Jam menunjukkan pukul lima sore, keadaan di rumah sakit masih sama. Anna masih saja betah tertidur di ranjangnya, Gia tidak mengerti kenapa Anna lebih memilih terus memejamkan matanya dibandingkan melihat wajahnya. Gia sudah tak lagi menatap Anna sepanjang hari, ia baru sadar bahwa mau selama apapun ia menatap Anna, tidak ada pengaruhnya. Ia justru terlihat bodoh. Gia menatap langit jingga dari jendela, langitnya indah.
Saat ini hanya ada Anna dan Gia di ruangan itu, Vira sedang diminta Gia untuk istirahat di rumah. Wanita itu terlihat sangat kelelahan dan banyak pikiran. CL dan Zion juga baru saja meninggalkan ruangan beberapa menit lalu. Mereka membawa banyak obat lalu pergi. Aneh, rumah sakit ini sudah menyediakan obat padahal tapi CL bilang, "Buang saja obatnya dan pakai yang ini. Aku tidak mungkin berniat meracuninya."
Perkataanya membuat Gia tidak bisa menolak. Benar juga, CL tidak mungkin meracuni Anna. Sekarang Gia yakin bahwa CL dan Zion bukanlah orang biasa. Gia tahu itu.
"Gi."
Gia menoleh ke arah samping kemudian menatapnya kaget. Ia memejamkan matanya sesaat untuk bersyukur kepada Tuhan. Doa-doa sepanjang hari ini akhirnya terkabul. Anna sadar. Wanita itu terlihat merintih saat tubuhnya mencoba untuk duduk.
"Jangan dipaksakan," tegur Gia sambil menahan tubuh Anna. Percuma, Anna memberontak dan melanjutkan aksinya. Gia menghela napas dan meninggikan sandaran bantal Anna. Setelahnya Gia kembali duduk sambil menggenggam tangan Anna yang dihias selang infus. Ia terus menatap lengannya itu tanpa mengatakan apapun. Rasanya kaku.
"Kenapa diam? Sariawan?"
Gia mendongak dan melihat Anna yang sedang menatapnya. Wajah Gia terlihat cemas dengan sorot mata yang sendu. Ia sedih. Gia berdiri dan menangkup kedua pipi Anna dan mengecupnya, "Kau membuat aku sangat khawatir. Aku menunggumu kembali, tapi kau terus saja terpejam. Sebenarnya kau mimpi apa sampai mengabaikanku?"
Anna terkekeh mendengar celotehannya, tidak berubah. Ia tetap menjadi kekasihnya yabg cerewet dan menggemaskan. "aku sudah bangun sekitar jam sembilan pagi."
Gia melotot kaget dan meminta penjelasan lebih. "Aku ingin duduk tapi tubuhku terasa sangat sakit. Lalu aku melihatmu tertidur di sampingku. Aku juga sempat bicara dengan bibi tadi pagi," jelas Anna.
Gia berdecak sebal, "Kenapa tidak membangunkan aku, kak?! Kau tahu aku terus menunggumu. Ck, menyebalkan." Anna kembali terkekeh melihat tingkah Gia, ia ingin tertawa lepas tapi ia tahu diri. Jahitan di perutnya masih sangat sakit.
"Janjinya kita sudah aku penuhi, aku kembali."
Gia menghela napasnya napasnya dan tersenyum tipis. "Kau kembali tapi dengan kondisi yang sangat buruk."
Anna menatap lurus ke depan dan menjawab, "Kau hanya meminta ku kembali. Tanpa bilang dalam kondisi seperti apa." Gia diam, Anna benar. Seharusnya Gia meminta Anna kembali tanpa tergores sedikit pun.
Anna menggoyang-goyangkan kaki kanannya, "Yang kiri tidak bisa bergerak." Gia menoleh ke arah kaki Anna yang tertutup selimut.
"Wanita yang menembaknya mungkin juga tidak bisa menggunakan tangan kanannya sekarang," tutur Gia. Anna kembali menatap Gia dengan penuh tanya. Bagaimana Gia bisa tahu bahwa ia ditembak oleh wanita itu.
"Aku menembak tangan kanannya," tambah Gia. Anna sedikit terkejut mendengar itu, "Kau datang ke gedung itu? Bodoh, aku menyuruhmu pulang! Kenapa malah datang dan ikut campur?!" Marahnya.
Gia menenggak segelas air yang ada di meja lalu menjawab, "Ku pikir kau tak akan kembali. Jadi aku mencarimu."
Anna terdiam, Gia menepati ucapannya. Ia mencari Anna. "Aku tidak bisa lagi melihatmu berlumuran darah dan terus merintih. Jangan melakukan hal-hal aneh lagi."
Detik berikutnya Anna paham, Gia bukan hanya mencarinya tapi menyelamatkan nyawanya. "Kau menembak lengannya? Lalu apa yang dilakukan pria di sebelahnya?"
"Menikam ku."
Wajah Anna mendadak kesal, bisa-bisanya GD mencoba melukai Gia. "Tapi CL datang dan menanganinya. Lalu aku membawa tubuhmu yang hampir sskarat."
Anna mendengus, "Lain kali tidak perlu ikut campur. Aku tidak mau kau terlibat lebih jauh dan terluka."
"Lalu aku harus apa? Membiarkan mu meringkuk di lantai lalu mati kehabisan darah?" Sentak Gia. Anna diam, ia tidak bisa menyalahkan Gia, pria itu sudah menjadi penyelamat hidupnya. Tapi sesungguhnya Anna hanya takut, ia takut Gia terluka.
"Aku tidak ingin kehilanganmu," lirih Anna.
"Lalu kau ingin aku yang kehilanganmu? Kau tahu betapa cemasnya aku saat melihat darah terus keluar dari tubuhmu, kak," jawab Gia.
Mereka pun saling terdiam, suasana menjadi sedikit canggung. Anna juga tidak tahu harus membalasnya seperti apa. Karena apa yang dikatakan Gia semuanya benar. "Maaf."
Satu kata itu keluar begitu saja dari mulut Anna, entahlah apa salahnya. Tapi ia kerasa harus meminta maaf. Ini adalah pertama kalinya Anna meminta maaf kepada seseorang setelah sekian lama. Biasanya ia akan angkuh tanpa adanya rasa bersalah. Namun nalurinya kali ini meminta Anna untuk meminta maaf.
To be continue
Vote n comment
Thanks for reading
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN'S MEMORIES
Mystery / ThrillerAnnasya ialah gadis bersorot tajam yang menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. Sosoknya begitu dingin sampai membuat hatinya perlahan membeku. Sampai akhirnya sosok dinginnya perlahan mencair tatkala Algia masuk ke dalam hidupnya dan mulai membongk...