Tiga puluh menit berlalu. Waktu istirahat sudah selesai. Namun, hanya ada lima tanda tangan yang Ica, Agatha, dan Lala kumpulkan. Meski begitu, semangat Ica tak kunjung padam. Gadis itu bertekad untuk menjadi pemenang di tugas tambahan kali ini. Atau paling tidak, kedua sahabatnya.
"Eh, katanya anak OSIS pada ngumpul di Ruang OSIS loh. Kita ke sana aja, yuk!"
Gerombolan perempuan mulai berlarian menuju Ruang OSIS yang terletak di seberang UKS. Begitu pula dengan Ica yang langsung menarik tangan kedua sahabatnya untuk ikut berlari. Dia benar-benar tidak ingin keduluan.
Suasana di depan ruang OSIS sudah sangat rusuh. Tak berbeda jauh dengan kondisi gedung DPR kala dilaksanakan demonstrasi terhadap RUU. Sungguh sesak.
Sayangnya, Lala sangat benci dengan kericuhan. Tidak, maksudnya Lala membenci harus ikut campur dalam kericuhan. Dia hanya senang memperhatikan, bukan ikut-ikutan.
Itu sebabnya saat Ica menerobos gerombolan agar sampai di depan pintu, Lala memilih kabur. Berlari pergi, berharap lepas dari pengawasan Ica. Sungguh, gadis bungsu Rabbani itu jauh lebih memilih tidak bertemu kembali dengan si Ketua OSIS daripada harus berdesak-desakan dengan puluhan orang seperti tadi.
Lagipula, apa untungnya bertemu dengan lelaki tadi? Toh, Lala adalah seseorang yang tidak mudah jatuh cinta. Jadi tidak mungkin jika gadis itu jatuh ke dalam pesona si Ketua OSIS hanya dalam satu pertemuan. Iya, kan?
Lala masih terus berlari. Antisipasi jika saja kawannya tadi melihat dan mengejarnya. Setidaknya Lala harus bisa hilang tanpa jejak untuk sementara. Jika tidak, Ica mungkin akan menariknya kembali menuju kerumunan.
Huh, kemungkinan yang menyeramkan.
Di tengah keadaan genting ini, Lala merutuki perutnya yang justru keroncongan. Tidak bisakah menunggu waktu makan siang? Saat ini ia tak bisa ke kantin atau Ica akan menemukannya. Ya walaupun Lala tahu bahwa ini salahnya sendiri. Salahnya yang bangun kesiangan hingga tidak sempat untuk sarapan sebelum menjalani hari yang melelahkan.
Langkah yang tadinya cepat kini mulai memelan. Energinya sudah habis. Rasanya, pening sekali. Sepertinya Lala benar-benar harus makan sekarang jika tidak ingin jatuh sakit.
Lala membungkukkan badannya. Kedua tangannya bertumpu pada lutut. Lelah sekali, padahal hanya berlari sekitar dua ratus meter.
Tangan kanan gadis itu tergerak untuk memegangi bagian kiri atas perutnya. Rasanya, sakit sekali. Kedua kakinya kini bahkan mulai gemetar. Ah, Lala menyesal menyepelekan sarapan.
Dengan kepala yang sudah mulai berkunang-kunang, juga telinga yang mendengar dengungan keras. Lala tak lagi mampu menahan dirinya sendiri. Maka tersungkur lah ia ke depan.
Tapi, mengapa rasanya tidak sakit? Apa ada tembok di depannya? Tembok apa yang selembut ini hingga tak ada rasa sakit saat menabraknya?
Saat merasakan sebuah tangan merengkuhnya, Lala baru menyadari bahwa yang ditabraknya adalah seorang manusia. Entah siapapun itu, Lala sama sekali tidak peduli. Yang pasti dia adalah orang baik sebab bersedia membantu gadis itu.
Si bungsu Rabbani mencoba mendongak. Mencari tahu siapa yang membantunya. Sayangnya, sebelum matanya dapat melihat dengan jelas, semuanya berubah menjadi gelap. Lala kehilangan kesadarannya.
🌷🌷🌷
Kedua kelopak mata yang sedari menutup kini terbuka. Sang empunya sontak meringis merasakan pening yang luar biasa menyerangnya. Ditambah lagi dengan kebingungan mengenai apa yang baru saja terjadi padanya.
Mencoba menetralkan rasa sakit, Lala memejamkan mata sejenak. Barulah kedua matanya kembali terbuka saat sudah menyesuaikan keadaan.
