34. Schädel 2

469 41 3
                                    

"Ikatan mu terlalu kuat. Membuatnya akan mudah lepas."
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️


'01:01'

Rintik gerimis dimalam yang pekat. Suara langkah kaki beradu dengan tanah basah terdengar disunyi malam. Hutan yang begitu menakutkan.

Nyatanya, langkah itu tidak sendiri. Tangan kanannya menyeret sesuatu. Meninggalkan jejak besar. Mantel hitamnya tidak membuat tubuhnya basah. Namun wajahnya penuh akan air, juga noda.

Kaki berbalut sepatu putih itu terus berlari. Menerjang pekatnya hutan tanpa takut.

Kepakan sayap burung terdengar. Ia memberhentikan langkahnya. Mata hitam tajamnya menyorot sekitar dingin. Didepannya ada tanah tidak terlalu luas. Dikelilingi pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi. 

Ia melepaskan apa yang ada ditangannya. Melangkah menuju ketengah. Tangannya mengeluhkan belati kecil dari saku jas hujannya. Ia menunduk.

Dengan belati ia menggores tanah basah itu. Membuat sebuah lingkaran dengan bintang ditengahnya. Lalu lima bintang kecil di bagian kosong lingkaran. Dengan bulan sabit ditengah bintang besar.

Selesai ia lantas bangkit. Mengambil sesuatu dari kantungnya. Sebuah serbuk berwarna abu-abu. Ia menaburkannya mengikuti pola lingkaran yang dirinya gambar.

Langkahnya pun mendekat pada apa yang ia bawa tadi. Seorang mayat, bukan. Sosok itu masih bernafas. Sosok lelaki dengan paras. Cukup muda?

Membawa pada pola yang ia gambar. Meletakkan sosok itu pada tengah bintang. Sesuai dengan setiap sudut bintang. Kepala, kedua tangan, dan kedua kaki. Lantas ia berjongkok tepat diatas kepala sosok itu.

Belati kecilnya ia genggam dengan kedua tangan seolah berdoa. Namun ujung benda itu mengarah kebawah.

Bibir tipisnya bergumam. Melantunkan sesuatu nada. Maniknya terpejam erat. Perlahan cahaya oranye ke merahan muncul. Mengikuti pola dibawah kakinya.

Gambar itu bersinar. Perlahan maniknya pun terbuka. Bola matanya menjadi hitam. Tatapannya pun kosong. Lalu tangannya bergerak cepat mengayun kebawah.

"Ahrgg.."

**

Sesak dan berat. Netra yang terpejam perlahan terbuka. Namun detik berikutnya ia mematung.

"Shutt.."

Sosok berwajah pucat tepat didepan wajahnya. Tangan dingin itu membekap mulutnya lembut. Manik gelapnya menatap dalam dan kosong. Perlahan tangan lain menyentuh pipinya.

Lalu sebuah usapan dari kening turun. Memintanya untuk terpejam. Seolah mantra, ia terpejam dan kembali lelap.

.
.
.

"Kamu ngapain disini?"

"Aku mau temani Kakak."

"Tapi kakak sudah ada teman, itu dia."

"Tapi aku enggak punya teman."

"..."

"Kakak? Apa boleh aku jadi teman Kakak?"

"Kakak mau ikut aku? Aku punya mainan banyak. Di sana tempatnya juga bagus."

"Tapi Kakak enggak bisa tinggalin teman Kakak sendiri."

"Teman Kakak kan masih tidur. Kita perginya cuma sebentar kok."

"Em.."

"Ayo! Kakak pasti senang disana!"

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang