60. Sidang

15 1 0
                                    

Chapter ini lebih panjang dari yang lain, 2419 kata. Bacanya pelan-pelan aja biar nggak bingung.

Happy Reading!

***

Mencari bukti kejahatan bukanlah perihal yang sulit bagi keluarga Rabbani. Kasus yang sudah bertahun-tahun yang lalu saja mereka mampu selesaikan dengan mudah, apalagi yang baru saja terjadi. Terlebih lagi, pelakunya hanyalah anak-anak SMA amatiran yang tak pandai menyembunyikan bukti.

Walaupun begitu, kasus tentu saja tak berjalan dengan semudah itu. Bukti sudah didapat, tapi lawan mereka pun orang-orang yang berpengaruh. Orang-orang yang mampu membungkam hukum dengan kuasanya. Oleh karena itu, keluarga Rabbani tak segan mengorbankan begitu banyak harta mereka. Anggap saja ini adalah bentuk penebusan dosa mereka terhadap si bungsu.

"Lala pasti seneng kalau tau kita seperhatian ini sama dia," celetuk Arya.

Saat ini Arya tengah duduk di tempat tidur warna biru milik Lala. Tangannya menggenggam sebuah pigura yang berisikan fotonya bersama Ivan dan Lala ketika kecil. Matanya tak bisa lepas dari foto itu. Hatinya teriris melihat betapa bahagianya mereka dulu.

Ivan menghela napasnya. "Mau sampai kapan meratap terus?"

Arya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Sampai mati kayaknya. Gimana bisa gue hidup dengan tenang setelah tau kalau adek gue sendiri mati karena kesalahan gue, Kak."

"Ini bukan salah lo, Arya."

"Stop kasih kata-kata penenang, Kak! Gue nggak butuh itu. Kenyataannya hampir semua hal buruk yang menimpa Lala itu ada kaitannya sama gue. Mulai dari pelecehan yang Lala dapet dari bajingan itu, foto Lala yang kesebar, bahkan—" Arya terisak, tak sanggup menyelesaikan kalimatnya.

Ivan tak bisa melakukan apa-apa lagi selain memeluk adiknya itu. Dia tak bisa lagi mengucapkan kata-kata penenang. Sebab sebenarnya ... Ivan juga masih terluka.

Kepergian Lala masih belum bisa mereka terima. Rasanya semua terjadi begitu cepat. Baru saja kemarin mereka menjadi lebih dekat lagi, sekarang mereka tak lagi bisa saling menatap.

Seandainya saat itu Ivan tak menutupi pengadilan kasus yang ia dan Arya tangani, apa mungkin Lala masih bertahan? Setidaknya Lala akan merasa jika ada yang masih peduli padanya, kan?

"Kak, kenapa ya di sekitar gue banyak banget monster bajingan? Kenapa juga mereka malah jahatin Lala bukan gue? Emangnya Lala salah apa?" Arya masih terisak.

"Arya, yang penting sekarang 'kan bajingan-bajingan itu udah kita jeblosin ke penjara—"

Arya menyela, "Bukan cuma mereka, Kak! Ada satu orang lagi yang masih bebas."

Ivan mengernyit. Dia melepaskan pelukan mereka. "Kok kamu nggak bilang? Kenapa nggak sekalian kemarin di persidangan?"

Arya menggelengkan kepalanya. "Dia nggak ada hubungannya sama kasus itu, tapi dia yang ngelakuin sabotase ke olimpiade terakhir Lala. Dia dalang dari semuanya, Kak. Dia otaknya."

Ivan tidak bisa lagi berkata-kata. Dia marah, tentu saja. Namun, tidak ada yang bisa dia lakukan saat ini. Dia juga tidak bisa melampiaskan kemarahannya pada Arya, bagaimanapun Arya jelas lebih terluka.

"Waktu rekaman di flashdisk punya Lala diputer, gue udah nyadar kalau itu suara Ailsa. Akhirnya gue coba buat cari tau siapa lawan Lala di final olimpiade, ternyata Ailsa lawannya Lala. Terus gue bilang ke Papa masalah ini, jadi Papa makin gampang buat ngumpulin bukti-bukti." Suara Arya mulai gemetar. Membuat Ivan memeluknya lagi sembari mengusap-usap punggungnya.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang