1. Luka Raga

4.2K 161 8
                                    

"Dialah yang aku benci. Dia juga yang aku takuti. Monster gila yang terus meraung lapar."
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Mentari yang mulai kembali. Menyinari dengan kehangatan, kota penuh kesibukan ini. Embun yang menanti siap beranjak pergi. Terganti dengan hangatnya sang surya.

Semua sibuk untuk awal kegiatan mereka hari ini. Dari ibu-ibu yang sudah sibuk memasak, pria yang akan bekerja, juga anak-anak yang siap bersekolah.

Sama dengan dirinya. Namun, seolah menjadi satu untuk semua. Ia sudah membuat sarapan sejak pagi buta. Lalu kini bersiap diri untuk pergi ke sekolah.

Tak pernah tau bagaimana ia berpenampilan. Juga ia tak ingin tau walau begitu membutuhkan.

Dasi tak ia kenakan, sengaja ia kantongi. Rambut yang hanya ia sisir asal. Ia hanya akan membenarkan penampilannya yang terlihat manik legamnya itu.

Sudah siap, ia pun keluar kamar. Turun menuju dapur. Menata semua makanan yang telah ia masak dimeja makan. Lalu menyiapkan pula untuk ia bawa ke sekolah.

Selesai, ia tidak pernah sarapan. Karena perutnya akan bergejolak nanti. Entah karena apa. Ia hanya minum air putih. Setelahnya pergi menuju garasi. Mengambil sepedah yang ia punya saat ini.

Hasil menabung sekian lama. Ia begitu bersyukur tidak lagi harus berjalan kaki.

Mengayuhnya pelan. Bukan ia menikmati keramaian atau kehangatan kota. Hanya saja, ia tak ingin lelah sampai disekolah.

Walau lumayan menguras waktu dan tenaga. Ia sampai pada sekolahnya.

Sekolah elit penuh akan orang-orang kaya. Jangan katakan ia orang kaya. Tidak, ia hanya pemuda biasa. Yang bersyukur masih ada yang mau membiayai sekolahnya.

Setelah memarkirkan sepedanya dibawah pohon. Ia melangkah pelan. Beberapa anak yang sudah datang melihatnya. Berbisik kecil jelas membicarakannya.

Namun, yang ia lakukan hanya berjalan biasa. Tanpa menunduk, juga menoleh. Ia tak seperti apa yang mereka fikirkan. Ia juga tidak ingin mahkotanya terjatuh. Dalam dirinya, juga baginya. Ia adalah pangeran, yang begitu sulit digapai.

Nyatanya ia tak tau. Tak banyak yang kagum dengannya. Pemuda yang begitu menawan. Kulit putih pucat keturunan dari keluarganya. Manik hitam yang menatap tenang. Bibir merah tipis yang selalu terkatup.

Tingginya ideal, parasnya pun jelas begitu banyak yang mendambakan. Namun keanehan pada dirinya yang membuat mereka enggan.

XI IPS 5

Kelas yang sudah setengah tahun ia tempati. Beberapa bulan kedepan ia sudah masuk kelas akhir.

Ia duduk ditempatnya. Paling belakang dan pojok. Tempat yang tersisa untuk dirinya. Tersenyumlah, karena ia bukan dipandang baik.

Waktu pun berjalan, banyak murid sudah datang. Termasuk dua pemuda yang duduk didepan dan disampingnya.

"Pagi Ga!"

Itu Wisnu, atau Wisnu Gio Pratama. Pemuda yang lincah penuh semangat. Selalu tersenyum lebar kepada semuanya. Pelawak kelas yang begitu berisik, baginya. Namun, anehnya ia tahan saja berteman dengan pemuda itu. Bahkan dari kelas 2 SMP.

Wisnu duduk didepannya. Tersenyum biasa kala ia hanya mengangguk.

Maniknya pun beralih pada pemuda yang diam disampingnya. Menatapnya begitu dingin. Membuatnya hanya menaikkan satu alis tanpa bicara.

"Kenapa?" Pemuda itu bertanya.

Sering disapa Juan, dengan nama lengkap Adhito Juan Orlando. Pemuda yang begitu irit bicara. Tetapi pengertian. Sifatnya kalem, atau lebih ke cuek.

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang