51. Mari bicara

479 48 2
                                    

"Jangan menjadi tinggi dengan nada keras."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Terbang~Kotak✓




Keheningan diantara sebuah kegelapan. Menjadi nada dingin untuk teman.

Dua sosok lelaki. Berdiri bersisian, menatap indahnya kota dari atas sebuah gedung. Gemerlap cahaya lampu kota bak bintang dilangit. Dengan sapuan angin malam yang dingin.

"Lo nggak khawatir?" Tanya satu sosok. Menatap dengan heran.

Lelaki dengan kemeja putih itu bungkam. Menatap datar ke depan. Abai dengan pertanyaan tersebut.

"Dia nggak ke rumah sakit loh Bas. Gimana kalau ada yang parah."

Bastian, menggeleng kecil. "Raga nggak selemah itu."

Tobi mengangguk faham. Pasti ada alasan lain.

"Hukuman untuk Saga, kita kembali beberapa hari. Biarkan dia bertanggung jawab."

Kedekatan si kembar adalah ulah Bastian. Ia terus mendorong Saga agar mau menerima Raga. Bahkan bagaimana pemuda itu nanti. Karena keduanya memang harus bersama.

Nyatanya memang selalu Galen yang Raga cari. Entah bagaimana pemuda itu. Ia menerima. Tapi tidak membalas. Khawatir Saga berfikir nanti dirinya hanya dimanfaatkan.

"Nggak salah sih." Ujar Tobi tenang.

**

Hamparan bintang yang begitu memikat mata. Bersama bulan yang senantiasa setia di langit sana. Hembusan angin malam pun membuat kulit terasa dingin.

Netra gelap yang memandang langit malam kosong. Diantara balik kaca jendela yang transparan. Juga dinginnya angin yang masuk melalui sela kecil.

Sinar bulan menyinari heningnya. Bagai sebuah pelukan hangat dibalik luka dalam.

Nampak sudut bibirnya membiru dan bengkak. Juga pelipisnya yang diperban. Bahkan bila dalam keadaan terang sudah dipastikan. Tubuh itu penuh luka. Walau jauh lebih dalam hatinya.

Sebuah mimpi. Membawa raga penuh lara itu terbang tinggi ke langit. Melepas semua luka yang selalu membelenggu. Merasakan kebebasan dalam dirinya.

Namun, hanya sebuah mimpi.

Mimpi yang tak akan pernah bisa ia gapai. Seperti bulan yang selalu menjadi temannya.

"Kenapa bangun?"

'Cringg

Bergulir pelan netranya ke kanan. Menatap sosok pemuda dengan wajah bantal yang menatapnya heran.

Saga menyipitkan matanya. Melihat Raga yang kini berdiri didepan jendela. Bahkan ia tadi sempat terkejut. Ia pikir hantu.

"Indah," ujar Raga tenang. Kembali memandang bulan.

Saga mengikuti arah pandangnya. Lantas ia mengangguk singkat.

"Ada orang yang bilang. Bila rindu seseorang yang jauh, pandang lah bulan. Sampaikan rindu mu lewatnya."

"Hm.."

Saga memandang lamat. Bibirnya pun tersenyum kecil. Mengingat seseorang yang ia rindukan saat ini.

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang