"Bibi apa boleh aku menemani Anna disini? Bibi istirahatlah di rumah. Wajahmu terlihat sangat lelah."
Modus Gia. Pria ini memang menyuruh bibi beristirahat di rumah demi kebaikan. Tapi ada maksud lain dibalik ucapannya itu. Ia ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan Anna. Dasar!
Anna yang mendengar itu mendengus sebal, ia lebih suka sendirian. Jika Gia menginap disini, pria itu pasti akan merenggut ketenangan Anna dan terus mengoceh.
"Orang tuamu akan mencarimu nanti. Pulanglah," Kata Bibi Vira.
"Tidak masalah, bibi. Aku akan izin pada mereka. Lagipula besok hari minggu, Bi. Mereka pasti memberi izin," Jelas Gia yang terdengar seperti sebuah paksaan.
Bibi Vira melihat ke arah Anna seolah meminta persetujuan. Anna hanya memalingkan wajahnya pertanda ia menyerahkan keputusannya pada Bibi. Anna juga kasihan melihat bibinya selalu tidur meringkuk di sofa sendirian. Ia pasti butuh istirahat, Anna sudah banyak merepotkan Vira, jadi ia membiarkan bibinya itu beristirahat di rumah sejenak.
"Kalau begitu bibi pulang. Besok bibi akan kembali dan membawa beberapa baju ganti untukmu, Anna. Tolong jaga dia ya, Gi."
"Siap, Bi! Apa perlu aku antar?"
Vira menggeleng cepat. "Tidak, nanti siapa yang menjaga Anna?"
Anna mendengus sebal, kenapa ia harus selalu diawasi seperti ini? Ia bukan pasien rumah sakit jiwa ataupun pasien dengan keterbelakangan mental, sehingga harus dipantau setiap saat. Lagipula ia sudah besar, ia sudah tahu cara menjaga diri.
Bibi Vira mengambil tasnya lalu keluar dari sana. Gia tersenyum senang. Akhirnya ia bisa berduaan dengan Anna.
Gia merogoh ponselnya dan mengabari orang tuanya bahwa ia akan menginap malam ini. Setelah itu ia membuka sebuah aplikasi lalu menesan makanan dari sana. Perutnya terasa lapar.
"Kak, aku merindukanmu."
Gia mendekat ke ranjang lalu menatap Anna yang sedang terbaring. Sedangkan yang di tatap hanya acuh dengan wajah dinginnya yang tak pernah lepas dari wajah itu.
"Eh, kak!i Pria yang tadi itu siapa?? Itu kan pria yang memboncengmu waktu itu," Tanya Gia penasaran. Sejak tadi hatinya sedikit jengkel melihat keberadaan Zion disini. Apalagi pria itu tampak dekat dengan Anna kekasihnya.
"Pacarku." Jawabnya santai lalu tersenyum licik.
Gia membulatkan matanya kaget. "Haa? Kau bercanda kan? Kau itu calon pacarku, kak! Kau tak boleh bersamanya, kak."
Anna terkekeh melihat wajah Gia yang lucu. Matanya melotot, wajahnya merah, pipinya menggembung dan bibirnya mengerucut.
"Hentikan! Aku hanya bercanda. Jangan pasang wajah seperti itu lagi. Kau terlihat seperti ikan," ledek Anna lalu tertawa ringan.
"Apanya yang ikan? Ibuku bilang, aku ini tampan dan lucu tahu. Dasar Anna aneh!"
Anna mendengus sebal dan menatap malas Gia. Sepertinya hubungan keluarga Gia sangat baik dan harmonis. Ini sudah ke sekian kalinya Gia menyangkut pautkan perbincangan dengan ibunya. Sejujurnya, Anna malas. Hal itu membuat ia mengingat kenangan singkat bersama sang ibu dan ia merasa sedikit iri, saat Gia mengucapkan hal itu dengan wajah sumringah.
"Anak manja." Cibir Anna.
Baru saja Gia ingin menanyakan beberapa pertanyaan lagi, tapi terdengar seseorang mengetuk pintu. Gia tersenyum senang lalu membuka pintu tersebut itu pasti kurir yang membawakan nasi goreng pedas yang Gia pesan beberapa saat lalu.
"Kau sudah makan, kak?" Tanya Gia sambil mengeluarkan nasi itu.
"Sudah. Tadi Zion menyuapiku bubur ayam hambat. Tapi tidak aku telan. Bubur disini tidak enak,* adu Anna kemudian menunjukkan plastik yang berisi bubur yang Anna lepeh dari mulutnya.
"Ck, kenapa harus orang itu, sih?" Sinis Gia
"Eh, tapi, kak. Kalau buburnya kau lepeh berarti perutmu kosong dan kau pasti lapar bukan? Kalau begitu biar aku pesan makanan untukmu ya?"
Anna menggelengkan kepala dengan cepat.
"Aku mau nasi goreng pedasmu saja.""No. Ini pedas, kak. Aku pesankan yang lain saja ya? Makanan sehat tapi enak dimakan, bagaimana?"
Anna kembali menggeleng lalu memelas pada Gia,
"Tapi aku laparnya sekarang. Aku mau yang itu, Gi."
Gia yang melihat rengekan Anna barusan pun pasrah. Ia lemah! Anna sangat menggemaskan saat ini. Jika Anna meminta jantungnya, pasti Gia juga bersedia memberikan itu pada Anna.
"Tapi sedikit saja ya? Aku juga lapar tahu."
Anna tersenyum senang dan mengangguk. Akhirnya ia bisa makan makanan yang ada rasanya. Ia muak dengan bubur hambar yang belakangan ini menjadi makanan rutinnya. Padahal ia kan tidak ada gangguan pencernaan. Bubur hambar itu sangat menyiksa indera penciuman Anna, karena yang tercium hanyalah bau amis dari ayam dan telur rebus di bubur tersebut.
Gia mulai menyuapi Anna perlahan. Awalnya Anna menolak dengan alasan, ia bukan bayi dan ia tidak lumpuh. Di suapi orang lain rasanya begitu memalukan untuk Anna. Tapi setelah perdebatan terjadi lalu Gia mengancam tak akan memberikan nasi gorengnya. Akhirnya Anna pasrah ketimbang membuat Gia marah padanya untuk saat ini.
"Ternyata makan satu piring berdua romantis juga ya, kak."
Mereka sudah selesai makan, kini Gia kembali duduk di samping ranjang Anna sambil terus menatap Anna. Gia menyodorkan segelas air untuk Anna.
"Romantis apanya? Itu kurang, perutku saja masih terasa lapar," ucap Anna setelah menghabiskan segelas airnya dengan sangat sinis.
"Kalau begitu cepatlah pulih. Setelah itu aku akan membawamu ke banyak tempat dan kita akan makan seperti ini lagi. Aku akan memberi apapun yang kau mau, kak!" Gia mengatakan dengan mantap setelah itu ia merapikan poni Anna yang sedikit tak beraturan..
"Aku sudah pulih. Mau pergi sekarang juga tak masalah. Aku siap."
Gia terkekeh pelan mendengar ucapan Anna. Bisa-bisanya Anna berlaga sok kuat padahal sekujur tubuhnya memar. Bahkan tulang sikutnya sedikit bergeser membuat ia harus mengenakan penyangga lengan.
"Pulih apanya? Berjalan saja masih terpincang-pincang," ledek Gia.
"Dua hari lagi juga sembuh. Lihat saja! Tubuhku ini kuat," sombong Anna.
"Mau tubuhmu kuat atau apapun itu, tapi tetap saja.... kau membuatku khawatir."
Anna menoleh dan menatap lekat wajah Gia.
"Lain kali berhati-hatilah. Jangan biarkan dirimu terluka lagi," lirih Gia. Tatapannya begitu sejuk dan menenangkan.
"Kenapa?"
"Melihatmu seperti ini membuat aku tersiksa, kak."
Setelah itu mereka berdua terdiam, ruangan itu kembali sepi. Yang terdengar hanyalah suara rintikkan hujan yang berbenturan dengan permukaan di luar sana.
"Gi... "Panggil Anna.
Gia menoleh dengan wajah bingung. Ada apa ini, tidak biasanya Anna memanggil namanya dan membuka suatu percakapan.
"Apa aku boleh meminta suatu hal?"
Gia menoleh dengan wajah bingungnya, sedetik kemudian dia mengangguk den tersenyum riang.
To be continue
Don't forget to vote, like and comment
Thx for reading
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIN'S MEMORIES
Misteri / ThrillerAnnasya ialah gadis bersorot tajam yang menyimpan banyak rahasia dalam dirinya. Sosoknya begitu dingin sampai membuat hatinya perlahan membeku. Sampai akhirnya sosok dinginnya perlahan mencair tatkala Algia masuk ke dalam hidupnya dan mulai membongk...