Ruangan yang didominasi warna putih, tapi tidak tercium bau obat-obatan. Justru harum maskulin seperti parfum pria mendominasi. Ditambah lagi dengan ranjang berukuran king size. Sudah pasti tempat ini bukanlah Unit Kesehatan Sekolah.
Ah, apa yang terjadi dengannya tadi? Mengapa bisa Lala terdampar di tempat yang entah apa ini?
Suara pintu terbuka mengalihkan fokus seorang Aqila Azzahra dari pemikirannya tadi. Seorang laki-laki masuk dengan nampan di tangannya. Membuat gadis yang masih terduduk di ranjang itu melotot kala menyadari siapa lelaki itu.
"Udah bangun?" tegur lelaki itu.
Lala berusaha memperbaiki raut wajahnya. Seingatnya, lelaki yang berada di depannya saat ini adalah Ketua OSIS. Yang berarti lelaki itu bernama Andika Mahardika, sesuai dengan tabel yang dicatatnya kemarin.
Untuk memastikan, gadis kelahiran tahun 2003 itu menatap nama dada yang tertempel pada baju si Ketua OSIS. Dan seperti perkiraannya, nama lelaki itu adalah Andika Mahardika.
Terlalu fokus dengan kegiatannya, Lala tak menyadari jika Andika mengikuti arah pandangnya. Lelaki itu terheran sebab tidak mendapat jawaban. Sebelum kemudian menyadari apa yang membuat gadis itu tak menjawabnya.
Andika terkekeh geli. "Gue Andika Mahardika, biasa dipanggil Dika. Ketua OSIS di sini. Salam kenal."
Terpergok. Malu sekali rasanya. Tapi Lala memilih untuk menjaga sikapnya. Akan lebih memalukan jika dia terlihat salah tingkah. Itu sebabnya dia memilih menerima makanan yang diberikan oleh si Ketua OSIS.
"Oh iya, ini aku di mana, Kak?" tanya Lala. Dia baru ingat bahwa dia berada di tempat yang begitu asing.
"Ini Ruang Ketua OSIS. Jarang dipake sih, soalnya nggak enak juga sendirian di sini. Tapi berhubung Ruang OSIS lagi rame banget ya pada ngungsi ke sini." Dika menduduki kursi di samping tempat tidur.
Lala hanya mengangguk. SMA Major adalah salah satu sekolah elit. Bukan hal aneh jika Ketua OSIS memiliki fasilitas semewah ini.
"Tadinya gue mau bawa lo ke UKS, tapi ngeliat kondisi yang kurang kondusif, kayaknya lebih baik gue bawa lo ke sini."
Lala memilih memakan buburnya tanpa menjawab. Dia tahu ini tidak sopan. Sayangnya, dia benar-benar tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Namun, Lala jadi teringat sesuatu. Kalau anak-anak OSIS mengungsi di sini, bukankah lebih mudah untuk meminta tanda tangan mereka? Eh, tapi 'kan mereka mengungsi karena tidak ingin dimintai tanda tangan. Apa iya mereka akan memberi?
"Kenapa? Kok bengong?" Ditegur seperti itu, Lala memilih mengutarakan pikirannya.
"Itu, Kak. Berarti anak OSIS di sini semua dong? Kalau minta tanda tangan mereka boleh nggak ya?"
Andika terkekeh kecil. Tangannya mengusap kepala gadis di hadapannya. Mengapa dia menggemaskan sekali sih?
"Boleh kok. Samperin aja ke depan. Kalau mereka nggak mau ngasih, bilang aja ke gue. Biar gue yang mintain." Andika tersenyum manis. Menampilkan sepasang lesung di kedua pipinya.
Lala terkesima. Seumur hidupnya, rasanya ini adalah pertama kalinya ia merasakan debaran keras di jantungnya. Perasaan meletup-letup saat lelaki itu tersenyum manis. Juga perasaan bahagia yang teramat kala dapat berinteraksi dengan seorang Andika.
Lala bukanlah orang bodoh. Jadi, detik itu juga dia langsung menyadari. Dirinya telah jatuh sedalam-dalamnya dalam pesona seorang Andika Mahardika.
***
To Be Continued
Yang udah baca DBSI pasti udah tau, kan nantinya mereka berdua bakal kayak gimana? Yang belum baca bisa baca dulu hehe.
Main couple kita sudah terlihat, soon second couple ya. Ada yang tau ini siapa?
See You!
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Teen Fiction[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...