31. Pasangan yang Seharusnya

18 2 0
                                    

Tak seperti biasanya, hari ini Dika memilih memisahkan diri dari teman-temannya. Lelaki itu langsung keluar dari kelas setelah diperbolehkan pulang. Tak lupa untuk berpamitan dengan sahabat-sahabatnya.

Dika menghampiri motor matic nya yang terparkir rapi. Lelaki itu menyisir rambutnya ke belakang dengan tangan. Memastikan bahwa dia dalam kondisi terbaik untuk menemui gadisnya.

"Kak," panggil seorang gadis setelah menepuk bahu Dika.

"Eh, udah sampe?" Lala terkekeh. Dika ini, tidak punya pertanyaan yang lebih berbobot lagi?

"Udah dong, Kak. Kan udah ada di depan kakak sekarang."

"By the way, kakak ngapain nyuruh aku ke parkiran?"

Dika menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bingung bagaimana caranya untuk mengutarakan niatnya. Pasalnya, selama ini dia jarang berinteraksi dengan wanita lain selain Alvina dan ibunya. Jadi walaupun sudah kurang lebih sebulan mulai dekat dengan Lala, dia tetap merasa canggung.

"Em, gini. Tadi 'kan lo kepilih tuh jadi kandidat olimpiade mewakili sekolah. Nah, gimana kalau kita rayain?"

"Rayain? Masih kandidat sih harusnya nggak usah dirayain, Kak. Belum tentu juga aku yang bakal ngewakilin sekolah. Tapi karena kakak udah berbaik hati buat ngajakin aku, boleh lah kita rayain," kekeh Lala.

Dika ikut tertawa. Tangannya reflek mengelus lembut kepala Lala. Hal itu langsung saja membuat keduanya salah tingkah.

"Yaudah, yuk naik! Nanti pulangnya sekalian gue anterin." Lala pun menaiki motor Dika lalu melaju keluar dari sekolah.

Keduanya tidak menyadari jika ponsel yang Dika letakkan di dalam tasnya itu berbunyi. Menampilkan sebuah nama serta tombol merah dan hijau. Sebuah nama yang mungkin saja akan menyesal telah mengabaikannya.

Alvina.

🌷🌷🌷

Rumah megah di depannya adalah ketakutan Alvina saat ini. Dia sudah berada di halaman rumahnya, tapi keberaniannya untuk masuk tidak ada sama sekali. Dia tahu apa yang akan terjadi jika ia masuk ke dalam.

Sayangnya, tak ada pilihan lain selain masuk ke dalam saat langit mulai menggelap. Jika tidak masuk, maka ia akan kedinginan di luar. Dan menurut Alvina, tidak ada pilihan yang lebih baik.

Kalian tahu apa yang membuat Alvina takut? Tentu saja seorang wanita dewasa yang kini tengah berkacak pinggang di depan sana. Wanita itu berdiri di ruang tamu.

"Bagus ya, bukannya langsung masuk malah bengong di depan. Kamu sengaja mau bikin mama nunggu lama?!" bentak Firda.

"Mama dengar kabar hari ini, katanya Lala jadi perwakilan olimpiade lagi. Benar?"

Tak ada jawaban dari Alvina. Gadis itu hanya menunduk takut. Kedua tangannya meremas bagian samping rok sekolahnya.

"KALAU DITANYA ITU JAWAB! BENAR ATAU ENGGAK?!" Bentakan itu semakin menggentarkan Alvina. Gadis itu bahkan refleks mundur.

"I-iya, Ma," jawab Alvina. Dia tak ingin membuat Firda semakin marah.

Sayang seribu sayang, Alvina harusnya hafal dengan tabiat ibunya. Firda akan tetap marah walaupun Alvina menjawab. Sebab bukan jawaban itu yang ia inginkan.

"Ini semua gara-gara kamu! Dasar nggak becus jadi anak! Kapan sih kamu mau banggain orang tua? Kalau aja kamu masuk IPA, kan enak. Kamu pasti bisa ngalahin Lala. Nggak malu kamu? Lima tahun kamu satu sekolah sama dia, tapi sekali pun kamu nggak bisa ngalahin Lala."

Sakit.

Salahkah jika Alvina marah? Salahkah jika ia kesal saat ibunya terus membanggakan Lala di hadapannya? Salahkah kalau Alvina merasa tidak dihargai?

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang