa nggak berguna. Selama ini lo selalu ngelindungin gue, dan gue jadi beban lo. Di saat kayak gini aja lo dengan terpaksa harus ngalah dan diem cuma biar gue nggak dimarahin mama." Alvina menundukkan kepalanya.

"Lagian emang nyokap lo belum tau kalau lo jadian sama Lala, Kak? Nyokap gue aja udah tau. Nggak tau deh siapa yang kasih tau," lanjut Alvina penasaran.

"Mama bukan orang kepo yang suka nyari tau tentang kehidupan gue." Entah mengapa, Dika terdengar seperti menyindir.

Seharusnya, Alvina tidak perlu marah 'kan? Toh kalau Dika memang menyindir ibunya, itu memang kenyataan. Ibunya bahkan begitu jahat, Alvina tak perlu membelanya.

🌷🌷🌷

Makan malam kali ini berakhir dengan tidak menyenangkan menurut Alvina. Selepas kata-kata yang seperti sindiran itu diluncurkan oleh Dika, suasana menjadi canggung. Alvina enggan untuk kembali membuka suara. Jika diajak bicara pun, gadis itu hanya menanggapi singkat.

Merasa suasana hatinya sedang tidak baik, Alvina segera menghubungi seseorang. Orang itu pasti bisa membuatnya kembali bahagia. Siapa dia? Tentu saja Joseph.

"KAK JOOOO!" teriak Alvina begitu telepon tersambung. Masa bodoh jika suaranya begitu keras, toh kamar kedua orang tuanya cukup jauh.

"Kenapa, Cantik? Kok kedengerannya kesel gitu."

"Emang kesel, aku boleh cerita nggak?"

"Sure, ada apa?"

Alvina memantapkan hatinya. Joseph sudah mengetahui banyak hal tentangnya, biar saja lelaki itu tau semakin banyak. Alvina benar-benar butuh seseorang untuk tetap berada di sisinya sekarang. Dan Dika bukanlah orang yang tepat. Apalagi lelaki itu kini sudah memiliki kekasih.

"Tadi keluargaku ngadain makan malam bareng keluarga Kak Dika buat ngerayain anniversary mama papa. Eh, tiba-tiba mama ngusulin perjodohan kami, aneh banget 'kan? Padahal mama tau kalau Kak Dika punya pacar."

"Terus gimana? Lo terima?"

"Ya enggak lah, awalnya gue malah mau protes ke mama, tapi Kak Dika ngelarang. Katanya jangan ngerusak acara orang tua gue karena mereka jarang bikin acara."

"Kenapa lo tolak?"

"Ya kenapa lagi? Kak Dika udah punya pacar anjir, masa gue terima? Lagian gue nggak suka sama dia, Kak. Selama ini kita cuma temenan aja. No romantic feelings. Walaupun kadang baper dikit pas dia baik."

"Vin ... terus kenapa dulu pas nolak gue lo bilang lo suka sama Dika?"

Detik itu juga Alvina mematikan teleponnya. Jangan sampai Joseph tahu dulu soal perasaannya.

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang