46. Rencana Dimulai

13 1 0
                                    

Tindakan impulsif memang kerap kali menimbulkan penyesalan. Seperti apa yang Alvina lakukan beberapa waktu lalu. Dia memaksa Dika untuk segera pulang, tapi saat lelaki itu berada di hadapannya Alvina mendadak ragu.

"Lo mau ngomong apa?" tanya Dika.

Tidak ada Dika yang baik hati. Lelaki itu menampakkan wajah datarnya. Tatapannya pun mengintimidasi. Seakan berkata pada Alvina untuk segera mengakhiri pembicaraan yang bahkan belum dimulai.

"Tentang hubungan kita."

Alvina memantapkan dirinya untuk berbicara. Sekali ini saja, Alvina ingin egois. Dia lelah terus mengalah dan menjadi pihak yang disalahkan.

"Kenapa sama hubungan kita? Bukannya kita sepakat untuk nggak ngurusin hubungan satu sama lain?" Kerutan muncul di dahi sang lelaki, menunjukkan amarah yang mulai muncul.

"Gue berubah pikiran." Spontan saja Dika menggebrak meja mendengar perkataan Alvina.

Keduanya menjadi pusat perhatian. Suasana kafe yang senyap membuat gebrakan itu terdengar begitu nyaring. Membuat beberapa orang terganggu.

"Berubah pikiran? Seenak jidatnya lo mau ingkar dari kesepakatan kita?!" bentak Dika.

"Kak, tolong tenang dulu," ucap Alvina panik.

"Gue nggak bisa tenang—"

"Mohon maaf, Kak. Kalau bertengkar tolong jangan di dalam kafe. Tamu yang lain terganggu dengan kebisingan yang kakak buat," sela salah seorang pelayan.

Walaupun dua orang di depannya ini adalah pelanggan, pelayan tak bisa membiarkan mereka begitu saja. Lebih baik mengusir dua orang daripada harus kehilangan banyak pelanggan lain karena ketidaknyamanan.

"Maaf, Kak. Kami nggak akan ribut lagi kok. Gapapa 'kan kalau tetap di sini?" izin Alvina.

Sang pelayan mengangguk. "Asal tidak ada keributan lagi. Saya permisi."

Setelah pelayan itu pergi, Alvina kembali membuka suara. "Karena itu gue ngajak lo ke sini. Hubungan ini menyangkut dua pihak. Gue nggak akan ngambil keputusan sepihak."

Dika mencoba menetralkan napasnya. Tidak baik juga jika dia membuat keributan di tempat umum. Bagaimanapun, dia memiliki reputasi yang wajib dijaga.

"Jadi, lo pengen kayak gimana?"

"Putusin Lala."

Jawaban itu sontak saja kembali memancing emosi Dika. Namun, kali ini lelaki itu dapat mengendalikannya. Hanya saja wajah yang memerah serta tangan yang mengepal di atas meja tak dapat disembunyikan.

"Maksud lo apaan?! Kemarin lo sendiri yang minta buat jangan putusin Lala, terus sekarang lo minta gue buat putusin dia." Dika meraup wajahnya frustasi. "Terserah, Vin. Cewek kayak lo emang nggak sebaiknya dibaik-baikin."

Dika tanpa sepatah kata pun lagi pergi dari sana. Meninggalkan Alvina dengan kedua tangan yang mengepal di atas meja. Mulutnya menggumamkan sesuatu.

"Maaf, Kak."

🌷🌷🌷

Suasana kantin yang ramai tak membuat Annisa mengalihkan pandangan dari meja yang ditempati tiga orang itu. Hal itu tidak luput dari penglihatan seorang Alvina yang sedari tadi duduk bersamanya. Temannya itu tersenyum kecil.

"Udah tenang aja. Jangan dipantengin terus Joshua-nya. Ntar bakal gue bantuin kok buat deket sama dia," goda Alvina.

Wajah Annisa yang memang pada dasarnya jutek semakin parah. Dia tidak marah. Hanya saja malu sekali saat Alvina menggodanya seperti itu.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang