32. Tak Bisakah Aku Saja?

17 2 0
                                    

Alvina mengerjapkan kedua matanya. Seketika pening mendera kepalanya. Rasanya sangat ... dingin?

Sejak membuka mata, dia tahu ini bukan rumahnya. Tapi ia sama sekali tidak bisa menebak tempat apakah ini. Tempat ini begitu asing.

Alvina berusaha menguatkan dirinya. Mencoba mengubah posisinya menjadi duduk. Namun, gadis itu justru terguling dari atas kasur.

Pintu terbuka, menampilkan sosok Joseph yang terlihat panik. Mungkin karena suara benturannya dengan lantai tadi. Ah, Alvina jadi merasa bersalah.

"Kak Joseph yang nolongin gue?" tanya gadis itu.

Sebenarnya, Alvina sudah tahu apa jawabannya. Hanya saja dia ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Di sisi lain, Joseph mengernyitkan kening. "Lo lupa? Kan lo sendiri yang yang telpon gue."

Tanpa kata, Joseph menggendong Alvina. Mengembalikan gadis itu ke atas ranjang. Membuatnya terkejut sejenak, lantas memilih untuk mengalungkan tangannya ke leher Joseph.

Sampai di kasur, Alvina tak kunjung melepaskan rangkulannya. Gadis itu malah sibuk memandangi wajah favoritnya. Yang jika dipandang lebih dekat begini, semakin tampan rupanya.

Joseph yang merasa heran pun menoleh. Menatap gadis yang kini menatapnya lekat. Mata itu, sejujurnya Joseph rindu untuk melihatnya lamat-lamat.

Namun, sedetik kemudian Joseph memilih melepaskan tangan Alvina dari lehernya. Dia tidak ingin khilaf. Bagaimanapun, dia adalah seorang laki-laki. Berada dalam posisi yang begitu dekat dengan seorang gadis tentunya menimbulkan sebuah perasaan asing bagi remaja sepertinya.

Perasaan asing yang sebagian orang kenal dengan ... gairah?

Joseph memilih memeluk gadisnya. Menenggelamkan kepala gadis itu di dadanya. Posisi ini lebih aman daripada tadi.

"Gue nggak lupa. Nggak akan pernah lupa. Makasih ya, Kak. Kalau nggak ada lo, mungkin gue udah mati sekarang," jujur Alvina.

Joseph menatap tajam gadis di dekapannya. Apa-apaan itu? Dia tidak suka seseorang yang masih hidup membahas tentang kematian.

Joseph menyentil mulut gadisnya. Membuat gadis itu mengaduh kesakitan. Satu tangannya mengelus bibir ranumnya.

"Ih jahat banget sih! Kenapa pakai sentil-sentil segala?!" sentak Alvina kesal.

"Makanya jangan bahas-bahas mati! Pamali tau!" ketus Joseph balik.

Keduanya kembali berpelukan di atas ranjang. Tanpa sepatah kata pun terucap. Mungkin bagi mereka, keheningan adalah kenyamanan.

🌷🌷🌷

Mimpi indah menghampiri Dika semalam. Mungkin rasa bahagia yang tak kunjung pudar setelah pergi dengan Lala adalah penyebabnya. Bahkan hingga pagi menjelang, Dika tak kunjung memudarkan senyum.

Seperti kebanyakan anak muda lakukan di zaman sekarang, Dika langsung membuka ponselnya setelah bangun dari tidur. Niatnya sih, dia ingin tahu apakah ada notifikasi dari sang pujaan hati. Namun, yang didapatkannya justru keterkejutan atas notifikasi panggilan tak terjawab dari Alvina.

Kapan Alvina meneleponnya? Apa yang terjadi dengan gadis itu? Apa ibunya menyiksanya lagi?

Tanpa pikir panjang, Dika menelpon balik teman kecilnya itu. Sayangnya tak ada nada sambung yang terdengar. Hingga telepon ketiga, masih tak ada balasan. Sungguh, dia bingung harus menghubungi siapa.

Dika tak mungkin menghubungi Firda, karena hal itu tentu saja akan menimbulkan kecurigaan. Dia tak ingin keputusannya menjadi boomerang untuk Alvina.

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang