"Ia tak akan pernah bisa pergi jauh. Sejauh apapun dirinya pergi, akan tetap kembali. Hingga tubuh itu tak akan mampu berdiri sendiri."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️Sunyi menemani. Mengikat seolah kegelapan malam. Menjadikan detik jarum jam menjadi melodi.
"Luka mu belum kering Dek, dan kamu kabur. Liat sekarang jadi gini." Suara lelaki memecah sunyi.
Raga diam, memandang keluar jendela. Ia jelas dibawa kembali kerumah sakit. Dan kini sudah mendapat pemeriksaan kembali. Apalagi dengan luka tusuknya tadi.
"Kamu mau kemana? Sekolah? Iya?"
Raga menoleh, lalu mengangguk. "Raga takut Wisnu sama Juan nyariin."
Bastian membuang nafas sejenak. Mengambil duduk disamping brankar. Meraih satu tangan Raga yang terbebas infus. Mengusapnya lembut.
Ditatap pemuda itu lembut. "Abang udah izin ke sekolah mu. Sampai luka mu sembuh kamu baru bisa masuk."
Raga diam, memandangnya. "Bang Galen?"
Kini Bastian terdiam. Ia ingat semalam memberi hukuman pada Galen. Dan mungkin sekarang tengah merenung atau tambah mengamuk.
"Ada dirumah Abang."
Diam, Raga memalingkan padangan kembali. Menatap kosong jendela kamar.
"Abang."
"Iya?"
"Kenapa dia selalu ada? Kenapa Raga takut sama dia? Dan kenapa Bang Galen selalu marah ketemu Raga?" Masih menatap kosong. Bahkan berkata dengan nada datar.
Namun jelas sendunya terlihat. Lukanya yang seolah tak akan pernah padam. Satu pertanyaan yang selau ia tanya salam diri. Kenapa?
Kenapa dengan takdirnya. Kenapa dengan hidupnya. Rahasia, luka, lara, amarah. Apa ini karmanya di kehidupan dahulu. Atau, entahlah. Pertanyaannya tak akan bertepi. Ujung yang begitu gelap untuk dijelajahi.
Bastian tau bagaimana sebenarnya hati anak ini.
Raga itu pendiam. Jarang bicara, tetapi tergantung sekitar yang baginya nyaman. Namun itupun hanya yang penting.
Ia juga sepesial. Keanehan pada diri Raga adalah lama memproses apa yang terjadi. Katakan saja lola atau apa. Juga ia terkadang sulit mengendalikan apa yang ia lakukan. Respon tubuhnya terkadang berlebih.
Seperti sekarang. Genggaman tangannya pun terkadang tiba-tiba bergerak menyentak atau mengerat. Raga jelas tak bisa mengendalikan itu.
Surainya halus, manik hitam malam yang memandang dalam berpadu dengan bulu mata lentik dan alis tebal rapi. Wajah yang rupawan dengan kulit putih pucat. Bibir merah Cherry yang menawan. Sayangnya hanya orang lain yang bisa melihatnya.
Raga? Ia bahkan tidak pernah tau bagaimana rupanya.
"Adek mau dia pergi? Harus rajin ketemu Abang tentunya. Kalau soal Galen, jangan berat dipikir ya, Dek. Suatu hari nanti, ada kalanya hatinya akan terbuka untuk Adek."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kathréftis || End✓
Mystery / ThrillerManik sehitam malam yang begitu menyimpan. Bibir semerah Cherry yang enggan sekali terbuka. Rupa menawan, tetapi penuh luka. . . "Raga cuma mau Abang." Inilah dirinya. Sosok yang tidak pernah tau bagaimana rupanya. Tak peduli apa kata orang. Ini ada...