53. Pergi dari Rumah

22 2 0
                                    

Hal yang paling mendebarkan bagi Alvina adalah berbicara kepada orang tuanya. Apalagi kali ini dia akan memberikan kabar yang bukan hanya buruk, tapi sangat amat buruk. Ditambah lagi, Alvina harus memastikan jika orang tuanya akan berada di pihaknya.

Haidar belum pulang dari kantor. Jadi, saat ini hanya ada Firda di rumah.

Sekujur tubuh Alvina bergetar. Bagaimana reaksi Firda jika mendengar kabar yang dibawanya? Apalagi yang menjadi korban adalah 'anak' kesayangan wanita itu.

Alvina rasanya ingin memutar langkahnya dan kembali ke kamarnya. Mungkin menunggu kehadiran Haidar adalah keputusan terbaik. Namun, sudut hatinya memaksanya untuk terus melangkah ke ruang tengah, tempat Firda tengah bersantai ditemani secangkir teh dan majalah di tangannya.

Alvina berpikir, Firda masihlah ibunya. Wanita itu seharusnya membelanya sebab dia tak bersalah. Lagipula, Firda adalah orang yang paling tahu betapa lemahnya Alvina. Rasanya mustahil seorang anak yang bahkan tak mampu melawan orang tuanya untuk merencanakan kejahatan yang begitu besar.

"Ma, aku mau ngomong." Alvina membuka suara.

Firda melirik sejenak, lantas wanita itu meletakkan majalah yang dibacanya. Alvina yang peka pun langsung duduk di hadapan ibunya.

"Ini ada hubungannya sama kematian Lala," kata Alvina.

Firda mengernyitkan dahinya. Wajah tenangnya berubah keruh. Sepertinya Firda belakangan ini menghindari topik pembicaraan tentang Lala.

"Aku dituduh menjadi dalang semua kejadian yang dialami Lala, terutama kasus mading sekolah," lanjut Alvina.

Hening melanda. Tidak ada perubahan ekspresi lagi yang ditunjukan oleh Firda. Wanita itu tampak tak terganggu sedikit pun akan kalimat yang baru saja Alvina sampaikan.

Apakah ... Firda mempercayai Alvina?

Atau justru, Firda mempercayai tuduhan itu?

"Apa yang baru saja kamu katakan, Alvina?"

Ternyata tidak keduanya.

"Aku dituduh menjadi dalang semua kejadian yang dialami Lala—"

Plak!

Suara tamparan menggelegar ke seluruh penjuru ruang tengah. Padahal, ruangan itu cukup besar. Namun seorang asisten rumah tangga yang baru saja hendak masuk ke ruang tengah, mengurungkan niatnya saking kerasnya suara tamparan itu.

"Saya sudah menahan diri untuk tidak membahas Lala di hadapan kamu. Saya tau itu menyakiti kamu. Apalagi setelah Lala meninggal, saya merasa sadar atas apa yang saya perbuat selama ini. Tapi apa balasannya? Kamu bisa-bisanya terlibat kasus seperti ini?!" bentak Firda.

Alvina menunduk. "Maaf, Ma. Tapi kali ini aku nggak salah. Semua itu cuma tuduhan. Aku nggak ngelakuin apapun."

"Kalau sampai tuduhan itu sampai ke kamu, itu artinya kamu melakukan sesuatu yang salah, Alvina! Ini alasan saya selalu mendidik kamu dengan keras, kamu terlalu naif. Berpikir bahwa semua orang akan baik kepadamu kalau kamu baik kepada mereka."

Firda menjambak rambut Alvina hingga gadis itu mendongak. Wajahnya begitu merah. Napasnya pun memburu.

Segala emosi yang selama ini dipendamnya meluap begitu saja. Di saat dia berusaha untuk bersikap baik, Alvina justru memancing amarahnya.

"Di dunia ini itu nggak ada orang baik, Alvina. Kamu pikir kalangan atas selalu menuntut anak mereka sempurna karena apa? Karena itu yang dibutuhkan mereka untuk meneruskan bisnis keluarga? Enggak! Itu cara untuk bertahan hidup."

"Sedikit kesalahan saja, maka semua akan hancur. Seperti saat ini. Kamu pasti melakukan kesalahan kecil yang tidak kamu sadari. Hanya saja, musuhmu terlalu cerdik dalam memanfaatkan kesalahan itu, sementara kamu terlalu naif untuk menyadari," lanjut Firda.

"Pergi dari rumah ini, Alvina. Saya muak melihat kamu. Terserah kamu mau tinggal di mana, saya tidak peduli."

Lantas Firda melenggang pergi dari ruang tengah. Meninggalkan Alvina yang kini sedang tersedu-sedu. Meratapi nasibnya yang begitu malang.

🌷🌷🌷

Alvina terduduk di ayunan taman dekat rumahnya. Taman inilah yang menjadi saksi pertemuan pertama antara Alvina dan Andika. Tempat di mana Alvina untuk pertama kalinya merasa benar-benar hidup.

Saat ini, Alvina yang sudah lama tak mengunjungi tempat ini karena sibuk akhirnya kembali. Dengan keadaan yang berbeda. Sekarang, dia dan Dika tak lagi dapat disebut sebagai teman.

Teman macam apa yang mempercayai tuduhan tanpa bukti?

Diam-diam Alvina berharap jika peristiwa dua belas tahun lalu terulang kembali. Di mana Dika tiba-tiba saja datang dan mengajaknya berteman. Kemudian Alvina dengan senang hati akan menerimanya.

Sayangnya, semua itu sepertinya mustahil. Dika terlihat membencinya. Tidak, lelaki itu benar-benar membenci Alvina.

Ponsel yang berada di dalam saku jaket milik Alvina berdering. Gadis itu pun segera melihatnya. Nama Kak Joseph tertera di layar.

"Halo?"

"Halo, Vin. Lo di mana?"

"Di taman dekat rumah. Ada apa, Kak?"

"Jangan kemana-mana, gue ke sana sekarang."

Kemudian sambungan terputus.

"Lagi-lagi Kak Joseph yang dateng," gumam Alvina.

Alvina mendongak. Menatap langit yang mulai menggelap. Tetes air turun beberapa detik sekali. Sepertinya, langit turut menyertai kesedihannya.

"Sebenernya salah gue tuh apa sih? Dari lahir kayaknya hidup gue penuh masalah," gumam Alvina.

Memiliki orang tua yang hampir sama sekali tidak peduli kepadanya tentunya bukan sebuah masalah yang kecil. Alvina harus menyelesaikan setiap masalahnya sendirian. Tidak ada yang membantu maupun membimbingnya.

Memasuki masa anak-anak, Alvina harus menerima kenyataan jika tidak ada yang mau benar-benar berteman dengannya. Orang-orang yang menjadi temannya kala itu hanya memanfaatkannya untuk mendekati Dika.

Saat remaja, Alvina sedikit berbeda dengan gadis-gadis lain. Saat remaja lain sibuk dimabuk cinta, Alvina justru sibuk memenuhi ekspektasi orang tuanya. Bahkan di saat dia mulai merasakan jatuh cinta, Alvina harus menerima kenyataan jika mereka tidak bisa bersama karena orang tuanya tidak merestui.

Yang paling parah, satu-satunya teman terbaik yang Alvina miliki pun kini tak lagi sudi menjadi temannya.

Hujan yang turun dengan deras mengiringi air mata yang turut jatuh. Alvina tak dapat lagi menahan semua rasa sakit yang selama ini dia pendam sendiri. Semua kesalahan yang dilimpahkan kepadanya benar-benar menyesakkan.

"Bahkan di saat udah diusir begini, gue masih nggak bisa benci sama Mama," isak Alvina, "apa nggak bisa Mama sayang sama gue walaupun cuma sedikit?"

"ALVINA!" Teriakan itu menyadarkan Alvina dari lamunannya.

Alvina baru menyadari jika dirinya basah kuyup. Dia tadinya tidak merasakan apapun sebab terlalu sibuk dengan tangisannya.

Joseph berlari dan membawa Alvina ke dalam pelukannya. Dia benar-benar khawatir dengan gadisnya ini. Tadi pagi Joseph tiba-tiba harus menghadiri pertemuan mewakili tim basket sekolah. Namun, saat pulang dia justru menerima kabar jika Alvina dibully di sekolah.

"Kak, badan lo basah semua." Alvina melerai pelukan mereka.

"Emang kenapa kalau basah?"

"Nanti lo sakit."

"Lo bilang gitu di saat badan lo juga basah karena hujan, Vin." Joseph menatap lamat mata Alvina. Kedua tangannya berpindah ke bahu sang gadis.

"Lo boleh stres, lo boleh capek, tapi jangan sampai abai sama kesehatan dan keselamatan diri lo sendiri."

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang