58. Barang Bukti

22 2 0
                                    

Tidak ada hal yang menarik di kamar milik Lala. Kamarnya sangat rapi dengan suasana kalem khas gadis itu. Namun, ada satu hal yang membuat Dika, Hanif, dan Arya merasa emosional kala memasukinya. Aroma Lala masih pekat tersimpan dalam kamar itu. Seolah dia memang berada di sana. Menyambut lima orang yang datang ke kamarnya.

"Ini liontinnya." Arya memberikan sebuah kalung dengan liontin kunci. Dulu, Arya tidak mengerti kenapa Lala memberinya kalung dengan liontin kunci. Tapi kini dia mengerti, Lala memberinya akses untuk membuka rahasianya.

Dika adalah orang yang mengambil kunci itu. Dia bergegas membuka laci bawah meja belajar milik gadisnya. Di sanalah dia menemukan sebuah buku dan flashdisk.

"Cuma ada ini aja," kata Dika sembari mengeluarkan dua benda yang ditemukannya.

"Kalau begitu—"

"Ada apa ini?" Belum sempat Joseph menyelesaikan perkataannya, sebuah suara menyela.

Cesya dan Ivan masuk ke kamar Lala. Terheran-heran sebab ada tiga orang asing yang memasuki kamar si bungsu. Padahal, ruangan itu jelas ekslusif. Kamar milik bungsu kesayangan keluarga Rabbani itu tidak boleh dimasuki sembarang orang.

"Kenapa ada tiga orang asing di sini? Kenapa mereka dibolehin masuk?" Cesya, ibu dari Lala mulai berteriak.

"Cesya, tenang!" pinta Hanif. Sayangnya, Cesya yang keras kepala itu tentu saja tidak mau menurut.

"Tenang gimana?! Kamu mau aku tenang gimana, hah?! Terakhir kali aku diam, aku kehilangan anakku." Teriakan menggema di sepenjuru ruangan.

Hanya Hanif yang mampu memahami perkataan Cesya. Sebab hari itu, hanya ada tiga orang di rumah. Hanya ada Hanif, Cesya, dan Lala.

Kemudian insiden itu terjadi. Insiden yang menjadi penyesalan terbesar bagi dua sosok orang tua itu. Sesaat kemudian, kabar duka menghampiri.

Lala kecelakaan dan kondisinya kritis.

Tak ada yang tau kenapa Lala bisa kecelakaan. Menyambangi sebuah jembatan besar di sore hari sepulang sekolah bukanlah sesuatu yang biasa dilakukan. Apalagi Lala pergi ke sana sendirian.

Namun bagi Cesya dan Hanif, semuanya masuk akal. Sebab mereka tahu apa yang sebelumnya terjadi. Mereka tahu kenapa Lala pergi ke sana.

"Tante, saya mohon tenang. Kami di sini ada untuk menuruti permintaan Lala. Lala yang minta kami datang ke sini dan melihat ke lemarinya," lerai Dika.

"Permisi, ada yang punya laptop nggak?" Semua atensi langsung beralih ke pemilik suara.

Alvina, gadis itu sedari tadi memandangi dia benda yang dia dapat dari laci milik Lala. Gadis itu baru berani membuka suara setelah keadaan cukup tenang.

"Tunggu sebentar." Arya kemudian berlari ke arah kamarnya yang cukup dekat dari Lala. Kemudian kembali dengan membawa sebuah laptop canggih keluaran tiga bulan lalu.

Arya menyalakan laptopnya. Kemudian meletakkannya di ranjang. Jangan tanya kenapa tidak di meja belajar saja, sebab lelaki itu tidak kepikiran. Dia memilih spot terdekat.

Alvina menyerahkan flashdisk milik Lala kepada Arya. Kemudian lelaki itu dengan cepat memasangnya. Sayangnya, isi dari flashdisk itu hanyalah karya-karya milik Lala.

"Nggak ada apa-apa di sini," kata Arya.

"Permisi, Kak. Boleh aku yang cari?" tawar Alvina.

Mendengar tawaran itu, Arya langsung mundur. Mungkin teman dari Lala itu akan menemukan sesuatu yang Lala sembunyikan. Sebab biasanya, perempuan lebih teliti dibanding laki-laki.

Benar saja, Alvina menemukan satu file audio di antara puluhan file dokumen. File itu tak memiliki judul. Tapi kalau dari tanggal disimpan, sepertinya itu tidak lama dari saat kepulangan Lala dari Ibukota.

Alvina terdiam sejenak. Apa ini berarti
... semua yang terjadi pada Lala berkaitan dengan olimpiade yang gadis itu alami? Maksudnya, ada sesuatu yang terjadi kala itu. Hanya saja tidak ada yang menyadari, semua orang mengira keputusasaan Lala disebabkan oleh kegagalannya meraih medali emas.

"Vin, kenapa diem?" tegur Joseph. Lelaki itu menepuk bahu gadisnya pelan.

"Tanggal waktu Lala masukin rekaman ini ke flashdisk, nggak lama setelah dia pulang. Malah kalau nggak salah, ini tanggal dia baru pulang," kata Alvina.

"Terus?" tanya Joseph lagi.

"Itu berarti ada yang nggak beres ketika dia di ibukota. Ada sesuatu yang terjadi di sana. Dengan kata lain, kita nggak cuma harus ngungkapin kasus yang terjadi di sekolah, tapi kita harus menyelidiki apa yang terjadi ketika Lala olimpiade juga." Alvina kemudian menekan tombol putar pada layar.

"Lo bilang pengen balas dendam ke dia 'kan? Yaudah kita lakuin ini bareng-bareng."

"Lo serius? Ini beresiko banget. Kalau ketahuan kita bisa didiskualifikasi."

"Karena itu jangan sampai ketahuan. Gimana sih? Lo bego banget."

Rekaman itu tak memunculkan suara lagi setelahnya. Alvina kira percakapan itu sudah selesai. Sisa waktu audio mungkin terekam saat Lala berusaha mematikan rekaman. Hingga satu suara kembali muncul.

"Jadi ... apa yang harus gue lakuin?"

"Kacauin perhatian Lala. Buat dia fokus sama hal lain buat sementara waktu."

"Supaya dia kalah? Tapi Lala udah belajar dari lama. Walaupun dia nggak fokus sekarang, Lala yang pinter itu tetep bisa menang."

"Gue tau. Jadi selama lo ngalihin perhatiannya Lala, biar gue sabotase peralatan teknis punya dia."

"Emang lo bisa ngutak-atik alat-alat teknis? Lagian bukannya mencolok banget kalau lo pegang-pegang alat punya Lala?"

"Lo emang beneran bego ya?! Tinggal suruh orang apa susahnya."

Setelahnya, rekaman pun berakhir.

Alvina mengernyitkan keningnya. Dia mengenal salah satu suara yang ada di rekaman. Hanya saja yang satu lagi benar-benar asing.

"Siapa aja orang yang ikut nganterin Lala ke ibukota?" tanya Alvina.

Joseph tidak menjawab. Dia tidak tahu masalah ini. Selama ini, fokusnya hanya pada Alvina. Jadi lelaki itu menoleh pada Dika. Ketua OSIS pasti lebih banyak tau.

"Chiquita, anak IPS - 2," jawab Dika.

"Anak IPS - 2 tapi bisa maju sampai nasional? Keren juga dia. Selain dia, apa ada lagi yang ikut nganterin?"

Dika menggeleng. "Cuma guru. Anak olimpiade mata pelajaran lain tanding di hari yang lain. Lo pasti tau tentang jadwal-jadwalnya jadi gue nggak perlu jelasin lebih banyak."

"Kemungkinan besar sih Chiquita dalang dari semua yang terjadi. Mungkin juga suara di rekaman ini itu suara dia, tapi siapa satu lagi? Siapa sekiranya orang yang punya motif kuat buat ngejahatin Lala?" tanya Alvina.

Kali ini, Joseph angkat suara. "Lawannya Lala. Olimpiade kali ini Lala kalah, kan? Mungkin kekalahan itu karena lawannya curang."

Dika setuju. "Apalagi di rekaman mereka jelas ngerencanain sabotase dan ngacauin rencana belajarnya Lala. Pasti nggak jauh dari lawannya Lala pas olimpiade. Lagian Lala 'kan ekhm pinter. Mustahil dia bisa kalah gitu aja."

Alvina menarik napasnya pelan. "Kalau begitu, kita harus cari tau siapa juara olimpiade nasional fisika tahun ini."

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang