48. Penyelamat II

1 1 0
                                    

Gia duduk di depan ruang Unit Gawat Darurat dengan wajah yang ia topang dengan kedua tangannya. Ia memejamkan matanya, ia lelah dan mengantuk. Namun rasa cemasnya pada Anna membuat rasa kantuknya tertahan. Jam menunjukkan sekitar pukul tiga dini hari, ini sudah lebih dua jam Anna ditangani di dalam sana. Namun dokter belum juga keluar.

Gia merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang yang membuatnya tersentak kaget. Sontak Gia membuka matanya dan mendongak. CL berdiri di depannya sambil menatapnya.

"Anna sudah selesai ditangani. Ia sudah di pindahkan ke ruang lain."

Wajah lelah Gia berubah menjadi wajah bingung, bagaimana mungkin ia tidak tahu bahwa Anna sudah dipindahkan, padahal sejak tadi ia duduk diam di sini. Apakah ia tertidur, Gia bahkan tidak sadar.

"Kau tertidur, mau ku bangunkan tidak tega," tambah CL lalu berjalan pergi. Gia berdiri mengikuti CL.

"Dimana Zion?" Tanya Gia.

"Pergi ke rumah Anna, mengambil beberapa pakaian dan mengabari bibinya," balas CL.

"Kenapa tidak aku saja?" Protes Gia yang selalu ingin dilibatkan.

CL terkekeh dan menjawab, "Kau yakin mau meninggalkan Anna-mu itu?" Gia terdiam, dia benar. Ia tidak mau meninggalkan Anna, bahkan ia tidak bisa. Mereka pun berhenti di salah satu ruangan vip dan masuk ke sana. Gia menghela napasnya saat menghampiri Anna dan duduk di samping ranjang.

Anna tertidur dengan wajah pucat, rambut hitam panjangnya dikuncir berantakan, tangan kanannya diperban dan tangan kirinya diinfus. Perutnya yang sejak tadi mengeluarkan darah juga diperban, begitu juga kakinya. Anna pasti sangat tersiksa.

"Jangan cemas. Tangannya hanya tergores, luka di perutnya memang cukup dalam tapi dokter sudah menjaitnya. Mungkin Anna tidak bisa jalan untuk beberapa waktu. Baguslah ia tidak mati," jelas CL. CL sudah biasa melihat luka-luka seperti ini, bisa dibilang ini bukanlah yang terparah. Ia bahkan pernah melihat seseorang digorok didepan matanya dan dikuliti hidup-hidup.

Gia mengusap kening Anna dan menggenggam tangan kirinya yang dihias selang infus. "Sebenarnya kalian ini apa?" Kali ini Gia benar-benar ingin tahu, sebenarnya mereka siapa, apa dan kenapa Anna terlibat.

"Tanya saja pada Anna. Aku tidak ada hak memberitahumu tentang hidupnya," jawab CL.

Detik demi detik terus berlalu, sejak masuk ke ruangan ini Gia tak henti-hentinya memandangi wajah Anna sampai ia tidak sadar ia tertidur dengan posisi duduk dan kepala yang ia taruh di atas ranjang. Di tengah tidur lelapnya ia merasakan pundaknya ditepuk oleh seseorang. Sontak Gia terbangun dan berkata, "Anna."

Matanya terbuka lebar, pemandangan di depannya masih sama. Anna masih terbaring tak sadar. Tuhan berapa lama lagi, kenapa ia masih belum bangun juga. "Pulanglah." Gia menoleh ke sumber suara, Bibi Vira. Ia berdiri di belakangnya. Lagi-lagi ia tidak sadar bahwa Vira sudah di sini.

Gia berdiri dari duduknya dan mempersilahkan Bibi Vira untuk duduk. Ia merasakan tubuhnya sakit dan pegal karena posisi tidurnya barusan. Gia melirik ke jendela, fajar mulai terlihat. Ini sudah pukul enam.

"Zion datang ke rumah pagi ini, ia memberikan kabar yang membuatku sesak seketika. Lalu ia mengantarkan aku ke sini kemudian ia pergi dengan CL. Katanya mengurus sesuatu," jelas Vira sambil menatap keponakannya. Gia tidak menjawab.

"CL bilang semuanya sudah terkendali. Ia juga menceritakan betapa cemasnya kamu. Orang tuamu pasti mengkhawatirkanmu. Pulanglah, kau bisa kembali kapan saja," tambah Vira.

Gia duduk di sofa yang tersedia, ia tahu bahwa ia bisa kesini kapan saja. Masalahnya adalah ia tidak bisa meninggalkan Anna, ia ingin terus bersama Anna sehingga ia bisa melihat mata Anna terbuka lagi. Tapi yang dikatakan Bibi Vira ada benarnya. Orang tuanya pasti cemas, Gia sampai lupa mengabari mereka. Gia merogoh ponselnya dan mengirim pesan kepada kedua orang tuanya.

"Tak apa, Bi. Aku sudah mengabari mereka lewat pesan."

Vira menoleh ke arah Gia, wajahnya kusam, rambutnya berantakan, dan pakaiannya berlumuran darah. "Setidaknya bersihkan diri dulu. Kau berantakan." Gia menatap tubuhnya sendiri, Vira benar. Ia sangat kacau sekarang, bahkan ia tampak seperti seorang pembunuh yang baru saja mengeksekusi korbannya.

Gia kembali mengambil ponselnya dan mengirim sebuah pesan. "Tak apa, Bi. Aku akan tetap di sini. Aku juga sudah meminta orang rumah untuk membawakan beberapa pakaian."

Vira mengangguk paham, percuma saja menghalangi orang yang sedang kasmaran. Percuma, lagipula mungkin dengan adanya Gia di sini akan membuat Anna lebih kuat dan cepat pulih. Ia harap begitu.

"Aku membeli beberapa roti untuk sarapan. Makanlah, menjaga orang sakit juga perlu energi," ucap Vira sambil menunjuk kantong belanja

Gia mengambil sebuah roti selai kacang dari sana dan memakannya, ia tidak mau menjadi orang yang bodoh karena cemas. Jika Anna tahu Gia tidak makan karena menunggunya, pasti wanita itu akan bilang, "Kenapa tidak makan? Sudah tidak punya perut?" Gia terkekeh di sela-sela lamunannya tentang Anna. Ia merindukannya. Cepatlah bangun Anna.

Tak lama kemudian seseorang datang mengetuk pintu ruangan, Gia berjalan membukanya dan mengucapkan terima kasih kepada orang tersebut. Ia adalah orang yang diminta Gia membawakan pakaian. Setelah itu, Gia segera membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaian.

Ada satu hal yang Gia syukuri kali ini. Semester sekarang sudah selesai. Dua minggu yang lalu para mahasiswa sudah melaksanakan ujian dan untuk merayakannya mereka mengadakan festival seni. Gia tahu jelas bahwa pemulihan Anna membutuhkan waktu yang lama dan mengganggu kuliahnya. Gia tidak ingin itu, Anna sudah cukup mendapat banyak masalah di sana. Gia ingin mengeluarkan Anna dari sana.

To be continue
Thanks for reading
Vote n comment guys

RAIN'S MEMORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang