51. Hilangnya Kepercayaan

18 3 0
                                    

"Kamu tidak memiliki pilihan lain selain mengakui kesalahanmu, Alvina," kata sang Kepala Sekolah.

"Pak, saya nggak akan mengakui kesalahan yang enggak pernah saya lakukan." Alvina kukuh tidak dengan kebenaran. Lagipula ini masalah harga diri.

"Alvina, tidak ada orang lain yang lebih mencurigakan selain kamu. Berhenti mempersulit sekolah. Saat ini sekolah sedang dikecam atas perundungan dari salah satu siswa, dan itu semua salahmu!"

Alvina mengepalkan kedua tangannya. Dia tidak suka disalahkan atas sesuatu yang bukan perbuatannya. Jangankan kepala sekolah yang bukan siapa-siapanya, bahkan jika ibunya yang berbuat seperti itu, Alvina akan melawan.

"Saya akan mengaku kalau anda punya bukti dan saksi. Pengadilan saja tidak bisa menghukum orang hanya berdasarkan spekulasi, kenapa bapak bisa?"

"Alvina jangan melawan-"

"Saya harus melawan karena saya tidak bersalah, Pak!" sela Alvina.

Kedua tangan yang mengepal di sisi tubuhnya kian mengerat. Wajahnya bahkan memerah. Napas pun jadi menggebu-gebu.

"Saya nggak akan diam saja kalau difitnah seperti ini. Bukan cuma tentang nama baik saya, tapi ini tentang harga diri." Tangan kanan Alvina naik, telunjuknya menunjuk tepat di muka kepala sekolah.

"Alvina, jangan lupa kalau saya adalah kepala sekolah. Jaga sopan santun kamu!" hardik sang kepala sekolah.

Tertawa remeh, Alvina berkata, "Sopan? Kenapa saya harus sopan di saat saya sendiri diperlakukan dengan tidak sopan?"

"Nggak sopan bagaimana? Dari tadi saya berbicara dengan santai. Saya juga tidak menunjuk-nunjuk seperti apa yang kamu lakukan. Saya hanya meminta kamu untuk mengakui kesalahanmu, apa saya salah?" jawab sang kepala sekolah dengan santai.

"Salah, karena saya tidak bersalah. Bagaimana bisa anda dengan seenaknya memanggil orang ke kantor anda, lantas menyuruhnya mengakui kesalahan? Padahal anda tidak memiliki satu pun bukti yang mendukung spekulasi anda."

Sang kepala sekolah menghela napas muak. Merasa malas mendengarkan pembelaan dari siswi di hadapannya. Dalam hatinya, sebenarnya (nama) sama sekali tidak memiliki niatan untuk mengusut kasus perundungan terhadap Lala. Akan tetapi, ini berhubungan dengan kondisi sekolah. SMA Major bisa hancur jika terbukti tidak bisa mengatasi kasus pembullyan ini.

"Sudahlah, Alvina. Apa susahnya mengakui kesalahanmu? Jika kamu mengelak, maka hukumanmu akan lebih berat karena tidak bersikap kondusif."

Alvina menoleh kala mendengar suara lain. Saat itu, Alvina baru menyadari jika bukan hanya dia dan Kepala Sekolah yang berada di ruangan itu. Ada beberapa guru yang juga berada di sana. Tentunya, guru-guru yang sudah pasti akan berpihak kepada kepala sekolah.

"Sekali lagi saya tekankan, saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak saya lakukan. Saya tidak takut dengan hukuman karena saya tidak bersalah," jawabnya.

Salah satu guru itu maju ke hadapan Alvina, lantas menunjuk gadis itu tepat di depan mukanya. "Kamu ini biadab sekali ya? Kamu sudah membunuh teman kamu sendiri secara tidak langsung, tapi masih tidak merasa bersalah. Kamu bahkan dengan tegak berdiri di sini membela diri, sementara Lala sudah tidak lagi dapat melihat dunia."

Guru itu menurunkan tangannya. Menggeleng dengan miris. Menatap Alvina dengan penuh cemooh.

"Kamu iri kan sama Lala? Dia selalu berada di atas kamu. Kamu juga pasti sakit hati karena Dika justru menjadi kekasih Lala. Itu jelas sekali, Alvina. Kenapa kamu masih mengelak?"

Alvina mengepalkan tangannya. Buliran bening mulai membasahi matanya. Sekuat tenaga Alvina mati-matian menahan emosinya.

Apa yang dikatakan guru itu memang benar, tapi tidak sepenuhnya. Alvina merasa iri kepada Lala bukan karena gadis itu selalu berada di atasnya, tapi karena Firda lebih menyukai Lala daripada putrinya sendiri. Alvina juga tak merasa cemburu saat Lala dan Dika menjalin hubungan, hanya saja dia merasa kehilangan sahabat masa kecilnya.

Alvina tak lagi memiliki kekuatan untuk melawan. Gadis itu memilih untuk keluar dari ruang Kepala Sekolah. Dia takut akan menangis di sana. Dia tidak ingin terlihat lemah di depan manusia-manusia itu. Yang ada nanti mereka akan semakin menindasnya.

Alvina memilih untuk singgah sebentar di toilet. Dia tidak yakin bisa menahan emosinya terlalu lama. Jadi gadis itu memilih meluapkannya di salah satu bilik toilet.

Lima belas menit Alvina habiskan dengan tangisan yang kini sudah mereda. Gadis itu tertunduk dalam. Merasa kecewa dengan takdir yang tak pernah berpihak padanya.

Sedari kecil, Alvina tidak pernah mendapat kasih sayang dari kedua orang tuanya. Ibunya sibuk mengagumi anak lain. Sedangkan sang ayah yang baik hati justru sibuk bekerja.

Keluar dari rumah, Alvina dikucilkan karena dianggap tidak punya orang tua. Satu-satunya orang yang mau berteman dengannya adalah Dika. Alvina tidak masalah, dia tetap tegar walaupun mengetahui bahwa dia hanya dimanfaatkan oleh teman-temannya. Baginya, tidak penting apakah orang lain ingin berteman dengannya atau tidak, yang penting Dika selalu ada di sisinya. Naas, persahabatan mereka hancur hanya karena kisah percintaan remaja.

Tak hanya persahabatan yang hancur, kisah cintanya pun begitu. Laki-laki yang dicintainya tak mendapatkan restu dari orang tuanya. Dan yang paling sial, Alvina dijodohkan dengan orang yang sudah memiliki kekasih. Membuatnya berperan sebagai antagonis yang menghancurkan hubungan kedua pemeran utama.

Jika boleh, Alvina ingin meminta satu hal di antara banyaknya keinginannya. Alvina ingin ibunya menyayanginya, atau paling tidak ayahnya bisa lebih sering menghabiskan waktu dengannya. Alvina ingin Dika tidak melupakannya walaupun sudah memiliki kekasih. Alvina ingin, hubungannya dengan Joseph berjalan lancar dan perjodohan itu tidak pernah terjadi.

Jika satu hal saja terkabul, Alvina pasti senang.

Alvina menghapus sisa air mata di pipinya. Bel istirahat sudah berbunyi, Alvina ingin menemui seseorang sekarang. Seseorang yang dia yakini bisa membantunya melawan fitnah dari kepala sekolah.

"Kak Dika," sapa Alvina kala dia berpapasan dengan Dika di depan ruang Ketua OSIS.

Dika hanya diam. Tatapannya tajam meski matanya sembab. Senyum yang biasa dia tebar kini hilang begitu saja.

"Kak, gue mau minta tolong. Kepala sekolah—"

"Lo masih punya muka buat minta tolong sama gue, Alvina?" sela Dika.

Alvina mengerut. Suara Dika terdengar begitu dingin. Apakah lelaki itu masih marah?

"Kak, gue minta maaf soal perjodohan itu. Gue terdesak dan nggak punya pilihan lain."

Dika terkekeh. "Lo bahkan masih bisa pura-pura nggak tau apa-apa ya?"

Alvina terdiam kali ini. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang Dika katakan. Berpura-pura tidak tau lapa?

"Alvina, lo udah bunuh Lala, itu kenyataannya. Nggak perlu ngelak, gue kenal betul lo itu kayak gimana. Dengan lo nerima perjodohan itu aja udah keliatan gimana busuknya lo. Apalagi waktu lo malah senyum pas Lala dibully."

***
To Be Continued

A ReasonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang