44. Luka dengan tanya.

660 56 0
                                    

"Aksara yang bisu. Tanpa sebuah makna dan rasa."
.
.
.
.
.
.
.
.
.
❄️❄️

Kalimatnya tak akan pernah ada yang mengerti. Begitupun dengan hatinya. Rasa yang kian lara penuh luka. Mimpi yang tak akan pernah sampai untuk dipijak.

Tak ada tempat untuknya jauh lebih tenang. Dunianya, alam tempatnya berpijak pun enggan membuatnya damai.

"Kau anak pembawa sial!"

Manik sehitam malam yang begitu banyak menyimpan. Kelam yang begitu dalam. Jurang yang tak akan pernah bertemu dasar. Jalan yang tak pernah berujung.

Netranya bergulir pelan. Menatap sosok yang mendekat dengan bantuan alat. Tangan putih yang keriput itu memutar kedua roda besar disisi kursi yang ia tempati penuh tekanan. Rautnya begitu kentara. Marah, muak, benci.

"Kau seharusnya tidak ada didunia ini! Hadir mu hanya sebuah petaka!"

Ditatap wajah wanita tua itu tanpa rasa. Namun jelas otaknya memproses segala kata yang diucapkan.

"Pembunuh seperti mu harusnya mati!"

Cerca bagai kalimat tikaman. Entah dendam apa yang dimiliki wanita itu. Bahkan Raga tak mengingat jelas pernah berbuat salah. Hanya saja.

"Bila diri mu tidak ada. Saga tidak harus menderita! Dia bisa hidup bahagia! Tidak kesusahan. Semua karena kau anak sialan!" Tunjuknya dengan penuh penekanan. Matanya memancarkan emosi yang telah lama terpendam.

Raga terdiam. Kalimat barusan seolah menjadi akar baru dalam benaknya.

Salahnya?

Saga dibuang?

Nyatanya wanita itu memang benar marah. Kenapa Saga yang harus dibuang. Sedangkan Raga hidup enak. Apalagi bersama Bastian yang jelas tidak perlu diragukan.

Memang rasa iri membutakan hati bahkan pikiran. Tak ada yang tau.

"Nenek?"

Wanita itu menoleh cepat. Raut wajahnya berubah. Tersenyum lembut dengan netra yang jelas tergambar rasa khawatir.

"Gara, kamu gapapa kan? Ada yang luka?" Kedua tangannya terbuka. Siap menerima pelukan hangat.

Saga yang baru saja memasuki kamar tersenyum. Berjalan mendekat. Memeluk wanita itu. Usapan pada punggungnya membuat tenang. Juga kecupan sayang di kepalanya.

"Saga gapapa kok, Nek."

"Nenek khawatir dengar kabar ada penyerangan itu. Makanya cepat-cepat kesini."

Keduanya saling menatap. Bahagia, lega. Lembut dan penuh kasih.

Mereka bercakap-cakap. Melupakan satu pemuda yang kini menatap kosong. Namun tetap saja telinganya masih mendengar.

Rasanya begitu berat. Apalagi sesaat keduanya menatapnya. Wanita itu menatap tajam dengan senyum sinis. Saga sendiri tanpa ekspresi. Lantas keduanya pergi meninggalkan kamar.

Meninggalkan dirinya sendiri. Tetap pada posisinya. Berat bahkan untuk bernafas. Kedua tangannya meremas selimut. Sorotnya begitu hampa tanpa kehidupan.

Kathréftis || End✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang