"Vin, boleh ketemu nggak? Gue butuh temen cerita."
Malam itu, Alvina dibuat heran dengan tingkah laku Amel. Temannya yang begitu ceria berubah menjadi lesu. Maka tanpa pikir panjang ia menyetujui ajakan temannya itu.
Sudah malam, juga pergi sendirian. Alvina yakin Firda tidak akan mengizinkan. Namun, dia punya satu jurus ampuh.
"Aku diajak Kak Dika nongkrong bareng temennya di kafe dekat sekolah," alibinya.
Dan berhasil. Firda mengizinkannya pergi. Untungnya, tadi Dika mau membantu Alvina untuk mendapat izin. Lelaki itu memang yang terbaik.
Kali ini, bukan Kafe Kelicung yang Alvina datangi. Melainkan kafe tempat kerja sahabatnya, Amarilis. Sebetulnya dia sendiri juga baru tahu kalau sahabatnya itu sekolah sambil bekerja.
Dentingan lonceng terdengar ketika pintu dibuka. Membuat Alvina terkejut sedikit, lalu melanjutkan langkah. Diputarnya pandangan ke sekeliling, lantas memilih duduk saat tak menemukan seseorang yang dicarinya.
Setelah mendapat spot yang tepat, dia menelepon Amel. Mengatakan bahwa dirinya telah sampai.
"Bentar ya, Vin. Gue mau izin istirahat sebentar dulu," kata Amel sebelum mematikan sambungan.
Tak lama, seorang gadis menghampirinya. Masih dengan seragam khas pelayan kafe Amarilis. Alvina mengetahuinya sebab mengamati beberapa pelayan yang berlalu-lalang.
"Vin, gue langsung ke intinya aja ya. Adek gue sakit." Amel tampak menutup matanya sejenak.
"Dia butuh banyak biaya secepatnya. Sedangkan gajian gue masih lama. Gue udah coba minta gaji lebih awal, tapi kata bos gue nggak bisa, karena gue masih pegawai baru. Gue boleh pinjem dulu ke lo?" sambungnya.
Alvina tersenyum. Ternyata masalah uang. Yah, Alvina bersyukur karena sepertinya ia bisa membantu kali ini. Padahal tadi ia takut jika masalah Amel tergolong dalam kategori berat dan dirinya tak bisa menolong.
"Santai aja, lo butuh uang berapa?" tanya Alvina.
"Lima ratus ribu aja, Vin. Cuma buat biaya berobat adek gue. Kayaknya udah lumayan parah soalnya udah semingguan ini dia sakit." Amel tertunduk lesu. Dia tidak suka menyusahkan orang lain, tapi ini demi adiknya.
"Cukup emang segitu? Nggak dilebihin aja? Siapa tau ntar ada biaya tidak terduga," tawar Alvina.
Amel menggeleng. "Nggak perlu, Vin. Itu udah cukup kok. Udah gue lebihin juga buat jaga-jaga."
Alvina mengangguk. Lantas mengambil lima lembar uang berwarna merah muda dari dompetnya. Menyerahkannya kepada Amel.
"Nih, berhubung nominalnya nggak terlalu banyak, mending cash aja. Jadi nanti lo nggak perlu ribet ke ATM buat ngambil uang."
Amel menerimanya. Gadis itu tersenyum sayu. Sedikit meratapi ketidakmampuannya.
"Makasih ya, Vin. Gue usahain bayar secepatnya. Sejujurnya gue juga nggak suka ngerepotin orang gini. Makin menunjukkan kalau gue nggak mampu. Tapi ya gimana lagi." Amel menunduk dalam. Dia benar-benar merasa malu.
Alvina berpindah duduk ke samping Amel. Lantas memeluk sahabatnya itu. Menepuk pelan punggungnya.
Alvina tidak merasakan, jadi dia tidak tahu seberat apa beban yang ditanggung Amel. Yang ia tahu, sahabatnya ini adalah manusia hebat. Seseorang yang bisa tetap berdiri teguh tanpa peduli sebesar apapun badai yang menerjang.
"Santai aja, lo nggak perlu mikir keras buat gantiin. Kalau semisal gaji lo ada lebih, boleh kok nyicil dikit-dikit. Jangan dijadiin beban ya."
🌷🌷🌷
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...