Lala keluar sebagai pemenang tugas tambahan. Ica tentu saja yang paling antusias. Walaupun sempat mengomelinya sebab menghilang begitu saja.
Hadiah yang Lala terima adalah gratis makan di kantin selama satu bulan penuh. Dan gadis itu memanfaatkannya sekarang. Duduk di kantin dengan berbagai macam makanan saat istirahat kedua.
Lala tak memakannya sendiri. Tentu saja, dia bukanlah seseorang yang begitu menyukai makanan. Jadi dia membaginya dengan kedua temannya.
Saat gadis berkulit putih itu tengah menikmati batagornya, matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang baru saja ia patenkan menjadi pujaan hatinya. Dia senang, tentu saja. Perempuan mana yang tak senang saat bisa menatap gebetannya dengan leluasa.
Hanya saja, mengapa seorang Alvina Alya Alexandrina bisa duduk di sampingnya?
Alvina adalah seorang anak perempuan yang mengajaknya berkenalan untuk pertama kali dulu. Lala mengingatnya. Hanya saja anak itu terlalu kaku untuk dijadikan sahabat seseorang seperti Lala. Gadis itu butuh sosok cerewet seperti Ica.
"Ca, Lo tau nggak siapa yang ada di sebelah Kak Dika?" tanya Lala.
Ica menghentikan acara makannya. Menatap seseorang yang Lala maksud. Kemudian mengangguk mantap.
"Dia dulu satu gugus sama kita waktu SMP. Langganan juara dua paralel. Salah satu anak yang belum pernah bisa gue kalahin," jelas Ica.
Dulu saat di SMP, Ica termasuk dalam lingkaran yang berisi manusia pengejar peringkat. Walau tidak berusaha sekeras Lala, Ica mampu menduduki lima besar selama tiga tahun berturut-turut. Dalam rincian posisi tiga, empat, dan lima.
Ica tak pernah mampu menggapai peringkat satu dan dua yang diisi oleh Lala dan Alvina.
"Lo nggak bakal bisa ngalahin dia." Ica menoleh, merasa sedikit tersinggung atas ucapan sahabatnya.
"Karena kalian mahir di bidang yang berbeda. Mau ngalahin gimana? Pakai nilai biologi? Nggak adil untuk Alvina yang pinter banget IPS," sambung Laka.
Lala menyeruput es tehnya. Dia tak mengetahui secara spesifik pelajaran apa yang Alvina gemari. Sebab dulu saat SMP masih belum ada penjurusan. Yang berarti IPA dan IPS belum dipecah menjadi beberapa bagian.
Namun, bukan itu yang menjadi fokus Lala saat ini. Pertanyaannya adalah, mengapa gadis itu bisa terlihat begitu dekat? Apa iya Dika memang sebegitu ramahnya?
Di sisi lain, Alvina kini tengah berkenalan dengan ketiga orang yang menjabat sebagai sahabat dari Andika. Dua orang terlihat berwajah sama. Yang satu lagi, dia terlihat begitu datar dan dingin.
"Gue Joshua, salam kenal, Cantik." Joshua mengulurkan tangannya yang langsung ditepis oleh kembarannya.
Joseph menggantikan dengan uluran tangannya. "Jangan mau salaman sama dia, tangannya bau terasi. Salaman sama gue aja. Joseph, calon jodoh Lo di masa depan."
Alvina tertawa melihat kelucuan kedua teman Dika. Sedari tadi, Joseph dan Joshua berebutan untuk mendekatinya. Dan Alvina tahu, mereka hanya bercanda.
"Kalau kakak yang itu, namanya siapa?" Alvina menoleh ke arah teman Andika yang lain.
"Suryo," timpal lelaki itu singkat. Dibalas anggukan oleh Alvina.
Sebagai seseorang yang hanya menjabat sebagai sahabat Andika dari kecil, Alvina tak ingin menuntut banyak dari sahabat Andika. Baginya, ia sama sekali tak berhak untuk itu. Toh mereka adalah teman Andika, bukan temannya. Jadi wajar saja untuk bersikap dingin.
"Ak— gue mau jajan dulu, Kakak mau nitip?" Alvina berdiri dari duduknya. Kemudian melenggang pergi saat Andika menggeleng.
Omong-omong tentang gaya bicara, Andika sudah meminta Alvina untuk berhenti memanggilnya kakak selain untuk imbuhan pada namanya. Katanya sih, supaya keren. Dan Alvina yang tak mampu menolak hanya meminta waktu untuk menyesuaikan diri.
🌷🌷🌷
Masih di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah, saat ini adalah hari kedua acara ini berlangsung. Semua siswa berada di kelasnya sesuai gugus masing-masing. Dan ada hal yang baru Lala sadari, Alvina satu kelas dengannya, lagi.
Oh, apakah Lala memang secuek itu hingga tak menyadari jika Alvina satu kelas dengannya? Atau memang gadis itu yang tidak masuk ke kelas kemarin? Tapi bukannya mereka bertemu di kantin?
Ah, sudahlah. Lala pusing memikirkannya.
Di tengah peningnya kepala, Lala mendengar suara yang agak familiar di telinganya. Suara yang membuatnya terpesona untuk pertama kali. Suara milik si Ketua OSIS.
Lala melongokkan kepala. Mencoba mengintip apakah perasaannya benar. Lalu senyumannya pun merekah saat melihat sosok Dika berdiri dengan gagah di depan pintu.
Begitu fokus dengan pujaan hatinya, Lala tidak menyadari jika Ica sedari tadi memperhatikannya. Perempuan itu berdecih kala melihat siapa yang mampu mengembangkan senyuman sahabatnya. Hebat sekali Ketua OSIS itu, hingga bisa meluluhkan hati beku sahabatnya yang bahkan tidak pernah melirik lelaki selain ayah dan kedua kakaknya.
"Jangan diliatin terus, nanti tambah naksir," goda Ica. Sahabat Lala itu tersenyum usil kala perempuan yang ia goda barusan menoleh.
"Apa? Bener 'kan lo lagi liatin si Ketos?" Melihat Ica yang berbicara dengan santai membuat Lala mengerucutkan bibirnya kesal. Tampak begitu menggemaskan, apalagi saat kedua pipinya memerah seperti saat ini.
Masih dalam perdebatan kedua sahabat itu, Dika tiba-tiba saja memasuki kelas. Membuat seluruh siswa merapikan posisi. Takut diberi hukuman oleh si Ketua OSIS.
"Eh, santai aja. Gue dateng ke sini bukan sebagai Ketos kok. Cuma mau ketemu sama Alvina aja," ujar Dika.
Kemudian lelaki itu melangkah ke hadapan Alvina. Menyerahkan sebuah kotak bekal berwarna kuning cerah. Dan hal itu tentu saja menjadi perhatian para siswa, terutama kaum hawa.
Kebanyakan dari mereka bertanya-tanya, siapakah anak perempuan yang bernama Alvina itu? Apa perannya dalam kehidupan seorang Andika Mahardika? Dan mengapa mereka terlihat begitu dekat?
"Mama tadi nitip ini, katanya ketinggalan." Andika tersenyum manis usai menyerahkan kotak bekal yang ia bawa.
Alvina terdiam. "Kakak tadi ke rumah?"
"Iya, tadi niatnya ngajak berangkat bareng, ternyata lo udah duluan. Yaudah, gue balik dulu ya." Dika mengusak rambut Alvina penuh sayang. Kemudian berlalu keluar kelas.
Namun, langkahnya terhenti kala seseorang memberikan pertanyaan. "Kalian adek kakak?"
Andika tersenyum kecil lalu menjawab, "Bukan, kita cuma teman."
Kemudian si Ketua OSIS itu melanjutkan langkahnya. Mengabaikan pekikan kagum kaum hawa melihat betapa manisnya senyumnya. Meninggalkan kedua orang perempuan yang sama-sama terdiam.
Di satu sisi, Lala terdiam sebab mendengar penuturan Andika. Memikirkan betapa beruntungnya Alvina yang bisa menjabat sebagai sahabat Andika. Hingga lelaki itu begitu mencurahkan perhatiannya.
Ditilik dari percakapan mereka tadi, Andika memanggil ibu Alvina dengan sebutan Mama. Bukannya itu membuktikan mereka sudah sangat dekat?
Sedangkan di sisi lain, Alvina terdiam menatap kotak bekal di tangannya. Ia yakin ibunya itu sedang merencanakan sesuatu. Sebab Firda tidak pernah sebaik itu hingga membuatkan bekal untuk Alvina.
***
To Be ContinuedKalau kalian baca ini, berarti kalian sudah berhasil melewati sepuluh chapter pertama, dan masuk ke sepuluh chapter kedua. Yuhu! Kalian hebat!
Terima kasih untuk tetap setia. Dan semoga akan terus seperti itu.
See You !
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...