Gebrakan pintu terdengar kala tiga orang lelaki masuk ke dalam. Mereka segera mengedarkan pandangan dan menemukan dua orang perempuan yang tengah saling berpelukan. Seorang gadis tampak menangis, seorang lagi menenangkan.
"Vina! Maaf lama, Dika goblok banget soalnya." Joseph segera menghampiri Alvina.
"Kok gue sih?" sewot Dika. Mengapa jadi ia yang disalahkan.
"Ya terus siapa lagi? Udah tau sekolah ini luas, malah asal matiin telpon aja pas Alvina bilang gudang. Padahal gudangnya nggak cuma satu." Joshua menimpali dengan kaki yang mengarah menuju tempat Alvina.
Joshua bukan tipe orang yang mudah berempati, tapi melihat keadaan Annisa sekarang rasanya kebaikan hatinya meronta-ronta. Maka dengan perlahan ia genggam tangan gadis itu. Mengelusnya pelan, berharap perlakuannya dapat membantu.
Dapat Joshua rasakan tangan itu bergetar. Lalu ditarik paksa. Seperti menghindari sentuhannya.
"Pergi ... pergi ...," lirih Annisa. Gadis itu mulai menjambak rambutnya sendiri. Membuat Alvina kewalahan menenangkannya.
Annisa semakin berontak. Gadis itu mulai memukuli tubuhnya sendiri. Sembari berteriak seperti orang gila.
"Jangan sentuh tubuh gue, pergi! PERGI!"
"Tolong ..."
Melihat keadaan Annisa, Alvina tak dapat lagi berpikiran positif. Gadis itu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Terisak karena tak tega dengan keadaan sahabatnya. Membuat Joseph menghampiri dan memeluknya.
Sedangkan Joshua perlahan mendekati Annisa. Gadis itu mungkin trauma, tapi tak ada yang lebih baik daripada menenangkannya dengan segera. Joshua hanya perlu membuat Annisa merasa bahwa dia dalam keadaan aman.
"Annisa, calm down. Look at me! Ini gue Joshua, temennya Dika. Lo nggak perlu takut. Gue nggak jahat kok. Lo kenal gue, kan?" Melihat Annisa yang terdiam, Joshua segera mengambil tindakan.
Dipeluknya Annisa, tanpa peduli pemberontakan gadis itu. Menahan kedua tangannya. Joshua berusaha terus membisikkan kalimat-kalimat positif.
"Lo aman, Annisa. Ada gue. Jangan takut lagi. Siapapun yang nyakitin lo, bakal gue bales." Perlahan, Annisa mulai tenang. Tubuhnya kini melemas, membuatnya bertumpu pada Joshua.
Joshua tak keberatan, justru inilah tujuannya. Setidaknya ini lebih baik ketimbang melihat seorang gadis berteriak ketakutan seperti tadi.
Joshua menoleh ke arah Alvina. "Lo gapapa, kan, Vin? Kalau lo sehat, ke kelas aja duluan. Biar Annisa gue yang bawa ke UKS."
Tanpa persetujuan, Joshua menggendong Annisa ala bridal. Meninggalkan tiga orang manusia yang terdiam. Sibuk dengan perasaan masing-masing.
🌷🌷🌷
Annisa terbangun dua jam kemudian. Kepalanya pening bukan main. Dia bahkan tak ingat mengapa bisa berada di dalam ruangan yang entah di mana ini.
Tak lama, suara gorden yang disibakkan terdengar. Seorang gadis muncul dari sana. Membawa segelas teh hangat. Ah, sepertinya Annisa tahu di mana ia berada saat ini.
"Ini, diminum dulu," kata seorang gadis yang baru muncul itu pada Annisa.
Kali ini, Annisa tidak ingin mengeluarkan sikap juteknya. Kepalanya sudah terlalu pening. Jangan sampai perbuatannya justru membuat orang lain urung menolongnya.
"Kenapa gue ada di sini?" tanya Annisa. Gadis itu menoleh menghadap seseorang yang berdiri di samping brankar.
"Kalau itu, gue juga nggak tau, Kak. Yang jelas tadi Kak Joshua yang bawa ke sini. Terus dia pamit bentar mau beli makan." Annisa mengangguk mendengar penjelasan yang cukup singkat itu.
Sekarang, pertanyaannya adalah mengapa bisa ia dan Joshua berada dalam satu lingkup yang sama? Sedangkan dekat pun tidak. Annisa bahkan tahu betul secuek dan sejutek apa Joshua pada seseorang yang bukan sahabatnya.
"Oh, udah sadar." Suara itu membangunkan Annisa dari lamunannya.
Joshua sepertinya baru kembali dari kantin. Lelaki itu membawa dua bungkus makanan. Tumben sekali, biasanya Joshua tidak suka makan banyak.
Begitu Joshua duduk di kursi samping brankarnya, lelaki itu langsung membuka sebuah styrofoam, sedang yang satu lagi ia letakkan di nakas.
"Lo mau makan sendiri atau disuapin?" Annisa terkesiap begitu Joshua mengajaknya bicara.
"Lo ... ngomong sama gue?"
Pertanyaan bodoh. Sudah pasti Joshua berbicara padanya. Annisa merutuki mulutnya yang tak bisa diajak bekerjasama.
Namun, Joshua justru terkekeh. "Ternyata cewek jutek kayak lo bisa gemesin juga ya."
Annisa tak tahu serangan apa yang didapatnya barusan. Yang pasti jantungnya tiba-tiba berdetak kencang. Wajahnya memanas tanpa alasan. Apa mungkin ia terkena alergi? Tapi alergi apa?
"Okay, karena lo nggak jawab, biar gue suapin aja." Annisa sekali lagi dibuat terkejut oleh perlakuan Joshua. Dan entah berapa kali lagi ia akan terus dikejutkan.
🌷🌷🌷
Makan malam berlangsung seperti biasanya. Tak ada pembicaraan, hanya keheningan yang mengiringi makan malam kali ini. Meja yang diisi oleh tiga orang menyebabkan suasana begitu sunyi.
Bagi Alvina, suasana ini sudah biasa. Ia sudah menjalani kehidupan seperti ini dari kecil. Hanya saja kali ini ia merasa gelisah sebab ada hal yang ingin dikatakannya.
Selesai dengan makanannya. Alvina mulai membersihkan mulutnya dengan tisu. Kemudian membereskan peralatan makannya.
Semua itu ia lakukan dengan lambat. Sembari mencoba mempersiapkan diri dengan respon orang tuanya. Dia benar-benar was-was akan respon keduanya.
"Pa, Alvina butuh sesuatu," ungkap Alvina pada akhirnya.
Haidar menaikkan salah satu alisnya. Sedikit heran karena selama ini Alvina sama sekali tak pernah meminta kepadanya. Namun, ia justru penasaran, sepenting apakah 'hal' itu hingga Alvina perlu repot-repot meminta kepadanya?
"Kamu mau apa?" tanya Haidar. Sedangkan Firda hanya menyimak pembicaraan anak dan suaminya.
"Aku punya temen, namanya Annisa Wati. Aku mau Papa cari tau tentang apa yang udah terjadi sama dia sampai menimbulkan trauma." Alvina berucap lugas.
Haidar mengubah posisi tangannya menjadi menopang dagu. Ternyata hanya permintaan kecil. Sesuatu yang akan ia dapatkan dengan mudah dari bawahannya.
Tapi ayah dari Alvina itu jadi penasaran. Apa yang terjadi terhadap putrinya? Sepertinya ia sudah terlalu abai hingga tak mengetahui apapun tentang darah dagingnya sendiri.
Kalau dilihat-lihat, nama teman Alvina itu tidak ada marga di belakangnya. Yang berarti bukan berasal dari kelas atas. Mengapa gadis itu mau? Apa ia harus memperketat pengawasan terhadap putrinya? Ia tidak ingin putrinya bergaul dengan kalangan bawah dan berakhir dimanfaatkan.
Ah, sudahlah. Bukan urusannya juga.
"Apa yang Papa dapat kalau membantu kamu?"
Sudah Alvina duga. Semua tidak akan ia dapatkan secara cuma-cuma. Harus ada bayaran dari setiap bantuan yang orang tuanya berikan.
Dulu, mungkin mudah memberikannya. Ia hanya perlu mendapat nilai matematika dan IPA terbaik di kelasnya. Atau setidaknya memasuki tiga besar peringkat paralel. Hanya saja, semua itu tak ada artinya sekarang karena ia berada di jurusan IPS.
"Papa bisa minta apa aja. Alvina bakal nurut."
Dan Alvina tidak tahu, bahwa permintaannya kali ini mungkin saja akan membawa petaka di masa depan.
***
To Be Continued"Aku hanya ingin melindungi mereka yang berada di dekatku. Tanpa menyadari bahwa akibatnya akan melibatkan orang lain."—Alvina Alya Alexandrina
KAMU SEDANG MEMBACA
A Reason
Roman pour Adolescents[Sequel Di Balik Sebuah Imajinasi] Menceritakan kisah dari sudut pandang berbeda. Alvina, seseorang yang selama ini dianggap menjadi antagonis dalam kisah hidup Lala ternyata menyimpan kenyataan pilu dalam hidupnya. Dika adalah satu-satunya tumpuan...