4. Pulang

1.8K 144 6
                                    

"Nyatanya, rumah neraka baginya adalah tempat paling ia rindukan."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Pagi yang begitu dingin. Kabut tebal menyelimuti kota. Kesibukan yang seolah melupakan cuaca.

Sosok yang kini melangkah pelan. Menyusuri jalanan. Tak peduli tatapan aneh yang tertuju padanya. Hanya satu kini tujuannya.

Pulang, Raga kabur dari rumah sakit untuk pulang. Bastian tengah berada di toilet dan ia memanfaatkan waktu itu.

Ini memang sudah hari ketiga ia disana. Namun pikirannya penuh pada Galen. Terlebih terakhir ia lihat lelaki itu terkapar tak berdaya.

Kepalanya sedikit pusing. Wajahnya pun nampak masih pucat. Dibawah dagunya pun terdapat perban. Namun tidak seburuk hari pertama. Luka tusuknya juga tidak terlalu nyeri. Namun ia lupa masih memakai baju rumah sakit. Jelas banyak orang menatapnya.

Jalannya begitu menguras waktu. Namun, ia berhasil sampai rumah tanpa Bastian menemukannya.

Ia melangkah masuk pelan. Rumahnya tidak dikunci. Ia fikir Galen dirumah. Nyatanya tidak. Bahkan begitu sepi, seolah tidak dihuni.

Ia melangkah pelan menuju kamarnya. Mencuci wajah dan kaki. Bukannya jorok, hanya saja ini terlalu dingin untuknya mandi. Raga pun mengambil seragam khas Taruna Bangsa. Juga menyiapkan keperluan sekolahnya hari ini.

Ia begitu lambat menerima pelajaran. Tidak mau akan ketinggalan terus. Katakan saja ia bodoh, dan itu benar baginya. Reaksinya pun juga selalu terlambat.

Setelah semua siap ia keluar kamar. Berjalan menuju garasi dan benar melihat sepedanya sudah disana. Dengan pelan ia mendekat. Memeriksa sebentar. Merasa cukup aman dan tidak ada yang rusak ia membawanya keluar rumah.

Berkendaraan dengan santai dan pelan. Bibir merahnya pun terkatup begitu rapat. Manik hitam yang menatap dalam.

Namun setengah perjalanan ia harus terhenti. Macet, dan bahkan sepedanya tidak ada jalan. Setelah beberapa saat diam ia memilih masuk kedalam gang kecil.

Sepi, dan ia dengan pelan berkendaraan. Seingatnya ini jalan cepat pula menuju sekolahnya. Tinggal satu tikungan saja.

"Belok kiri, terus sam-"

'Brakk

"KALAU BELOK LIAT-LIAT ANJING!!!"

Ia terdiam ditempat. Terduduk menatap sepedanya yang tergeletak. Jelas ia terjatuh dengan keras. Namun ekspresinya tetap datar.

Maniknya pun beralih menatap sosok yang menabraknya. Sosok Saga yang kini menatap nyalang. Padahal pemuda itu masih diam diatas motor tanpa luka. Justru Raga yang jatuh.

Sebenarnya itu juga salah Saga yang berkendara cepat dijalan seperti ini. Raga juga tidak tau bila ada kendaraan dari arah kiri.

"Maaf," ujarnya tulus dan bangun perlahan.

"Sialan," desis Saga tau siapa yang ia tabrak. Namun tidak ada kalimat lain. Niat akan membolos kerumah pacarnya ia urungkan.

Saga memutar kendaraannya. Lalu pergi begitu saja meninggalkan Raga yang diam. Melingkarkan satu tangan diperut.

Pemuda itu pun bergerak mengambil sepedanya. Pelan ia menuntunnya karena rusak dengan satu tangan. Roda depannya tidak bulat utuh. Ia tidak bisa menggunakannya.

Namun langkahnya ia bawa ketempat lain. Gerbang hitam menjulang tinggi.

[SMA CAKRA NEGARA]

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang