1. Pertemuan

1.2K 66 0
                                    

Minggu pagi yang tenang Algia Febrant sedang sibuk dengan kameranya. Dia adalah pria yang sangat suka memotret panorama yang menurutnya indah dan memukau dengan kameranya itu, karena cita-citanya ingin menjadi seorang Fotografer. Saat ini pria itu merupakan salah satu mahasiswa universitas seni dan mengambil fakultas seni fotografi.

"Ahh, akan turun hujan ya? Kurasa aku harus segera pergi," Ucapnya sambil melihat ke arah jendela lalu tersenyum senang.

Gia pun mengambil payung dan berjalan keluar rumah dengan jaket tebalnya.

"Hujan pertama di awal September memang menakjubkan," lirih nya sambil melihat lingkungan sekitar yang terguyur indahnya rintikan hujan. Tanpa ragu ia terus melanjutkan jalannya.

Gia pun berhenti dan berteduh di sebuah bangunan kayu yang berada di taman kota.

"Hey, apakah aku boleh duduk disini?" Tanya Gia pada seorang wanita yang sedang menulis dibuku berwarna biru miliknya itu.

Gia memandang bingung ke arah wanita itu dengan pertanyaan yang terus bersemayam di pikirannya. Ia bingung karena wanita itu tak kunjung menyaut ucapannya tadi

Gia berdecak sebal di buatnya  ia pun mengulangi pertanyaan yang sama dengan suara yang lebih keras.

"Apakah aku boleh duduk disini, nona?"

Wanita itupun menoleh ke arah Gia dengan satu alisnya yang terangkat. Wajahnya sangat dingin dengan sorot mata yang tajam. Wanita ini terlihat cantik dengan rambut lurusnya yang tergerai hingga membuat Gia terpukau beberapa saat.

"Kenapa bertanya? Silahkan saja. Lagipula taman ini bukan punya ibuku."

Gia tersadar dari lamunannya setelah wanita itu menjawab pertanyaan nya barusan. Padahal wajahnya cantik tapi ucapannya cukup menyebalkan bukan? Sampai-sampai Gia kembali berdecak dan memutar bola matanya malas

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya? Wajahmu terasa tak asing." Gia membuka percakapan. Dia aneh! Padahal tadi mengatai wanita itu menyebalkan tapi sekarang malah mencoba berinteraksi dengannya.

Wanita itu menoleh ke kanan dan kiri seolah mencari sesuatu.
"Kau bertanya padaku?" Tanyanya.

"Tentu. Kau pikir siapa lagi? Pohon yang ada di sebelahmu itu, hah?" Jawab Gia dengan nada kesalnya.

"Bisa kau ulang bicaramu tadi? Aku tak mendengarnya."

Wanita itu melihat ke arah Gia sambil melepas earphone yang sejak tadi ia kenakan.

Gia menghembuskan nafasnya kasar lalu mengusap dadanya. Ia ingat akan ucapan sang ibu bahwa ia harus menjadi orang yang sabar.

"Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" Ulangnya dengan penuh penekanan

"Entahlah. Mungkin saja," Jawabnya. Wanita itu mengeluarkan sepuntung rokok lalu menyalakannya dan mengisapnya.

"Hey, kenapa kau melakukan itu?" Kaget Gia saat melihat wanita itu merokok. Karena setahunya rokok itu tak baik. Seluruh keluarganya bahkan tidak ada yang merokok.

"Melakukan apa?" Tanyanya dengan santai dan kembali mengisap rokoknya.

"Itu merokok. Kau masih dibawah umur bukan? Lagipula merokok itu tak baik."

"Apa?! Kau sama saja seperti yang lain. Memang apa salahnya ? Aku hanya merokok," jawab wanita itu sambil membuang rokoknya lalu meminum air soda.

"Tentu saja salah. Itu juga kenapa kau meminum air soda di pagi hari? Jangan meminumnya di pagi hari. Perutmu bisa sakit nanti."

"Cerewet. Aku menyukai soda. Jadi kenapa aku tak boleh meminumnya?"

Wanita itu terlihat sebal saat Gia mencoba mengambil kaleng soda dari tangannya.

"Ya ya ya terserah kau saja."
"Ngomong-ngomong apa yang kau lakukan disini sendirian saat hujan?" Tanya Gia lagi. Lihat pria ini, ia terus bertanya hal tak penting, sudah seperti wartawan saja.

"Menenangkan pikiran dan mencari inspirasi. Kau sendiri?"

"Inspirasi? Inspirasi untuk apa?. Aku hanya sedang menikmati hujan."

"Menikmati hujan? Sounds cringe. Inspirasi untuk menulis lirik lagu," Jawabnya.

"Cringe? Kebanyakan orang bilang begitu, sih. Oh, ya, kalau begitu izinkan aku membantu," kata Gia dengan antusias.

Wanita itu memandang Gia bingung. Sebenarnya siapa pria ini? Pagi yang indah milik wanita itu seolah hancur dengan datangnya pria ini. Bahkan ide-ide yang ada di kepalanya buyar. Awal datang saja ia sudah banyak mengatur dan berkomentar. Menyebalkan.

"Tidak! Kau mengganggu," tolaknya mentah-mentah.

Gia diam setelah ia mengatakan itu. Tapi itu tak berlangsung lama. Karena Gia terus berceloteh dan mengomentari apa yang di lakukan wanita yang bahkan tidak dikenalnya itu.

"Hujan memang sangat indah ya?"

"Oh, ya! Kenapa kau mencari inspirasi saat hujan? Apa kau menyukai hujan? Kalau begitu kita sama."

"Hey! Kenapa lirik lagumu tidak romantis?"

"Rambutmu cantik. Jika aku wanita aku ingin memiliki rambut seperti itu."

Dan masih banyak lagi komentar yang ia lontarkan. Wanita yang sedari tadi ia ajak bicara pun tak menanggapi. Bahkan ia tak mendengar nya karena ia memakai earphone.

"Bisa kau lepas benda ini? Aku sedang berbicara," kesal Gia lalu melepas earphone milik wanita itu. Aneh! Seharusnya wanita itu lah yang kesal karena terus di ganggu Gia.

"Kenapa sih? Kau mau bicara apa? Jika hanya omong kosong lebih baik tutup mulutmu," sebal wanita itu lalu mengambil kembali earphone dari tangan Gia.

"Galak sekali! Aku hanya ingin berbincang-bincang tahu!" Kata Gia Bahkan bicara nya saja sudah seperti anak kecil. Sangat cocok dengan wajahnya yang terlihat polos dan tubuhnya yang bisa dibilang pendek untuk ukuran pria pada umumnya.

"Makan ini dan berhenti lah bicara," kata wanita yang sudah terlihat hilang kesabaran. Ia memberikan satu permen kacang untuk Gia.

"Hey! Apa-apaan ini? Aku bukan anak kecil," protes Gia.

"Lalu kenapa kau makan permennya?"

Ya! Gia protes namun ia tak bisa menahan untuk tidak memakan permen kacang yang dulu sering di berikan ibunya. Ini adalah permen kesukaannya.

"Tapi ini tidak buruk. Ini enak," senang Gia. Wanita tadi acuh dan bernafas lega karena Gia bisa diam untuk beberapa saat. Lalu ia melanjutkan menulis lirik lagu miliknya.

Gia sampai tersedak saking asiknya memakan permen kacang tadi. Wanita tadi dengan malas memberikan minuman pada Gia dan menepuk-nepuk leher belakang Gia. Padahal baru saja ia menemukan ide baru tapi buyar untuk kedua kalinya.

Lalu keluarlah permen kacang yang ukurannya agak besar dari mulut Gia. Dapat dipastikan ia tersedak permen itu. Gia pun bernafas lega dan berterima kasih.

"Sudah ku bilang diam. Itu akibat dari menganggu ku."

Mendengar itu Gia kembali diam karena takut akan tersedak lagi. Bodoh! Ia kan tidak memakan apapun saat ini. Bagaimana ia bisa tersedak?

Ketenangan wanita yang sedari tadi Gia ganggu hanya berlangsung sesaat karena Gia kembali membuka percakapan.

"Emm... boleh ku tahu siapa namamu?"

Wanita itu hilang kesabaran dan berdiri lalu berjalan pergi meninggalkan taman dengan payung merahnya itu.

"Wanita aneh! Jawab aku dulu!" Teriak Gia yang diabaikan oleh wanita itu. Ia terus berjalan di bawah derasnya hujan.

"Ku harap kita bisa berjumpa lagi," lirih Gia.

To be continue
Give ur support here.
Vote and comment for next

RAIN'S MEMORIES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang