17. Indirect Confession

31 3 0
                                    

Bagi dua orang yang kini tengah berbincang, tak ada tempat yang lebih nyaman selain rooftop. Keduanya sering kali memilih menghabiskan waktu di tempat ini kala sedang tak ingin terganggu hiruk pikuk kantin. Juga mengasingkan diri dari teman-teman mereka.

Alvina kini menatap laki-laki yang tengah bersandar di sofa. Salah satu fasilitas yang lelaki itu sumbangkan untuk ditempatkan di rooftop. Dengan mata tertutup, laki-laki itu menikmati angin sepoi-sepoi yang menerpa wajahnya.

"Capek banget sumpah, belakangan ini gue pulang malem terus gara-gara ngurusin event bulan depan," keluh Joseph. Lelaki itu memijat kepalanya yang sedikit pening sebab kekurangan jam tidur.

Melihat Joseph begitu kelelahan, Alvina berpindah tempat ke sebelahnya. Menarik kepala lelaki itu untuk bersandar di pundaknya. Setidaknya, untuk kali ini saja Alvina ingin menjadi berguna untuk sahabat lelakinya.

Di antara sahabat Dika, hanya Joseph yang mampu membuat Alvina merasa nyaman. Laki-laki itu baik, juga tidak banyak protes. Tidak seperti Joshua yang banyak bicara, atau Suryo yang begitu dingin.

Joseph hadir sebagai matahari di kehidupan Alvina yang gelap. Jika Dika menuntunnya dalam kegelapan, maka Joseph menerangi jalannya. Laki-laki itu tidak pernah membantunya secara langsung. Hanya saja segala sesuatu yang dilakukannya begitu berpengaruh bagi kehidupan Alvina.

Maka dari itu, untuk kali ini saja. Ia ingin menjadi berguna untuk mataharinya.

Alvina sedikit terkejut saat tangan Joseph mulai merambat di perutnya. Menggapai satu tangannya yang lain yang ternyata sudah menjalar ke sisi pinggang Alvina. Gadis itu hanya membiarkan. Lagipula Alvina merasa nyaman berada di pelukan Joseph.

Saat Joseph memindahkan kepalanya menjadi bersandar di dada, Alvina memilih melingkarkan tangannya ke leher Joseph. Memeluk balik lelaki itu. Menumpukan kepalanya di atas kepala Joseph.

"Enak, mau peluk aja terus. Kalau perlu setiap hari," rengek Joseph.

Alvina terkekeh. Dia senang Joseph merasa nyaman di pelukannya. Alvina merasa dibutuhkan.

"Iya, nanti kalau pengen peluk bilang aja. Al pasti bakal peluk." Pelukan keduanya semakin erat. Menenggelamkan mereka dalam kenyamanan semu yang entah kapan akan berakhir.

Bagi Alvina, ini adalah pelukan ternyaman seumur hidupnya. Gadis itu bahkan tak ingat apakah Dika ataupun orang tuanya pernah memeluknya. Jika pernah, mungkin pelukan itu tak sehangat ini. Hingga sama sekali tak membekas dalam ingatannya.

Sejenak, Alvina melupakan segala hal tidak baik mengenai hidupnya. Sibuk menikmati kehangatan dan kenyamanan yang diberikan Joseph. Juga wangi petrichor khas parfum laki-laki yang berada dalam pelukannya.

Ah, jika Tuhan mengizinkan, bolehkah Alvina meminta satu hal?

Jika boleh, Alvina hanya ingin meminta agar waktu dihentikan barang sejenak. Agar ia bisa benar-benar bisa melupakan segala penderitaan dan rasa sakit yang ia alami. Juga supaya ia bisa menikmati rasa nyaman ini sedikit lebih lama.

Beberapa waktu belakangan ini, Alvina diterpa rasa bingung. Waktu itu, ia benar-benar tidak rela jika Dika begitu dekat dengan Lala. Oleh sebab itu, ia mengambil kesimpulan bahwa hatinya telah jatuh kepada lelaki itu.

Namun, tiba-tiba saja Joseph datang. Seakan sengaja dikirim oleh Tuhan untuk meruntuhkan kepercayaannya. Membuatnya goyah akan pemilik hati yang sebenarnya.

Tapi Alvina tahu. Menjatuhkan hati kepada Joseph hanya akan membawa petaka kepadanya juga lelaki itu. Firda tidak akan setuju. Itu sudah hal yang mutlak, dan Alvina tidak ingin Joseph tersakiti pada akhirnya.

Tersadar, Alvina segera melepas rengkuhannya. Dia tidak boleh begini. Tak boleh memberi harapan jika tidak ingin memberi kepastian.

Joseph yang merasa kehilangan kenyamanan terbangun. Tadinya ia sudah hampir terlelap, hanya saja tiba-tiba Alvina melepas pelukan mereka yang sangat nyaman tadi. Joseph dibuat kesal karenanya.

"Kenapa dilepas sih?!" amuk Joseph.

Alvina meringis tak enak. Bukannya apa, Alvina hanya ingin menjaga hatinya juga laki-laki di sampingnya. Jangan sampai mereka terjebak dalam lingkaran cinta tanpa restu.

"Nggak enak kalau dilihat orang, Kak. Ini masih di area sekolah," alibinya.

"Nggak akan ada yang lihat, Al. Ruangan ini udah dikunci pas kita masuk tadi!" Joseph merengut kesal.

Entah mengapa, dia tidak suka saat Alvina melepas pelukannya. Dia merasa bahwa gadis itu tidak mau dekat dengannya. Sangat berlebihan, tapi itulah Joseph.

"Yaudah, gue ngerokok aja." Joseph berdiri. Menuju pinggiran rooftop. Berniat  merokok di sana.

Alvina resah. Dia tidak suka melihat Joseph merokok. Apalagi ini area sekolah, lelaki itu bisa terkena masalah.

"Kak, lo gila? Lo ngerokok di situ nanti keliatan!" Alvina segera berdiri menyusul Joseph.

Gadis itu merebut rokok di gengaman tangan Joseph. Menarik lengan Joseph untuk duduk kembali duduk di sofa. Untungnya, lelaki itu tidak menolak.

"Habisnya lo nggak mau peluk gue. Gue nggak bisa tidur jadinya. Yaudah gue ngerokok aja biar nggak stres," jawab Joseph santai. Lelaki itu sama sekali tidak merasa bersalah. Justru senang karena pasti setelah ini Alvina akan mengalah padanya.

"Kak ... nggak gitu," rengek Alvina. Gadis itu benar-benar bingung harus berbuat apa.

Pada akhirnya, Alvina mencoba untuk mengalah. Membawa kepala Joseph untuk bersandar pada pundaknya. Hanya pundak, tidak lagi di dada seperti tadi. Setidaknya, posisi mereka saat ini tidak terlalu intim. Dan menurutnya masih aman untuk ukuran sepasang sahabat.

"Gini aja ya, Kak. Nggak akan ada yang mikir macem-macem kalau begini."

Joseph menurut. Walaupun dalam hatinya, ia sangat tidak puas dengan posisi ini. Entahlah, Joseph sebenarnya tidak suka dipeluk ataupun memeluk saat tidur. Hanya saja pelukan Alvina begitu nyaman hingga ia ingin mendapatkannya lagi.

Joseph membawa tangan Alvina ke atas kepalanya. Meminta perempuan itu mengelusnya. Awalnya Alvina menolak karena posisi mereka akan kembali seperti tadi, tapi rengekan Joseph membuatnya tidak tega dan hanya menurut.

Joseph tersenyum picik. Alvina ini, semoga saja kalau ada yang memberi permen di jalan, dia tidak menerimanya. Bagaimana bisa ada seorang gadis yang diciptakan selembut ini. Membuat jiwa ingin melindungi Joseph berkobar.

Beberapa menit kemudian, Alvina mulai lengah. Gadis itu terlena dengan kenyamanan yang ada. Dengan sigap Joseph mengubah posisinya.

"Kak! Apa sih, jangan gini ih. Nanti diliat orang." Alvina berusaha memindahkan kepala Joseph dari pahanya.

Joseph saat ini sedang berada pada posisi menidurkan kepalanya di paha Alvina. Dengan tubuhnya menghadap gadis itu, sehingga wajahnya otomatis menghadap perut Alvina, sedikit membuat gadis itu geli. Kedua tangannya ia lingkarkan dengan erat ke pinggang gadisnya.

"Udah diem. Latihan buat nanti kalau kita udah nikah terus lo hamil, gue bakal gini terus."

Ucapan Joseph membuat Alvina terdiam. Apa ... maksudnya? Apakah laki-laki itu benar-benar mencintainya? Jika iya, mungkin Alvina harus segera mengakhiri semuanya secepatnya.

Sedangkan Joseph masih tersenyum, mengira Alvina diam karena luluh padanya.

***
  To Be Continued

Jadi kalian ada di tim mana nih?

#Dikala (Dika-Lala)

#Dikana (Dika-Vina)

#JoVina (Joseph-Vina)

See You!

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang