32. Alasan dibalik itu.

290 26 8
                                    

Hari sudah gelap, jam menunjukkan pukul delapan malam. Udara yang sejuk dan suara rintikkan hujan yang jatuh mengenai tanah sangat menenangkan. Tapi hal itu tidak cukup menenangkan pikiran Anna

Ia teringat kejadian tadi siang yang membuatnya sedikit kecewa. Kalau kata Zion sih patah hati. Tapi apapun itu, Anna membenci perasaan yang tengah ia rasakan sekarang ini. Ia kesal, marah, sedih, dan kecewa. Semua menjadi satu sehingga membuat Anna sendiri tidak bisa mendefinisikan perasaannya.

Anna terus berpikir, apa Gia sesibuk itu sekarang? Bahkan ia tak mengirim pesan atau menelepon. Tadinya ia mau menelepon Gia duluan, tapi egonya terlalu besar sampai hal itu menyiksa hatinya sendiri.

Anna menghela nafasnya berat, kenapa cinta sangat merepotkan? Anna memejamkan matanya mencoba melupakan kejadian yang mengganggunya. Tapi ia kembali membuka matanya saat terdengar suara pintu kamarnya terbuka. Bibinya masuk dan menghampiri Anna.

"Tumben. Ada apa?"

"Aku ingin mengetahui segalanya, Anna. Apapun yang kau ceritakan nantinya, aku akan terima... " ucapnya.

Anna bangun dan duduk tepat disebelah bibi dan bertanya,

"Aku harus mulai dari mana, bi?"

Bibi menarik nafasnya lalu menjawab,
"Alasan kau menghabisinya dan caramu melakukan itu."

"Alasan? Aku hanya membela diri dan mewakili rasa sakit hatimu mungkin?"

"Rasa sakit apanya, Anna? Saat itu, aku dan dia tak ada masalah. Bahkan terakhir kali aku bersamanya, ia melakukan hal-hal manis."

"Dia berbuat manis? Besok paginya kau pergi untuk mengurus pekerjaan penting bukan? Pagi itu dengan segala kesedihan yang ku pikul, aku pergi ke rumahmu. Aku membutuhkan pelukanmu kala itu, bi... "

Bibi Anna mendengarkan Anna dengan baik dan serius,

"Alasan aku ke sana, bukan hanya membutuhkan dekapanmu. Tapi aku juga ingin membicarakan peninggalan yang ayah dan ibuku tinggalkan. Namun, baru saja aku membuka pintu rumahmu... aku malah diperlihatkan kejadian yang membuatku sangat marah," jelas Anna.

Bibi semakin penasaran dengan cerita Anna dan kembali bertanya,

"Kejadian apa itu?"

"Pria itu sedang bercumbu dengan wanita j*lang yang sudah bertelanjang bulat. Kau bisa tebak apa yang mereka lakukan bukan?"

Bibi Anna kaget bukan main. Raut wajahnya mendadak marah namun matanya penuh kesedihan.

"Kau tahu kondisi mentalku kala itu kan? Aku yang masih sedih akan kejadian yang menimpa orang tuaku, lalu aku yang dituduh sebagai pembunuh orang tuaku. Dan saat itu aku malah disuguhkan kejadian sialan itu. Marah? Tentu! Bisa-bisanya pria sialan itu berselingkuh darimu, sedangkan kau sibuk bekerja mencari uang untuk orang itu... "

"suamimu kaget saat melihat kehadiranku. Tapi aku hanya menatapnya miris lalu menampar pipinya. Dia menyuruh wanita itu pergi. Aku tak memperdulikannya saat itu. Yang ingin aku lakukan hanyalah menelepon dirimu dan menceritakan segalanya."

Bibi masih setia mendengarkan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Aku kaget bukan main saat tiba-tiba pria itu menodongkan pisau padaku. Aku kira dia hanya menggertak karena takut aku adukan tapi aku salah. Dia mulai mendekati aku dan mencoba mencelakai diriku. Kakiku tersayat, rasanya sangat perih, bi."

Anna menatap bibinya lalu tersenyum meremehkan.

"Saat ia mencoba menusukkan pisau itu padaku, aku refleks menepisnya dan mengunci pergerakannya. Hingga akhirnya pisau itu tertancap di perutnya sendiri," lanjut Anna.

"Darah keluar dari perutnya, ia langsung jatuh ke lantai dan merintih. Tubuhku bergetar hebat kala itu. Dan aku mulai menangis karena membuat pria itu terluka. Tapi ini bukan salahku bukan? Aku tak tahu harus berbuat apa."

Bibi menggangguk kemudian mengusap pucuk kepala Anna. Air matanya sudah tak tertahan lagi. Selama ini, pandangannya pada Anna sangat salah. Anna sama sekali tak berniat sengaja membunuh suaminya. Justru ia mencoba melindunginya dari kebejatan sang suami. Ia sungguh sangat menyesal sudah mencap Anna pembunuh suaminya dan memperlakukan Anna kurang baik. Tapi ia pun tidak akan pernah tahu kebenaran ini jika Anna tidak bicara dan mungkin Vira akan terus menganggap Anna pembunuh.

" Aku terus menatapnya. Setelah itu aku tersenyum melihat pria itu kesakitan. Rasa sakit itu sepadan dengan tingkahnya yang bejat, kan? Aku tidak harus mencabut pisau yang ia tancapkan sendiri ke perutnya, kan?. Dengan begitu rasa sakitmu akan terbayar bukan, bi? Tadinya sih aku berniat memanggil ambulance tapi untuk apa? Pria itu sudah mati karena kehabisan darah. Tak lama kemudian kau datang dan memaki diriku sebagai pembunuh... "

Ucapan Anna terjeda,
"Awalnya aku ingin menjelaskan apa yang terjadi. Tapi apa gunanya? Semua orang sudah menuduhku pembunuh, begitu juga dengan kau, bi. Tapi kalau di pikir kembali mungkin aku ini memang pembunuh.. "

"Maaf... " ucap sang bibi lalu memeluk Anna erat. Ia menangis tersedu-sedu di pelukan Anna.

Anna sendiri hanya diam dan memasang wajah datarnya.

"Hiks, bahkan aku masih ingat saat terakhir bertemu yang ia katakan adalah... Vira aku tak akan pernah menyakitimu," lirih Vira yang tak lain adalah bibi Anna.

Anna mengusap-usap punggung Vira agar sang bibi tenang. Anna tak banyak bicara, ia tak mau menambahkan kesedihan Vira. Setelah agak lama Vira menangis, wanita itu menatap Anna dan berkata,

"Kenapa kau tak pernah menceritakan kebenaran ini sejak dulu? Dengan begitu aku bisa memperlakukan dirimu dengan lebih baik, Anna."

"Karena aku tahu kau pasti akan menderita seperti sekarang ini. Lagipula itu sudah berlalu, untuk apa aku harus menceritakannya lagi?" Jawab Anna.

Vira tak banyak bicara lagi, ia melanjutkan tangisnya yang tadi sempat mereda sampai wanita itu ketiduran di atas ranjang Anna.

Anna menatap miris sang bibi lalu menyelimutinya. Ia mengusap air mata di pipi Vira lalu berkata,

"Jangan pernah menyalahkan diri sendiri. Kau sudah memperlakukan dan merawatku dengan baik, ya... walau kau sedikit menyebabkan dengan sering membawa pria kesini sih. Tapi aku tetap menyayangimu, bi... ku harap kau bahagia dengan pria tadi."

Anna berjalan keluar kamar dan menghela nafas.

"Hidup memang sulit ya? Bahkan masa lalu saja bisa membuat seseorang menderita," ucap Anna pada dirinya sendiri sambil menatap hujan yang ia lihat dari jendela.

Anna merogoh ponselnya dan mengecek notifikasi. Ia membuka pesan dari Gia yang diterima dua jam yang lalu. Pesan itu berisi permintaan maaf. Anna menyimpan kembali ponselnya tanpa membalas pesan itu dan kembali menatap langit malam. Ia bingung harus menjawab apa, apa ia harus memaafkannya? Tapi apakah ini memang salah dia? Bukankah keadaannya saja yang membuat mereka berjarak. Tapi bukankah kita sendiri yang harus mengontrol keadaan? Anna bingung.

"Hari ini sangat memuakkan. Tapi sialnya, malam ini aku masih merindukanmu Algia... "

To be continue.
Don't forget to vote, like and comment
Give me your support plz
Thanks for reading.

RAIN'S MEMORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang