Alvina kini tengah bersiap di kamarnya. Menghadap cermin setinggi badannya. Tak heboh, Alvina hanya mengenakan sweater rajut warna coklat muda dengan corak beruang di tengahnya. Juga Jeans denim sebagai bawahannya.
Setelah merasa semuanya sempurna, Alvina menyampirkan tas beruang mininya. Gadis itu tampak begitu menggemaskan dengan rambutnya yang sengaja dibuat curly.
"Mau ke mana kamu?" Baru saja menuruni tangga, Alvina sudah ditodong pertanyaan oleh Firda.
Alvina dibuat kebingungan. Bukannya Joseph bilang dia akan menyuruh Dika meminta izin kepada ibunya? Lantas mengapa ibunya ini bertingkah seakan tidak tahu apa-apa?
Sedangkan di sisi lain, Firda mengernyit heran. Dia menilik penampilan anaknya dari atas ke bawah berkali-kali. Rapi sekali. Juga tumben sekali mengingat Alvina jarang keluar rumah selain untuk pergi sekolah.
"Mau nonton basket, Ma. Boleh, kan?" tanya Alvina ragu.
"Tumben banget kamu keluar rumah. Kamu inget, kan kalau Mama nggak akan ngizinin kamu keluar selain sama Dika?" Firda menyedekapkan tangan di dada.
Alvina tersenyum kaku. Gagal sudah rencananya. Jadi ia memilih untuk berpamitan kembali ke atas.
Alvina mondar-mandir di kamarnya. Dia tidak enak jika harus membatalkan janji hari ini. Lalu bagaimana cara meminta izin pada ibunya.
Ah, ada satu cara! Alvina mengambil ponselnya lalu menelepon seseorang. Tak lama, nada sambung terdengar.
"Kak! Kak Joseph bilang ke Lo enggak kalau hari ini gue mau nonton dia basket?" tanya Alvina langsung.
"Oh iya! Gue lupa, astaga. Bentar ya, gue telfonin nyokap lo dulu." Kemudian Dika memutus sambungan telepon.
Tak masalah. Alvina tak keberatan Andika memutus telepon begitu saja. Dia bukan tipikal gadis pemarah yang akan emosi hanya karena hal sepele.
Tak lama, terdengar langkah kaki mendekat ke kamarnya. Sepertinya itu Firda. Ah, Alvina jadi gusar tanpa sebab.
Apakah ibunya akan mengizinkan? Harusnya sih iya, karena yang wanita itu tahu, dia akan pergi bersama Dika. Suara pintu dibuka membuat jantung Alvina berdegup semakin kencang.
"Dika tadi nelpon Mama, katanya kamu sama dia janjian buat ketemu langsung di arena, bener?" tanya Firda langsung.
"I-iya, Ma."
Firda menghela napas. "Kenapa nggak bilang dari tadi?"
Alvina gelagapan. Dia tidak terbiasa berbohong.
"Itu, tadi aku telepon Kak Dika dulu."
"Takut nggak jadi?"
"Iya, kan aku nggak mau bohongin Mama." Alvina sedikit takut melihat tatapan menyelidik Firda.
"Yaudah, sana berangkat! Jangan bikin calon menantu mama itu nunggu lama!"
Mendapat izin, Alvina dengan segera berlari keluar setelah mengecup pipi Firda. Alvina sendiri tak tahu mengapa dia melakukannya, dia hanya kelewat senang. Sedangkan Firda masih terdiam memegangi pipinya.
Jadi, seperti ini ya rasanya dicium anak sendiri, batinnya.
🌷🌷🌷
Alvina turun dari taksi saat sudah sampai di gelanggang olahraga milik SMA Major. Mengingat sekolah ini belum terlalu lama berdiri, jadi wajar saja. Sekelas SMA Major pastilah memiliki banyak fasilitas, akan tetapi tak bisa dibangun dalam satu tempat karena terbatasnya lahan saat itu.
Satu tangan Alvina gunakan untuk mencari ponsel dalam tas selempangnya. Kemudian ia mencari nomor seseorang. Dia harus mengabari seseorang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...