6. Mereka lagi

1.4K 130 0
                                    

"Dirinya tidak membuka diri. Hanya belajar menerima."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Siang yang terik. Membuat orang-orang enggan berjalan dibawahnya. Memilih mencari jalan teduh dibawah pohon.

Sama sepertinya. Ia berjalan pelan menyusuri trotoar bersama beberapa pejalan kaki. Tanpa menoleh dan berkata. Ia terus berjalan lurus.

Sorot mata yang kelam menatap jalanan yang ramai. Beberapa daun-daun kering menyita perhatiannya beberapa detik. Seragam sekolah yang sudah keluar dengan surai acak-acakan. Beberapa orang meliriknya.

Raga pulang berjalan kaki karena Bastian belum menjemputnya. Dan ia jelas tidak biasa menunggu. Lagi pula dulu ia juga sering berjalan kaki.

Waktu yang lama untuknya. Hingga sampai dirumahnya. Yang terdapat mobil Galen terparkir dihalaman.

Agak ragu ia masuk. Namun ia harus tetap masuk. Membuka pintu rumah perlahan. Lalu melihat sekitar sepi.

Merasa tidak ada tanda-tanda Galen, ia melangkah masuk. Bernafas lega sesaat, sebelum sosok lelaki turun dari tangga.

Raga terdiam ditempatnya. Memandang Galen yang turun dengan pakaian kantor. Tubuh tinggi dan bahu kokoh itu begitu pas. Rahang yang tegas dengan manik hitam tajam. Juga surai hitam yang disisir kebelakang.

Wanita mana yang menolaknya. Bahkan Raga saja terkagum. Namun ia cepat sadar. Berlari menuju dapur cepat. Menghindari Galen tentunya. Ia tak mau lelaki itu marah dan semakin benci padanya.


Galen sendiri hanya melihat datar. Tidak peduli dengan pemuda itu. Ia melangkah keluar rumah. Tanpa tau sosok Raga yang melihatnya dari balik pintu dapur.

Manik hitam yang selalu menatap dalam penuh rahasia. Kini menyendu. Menatap punggung kokoh itu yang semakin menjauh. Raga tak berharap lebih. Hanya meminta Galen sehat selalu. Namun bila pun bisa, ia ingin Galen tau bila dirinya ada. Raga adiknya, bukan pelampias marah atau anak sialan yang selalu dikatakan.

Tubuhnya pun bersandar pada tembok. Perlahan merosot lemas. Ia meluruskan kakinya yang tiba-tiba terasa kaku. Kepalanya pun pening.

'Tes

Setetes darah keluar dari salah satu lubang hidungnya. Ia menyekat cepat dengan lengan. Menatap darah dilengan putihnya itu diam.

"Bunda," lirihnya.

"Makanan segar, anak manis."

Ia jelas terlonjak. Memandang kedepan dan sekitar takut. Menggeleng kecil dengan suara itu. Udara disekitar seolah berubah dingin. Perlahan seolah ada asap muncul.

"Eng-nggak!" Serunya melihat sosok hitam itu.

Sosok yang ia lihat mirip bayangan. Manik memerah dengan senyum lebar. Juga kedua tangan panjang yang berlumuran darah.

Raga berusaha bangun. Namun tidak bisa menggerakkan kakinya. Bibirnya terus bergerak tak berucap.

Sosok itu pun semakin mendekat. Mengeluarkan suara-suara mengerikan. Berkata banyak hal membuatnya seolah ingin mati. Bagai sebuah alunan siksa. Kata yang terdengar adalah sebuah hujan belati.

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang