Joseph, Dika, dan Alvina saat ini tengah berada di sebuah mobil milik Joseph. Mereka bertiga sedang menuju rumah Lala dengan Dika yang menyetir. Hanya lelaki itu yang tahu jalan ke rumah Lala.
"Dik, Lala punya buku yang sering dia bawa ke mana-mana. Lo tau?" tanya Joseph yang duduk di kursi penumpang samping sopir.
"Enggak. Lala itu terlalu tertutup. Nggak banyak yang gue tau tentang dia. Lo tau dari mana?" Dika merespon.
"Dari Alvina." Jawaban Joseph itu membuat Dika melirik ke rear-vision mirror yang menampakkan wajah Alvina. Gadis itu duduk sendirian di kursi penumpang belakang. Tak membuka suara sama sekali.
Tanpa ditanya, Alvina jelas paham Dika penasaran. "Gue nemu buku itu di laci bangku kelas dia."
"Kapan?"
"Sebelum semuanya terjadi."
Decitan ban yang bergesekan dengan aspal pun terdengar keras. Dika baru saja mengerem mobil secara mendadak. Klakson dari mobil dan motor di belakang pun menyeruak.
"Jadi lo udah tau rahasia besar tentang dia? Tapi apa mungkin buku itu penting? Kalau penting bukannya dia harusnya nggak bakal ninggalin buku itu gitu aja?" cecar Dika kala dia sudah berhasil menenangkan diri dan kembali menjalankan mobilnya.
"Kalau dari gelagat dia waktu gue balikin bukunya sih, buku itu ketinggalan. Dia juga keliatan lega karena gue yang nemuin. Kalau buku itu nggak penting, nggak mungkin dia ngerasa selega itu."
Awalnya, Dika ingin protes karena Alvina yang begitu lancang mengambil buku milik Lala tanpa izin. Namun, sesuatu mengalihkan perhatiannya. Kenapa Lala merasa lega saat tahu jika Alvina yang mengambilnya? Bukannya seharusnya Lala khawatir karena Alvina adalah rivalnya?
Apa Lala percaya sama Alvina? Kalau begitu ... kemungkinan besar bukan Alvina pelakunya.
Ketiganya sampai di rumah milik keluarga Rabbani. Benar kata Dika, rumah itu terlihat begitu sepi. Seperti tidak ada orang di dalamnya.
Tidak ada satpam yang berjaga di pagar. Jadi, yang bisa mereka lakukan adalah memencet bel setiap beberapa menit sekali. Berharap ada seseorang yang keluar dari rumah itu.
Tiga puluh menit berlalu. Enam kali sudah mereka memencet bel. Namun tak ada satu pun yang keluar dari rumah.
"Kayaknya lo bener deh, Dik. Lala tinggal sendirian. Mungkin orang tuanya sibuk kerja dan kakaknya kuliah di luar kota. Kemarin mereka dateng semua, terus sekarang mereka udah balik ke rutinitas masing-masing," opini Joseph.
"Tapi apa nggak kecepetan? Gue sendiri liat betapa gilanya mereka ditinggal Lala. Gimana bisa mereka udah pergi sementara Lala aja belum seminggu meninggal?" Dika membalas.
"Bisa aja sih, Kak. Mungkin tinggal di sini bikin mereka inget Lala terus, jadinya mereka milih buat pergi." Akhirnya Alvina pun angkat suara.
Saat mereka sibuk berdebat satu sama lain, suara pintu terbuka tiba-tiba saja muncul. Seorang laki-laki paruh baya keluar dari dalam rumah. Dengan mata yang sembab, lelaki itu tetap terlihat berwibawa.
"Ada urusan apa kalian kemari? Kalau tidak penting lebih baik pergi!" usir Hanif, ayah Lala.
"Kami teman-teman dari Lala, Om. Kami ditugaskan untuk mencari tau dalang pembullyan terhadap mendiang Lala," kata Alvina.
Hanif terdiam. Dia bukan hanya sosok ayah yang buruk, tapi terburuk. Dia bahkan tidak tahu jika putri bungsunya menjadi korban bully di sekolah. Padahal dengan kekuasaannya, dia bisa dengan mudah mengetahui segalanya.
"Saya tidak tau apa-apa tentang Lala. Keluarga yang lain pun begitu. Dia terlalu penutup," alibi Hanif. Padahal sebenarnya, merekalah yang tidak membiarkan Lala membuka diri.
"Om, menurut surat yang Lala kasih ke saya, petunjuknya ada di rumah ini. Tolong kooperatif, biarkan kami menyelidiki kasus ini. Tidak apa-apa kalau om memang tidak bisa membantu, mempermudah jalan kami saja sudah cukup." Kali ini Joseph yang angkat suara.
Sayangnya, Hanif bersikeras menolak. Dia tidak ingin urusan keluarganya dicampuri orang lain. Urusan pembullyan Lala, biarlah dia sendiri yang mengurusnya. Dia akan memastikan orang itu menerima balasan yang setimpal.
"Om, kalau begitu saya mau ketemu sama Kak Arya," sela Dika kala Hanif terus mengusir mereka.
"Lo mau ketemu gue? Ada urusan apa?" Arya tiba-tiba saja keluar dari rumah.
"Saya mau ambil liontin yang Lala hadiahkan untuk Kak Arya. Ini atas perintah Lala sendiri, Kak."
Arya terdiam. Dia tidak pernah menceritakan kepada siapapun mengenai liontin itu. Juga tak pernah membawanya kemana pun. Liontin itu selalu ia gantung di meja belajarnya yang berada di rumah ini.
Jadi kalau ada orang lain yang mengetahui tentang liontin itu, sudah pasti Lala yang menceritakannya.
"Apa buktinya kalau kamu diperintah oleh Lala?" tanya Arya.
Dika memberikan surat dari Lala kepada Arya. Arya menerimanya segera, kemudian membaca surat itu dengan saksama. Tulisan itu ... benar-benar milik adiknya.
Arya tak mampu menahan linangan air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya. Lelaki itu mengelus pelan goresan tinta milik adiknya itu. Memperlakukannya seperti dia sedang mengelus adiknya.
"Jadi bagaimana? Kami boleh masuk, kan?" Joseph kembali membuka suara.
Bukannya tidak sabaran, waktu mereka tidak banyak. Dalam waktu dekat, kalau tidak ditemukan siapa dalang dari semua kejadian ini, sudah pasti Alvina akan dikambinghitamkan. Setelahnya tidak akan ada kesempatan lagi untuk mencari tahu siapakah pelaku yang sebenarnya.
Alvina, orang yang dicintainya sedang berada di ujung tanduk. Joseph tentu saja tidak bisa tenang. Dia harus menyelesaikan ini semua dengan cepat.
Arya mengusap air mata di kedua pipinya. Sedikit merasa malu karena menangis di hadapan bocah-bocah yang seumuran adiknya itu. Kemudian lelaki itu mengangguk.
"Tapi kalian harus berjanji untuk tidak akan menghentikan penyelidikan ini sebelum menemukan pelaku sebenarnya," ucap Arya.
"Maaf menyela. Saya Alvina, salah satu kenalan Lala dari SMP. Kami sering kali dianggap rival karena saling bertarung dalam peraihan peringkat. Dalam kasus ini, saya dituduh menjadi tersangka tanpa bukti apapun. Jadi kalau Kak Arya meragukan tekad kami, tenang saja. Saya tidak akan membiarkan orang lain mengkambinghitamkan saya," jawab Alvina lugas.
Arya bersyukur mendengarnya. Jika mereka berjanji dengan alasan ingin yang terbaik untuk Lala, mungkin Arya akan sedikit meragukan. Bisa saja mereka berhenti di tengah jalan karena kesulitan melewati tahap-tahap penyelidikan.
Akan tetapi, ini bukan hanya tentang kebaikan Lala, tapi juga Alvina. Gadis itu pasti tidak akan menyerah sampai akhir. Sesulit apa pun rintangan di depan nanti, Alvina pasti akan senantiasa berjuang. Karena manusia mana yang rela reputasinya rusak karena tuduhan tak berdasar?
"Ya sudah, kalau begitu kalian semua ikut saya." Arya menuntun ketiga orang itu memasuki rumah. Sedangkan Hanif hanya bisa diam di tempatnya.
***
To Be ContinuedHola, i'm back! Bentar lagi aku bakal posting prolog ceritaku yang baru. Jangan lupa mampir, ya!
See you!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...