63. Sesal

719 39 0
                                    

"Penyesalan ini, alasan ku terus bangkit."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Pandangannya buran. Semua terasa abu-abu. Rasa sakit yang sebelumnya dirinya rasakan hilang. Namun masih tersimpan rasa kegelapan didadanya.

Dia bingung. Pandangannya mulai jelas. Namun bergerak sendiri. Bahkan tubuhnya tidak dapat ia gerakkan. Ia seolah melihat dari sebuah kamera.

"Bunda!?"

Dia menyerah. Memilih melihat apa yang sebenarnya. Dia lihat seorang wanita cantik yang nampak kacau. Terduduk ditepi ranjang dengan tangis.

"Bunda." Bisiknya. Ingin ia peluk sosok itu. Namun tidak ada yang dapat dirinya lakukan. Ia hanya mampu melihat.

"Adek? Kenapa turun? Adek kan masih demam. Istirahat dikamar ya?"

"Adek mau tidur sama Bunda."

"Adek kangen bunda ya? Humm Sayang. Sini naik."

Setelah putranya naik. Wanita itu membawanya berbaring. Memeluknya dengan erat. Juga memberi kecupan pada keningnya sayang.

Ia melihat semuanya. Rasanya hatinya kacau. Sakit. "Bunda maaf, kakak jahat."

Sekarang dirinya mengerti. Jelas ia masih mengingat saat terakhir dirinya hidup. Mereka melakukan ritual. Dan sekarang jiwanya berpindah. Di tubuh adiknya sendiri.

Adik yang selalu dirinya abaikan.

Sejak saat itu. Rega, yang menempati tubuh adiknya mengerti. Dia melihat semua yang adiknya lakukan.

Keanehan Ayah dan ibunya. Lalu sikap Galen yang perlahan menjauh. Namun mencoba tetap mengawasi. Dia bisa melihat tanpa bisa mengatur geraknya. Raga masih menguasai tubuhnya sendiri.

Abraham seolah selalu mengawasi Raga. Bahkan ketika anak itu tidur. Ia mendengar. Pria itu datang. Mengatakan sebuah mantra entah apa. Membuatnya serasa bergejolak akan bangkit. Namun ia menahan dirinya.

Dia tau, Abraham mencari keberadaannya. Mencoba membuatnya bangkit. Saat tubuh adiknya kesakitan disaat itulah peluang untuknya keluar besar. Namun dia tidak pernah melakukan.

Rega masih terus mengawasi. Mencoba semakin membaca situasi. Juga mencoba mencari cara berkomunikasi dengan pikiran Raga.

Hari ini Raga terserang demam tinggi lagi. Sahira datang membawakan obat. Yang akan membuat putranya sembuh.

Namun ia marah. Ingin ia lempar obat itu sejauh mungkin. Bahkan Sahira juga mencoba membuatnya keluar.

Ia membenci semuanya. Rasa kasihan pada Raga tidak lah besar. Tetapi rasa marah karena Saga tetap tidak kembali lebih besar.

Saat Raga tidak berdaya. Diambang mimpi karena obat itu. Jiwanya berpindah. Sebuah padang rumput yang indah.

Ia melihat sosok Raga yang tidur direrumputan dengan damai. Saat inilah ia bisa berbicara dengan Raga.

"Bangun!" Sentaknya.

Anak itu perlahan membuka mata. Menatapnya takut dan sedih. Namun dia tidak peduli.

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang