55

369 72 2
                                    


















warn! 3k words which is chapter terpanjang yg pernah aku buat. so santai aja ya bacanya. happy reading!! ❤️






































Disibukkan dengan aktivitas kampus kayak ospek, kelas, bahkan makrab, nggak sama sekali bikin Jay lupa buat mencari informasi tentang Abel. Seperti rutinitas, hampir setiap hari mungkin Jay selalu menyempatkan diri buat ngehubungin cewek itu lewat berbagai sosmed. Berharap adanya secuil balasan, tapi ternyata nihil. Begitupun dengan Airi dan Jaydan yang sama-sama nggak merespon satupun chatnya sampai sekarang.

Segala hal udah Jay lakuin untuk nyari keberadaan Abel. Dia bahkan sampai rela dengan sok kenalnya nanya-nanya ke beberapa temen yang pernah lumayan deket sama Abel, semata-mata buat nanyain 'lo masih berkabar sama Abel?' atau 'Abel sekarang kuliah dimana?' dan sebagainya. Dia juga udah coba minta tolong kenalan papanya untuk nyari informasi tentang Abel, tapi sama aja nggak ada hasil. Jejaknya sama sekali nggak tercium siapapun.

Sampai akhirnya satu tahun berlalu pun, Jay masih stuck diposisi ketidaktahuannya ini. Kalo ditanya capek atau enggak, dia capek banget. Pasti. Hampir ditaraf muak bahkan karena harus selalu inget sama cewek yang keberadaannya antah berantah gini.

Semisal dikasih pilihan untuk nunggu atau lupain pun, Jay bakal dengan yakin dan lantang jawab lupain daripada harus nunggu hal yang kepastiannya aja belum tentu jelas kayak gini.

Tapi seperti kata orang-orang yang bilang mulut dan hati belum tentu selaras, Jay juga mengalami itu. Hatinya seolah menghianati lisan dengan selalu membangun harap 'dia pasti bakal pulang suatu hari nanti' dan akan terus nunggu kepulangannya sampai kapanpun.

Karena sekeras apapun Jay coba buat menyibukkan diri, dia bakal selalu inget momen-momennya sama Abel barang sepersekon. Hatinya seakan nggak bisa menutupi fakta kalo sebenernya dia kangen banget sama kehadiran Abel dihidupnya.

Biarpun kesannya alay, tapi Jay bener-bener ngerasa hidupnya hampa tanpa adanya cewek itu disisinya. Yang biasanya selalu ketemu hampir setiap hari, ditinggal dalam waktu lama gini bikin Jay kepalang frustasi. Apalagi tanpa kata pamit.

—–atau sebenernya pamit? Tapi Jay sendiri yang malah nggak menyadari itu. Kata terimakasih, maaf, dan segala tangis Abel untuknya malam itu, apa ini artinya? Dan dengan bodohnya, dia justru menganggap semua yang terjadi malam itu cuma racauan orang mabuk semata.

Huh, such a stupid!

Dia bahkan bukan baru kenal Abel dari hari kemarin, tapi kenapa dia bisa nggak paham sama maksud tersirat dari kode sederhana cewek itu? Dan kenapa juga dia telat sadar? Terlalu telat sampai nggak bisa mencegah kepergian Abel pagi itu.

Jay sampai kecewa sama dirinya sendiri karena nyatanya hubungannya sama Abel nggak sedeket perkiraannya. Masih ada tembok besar yang menghalangi—tepatnya mengelilingi cewek itu, yang seolah menutupi hatinya supaya nggak tersentuh siapapun dari dunia luar. Dan rasa-rasanya, Jay bahkan belum bisa menembus itu barang setengah jalanpun. Abel masih terlalu misterius untuknya. Sampai sekarang.

"Lo masih belum berhenti nyariin Abel?" tanya Jake sambil masih fokus ke jalan.

Sore ini keduanya berada dimobil, membelah jalanan kota yang lumayan padat buat menuju ke rumah Tara. Nggak ada acara penting sih, mereka emang masih sering kumpul bareng gitu beberapa minggu sekali. Masih sering hangout bareng berenam walaupun agak susah nentuin jadwalnya karena mereka beda kampus—kecuali Jay dan Jake. Obviously minus dua karena nggak adanya Nicholas dan juga Abel diantara mereka.

SOLITUDE ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang